KISAH WABAH INFLUENZA 1957 DI BANDUNG DAN SEKITARNYA #3: Solidaritas Masyarakat
Wabah Influenza 1957 tidak hanya menimbulkan jejak penderitaan mayoritas warga, tetapi memicu respons kolektif yang membuktikan solidnya masyarakat.

Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
12 Mei 2025
BandungBergerak.id – Wabah Influenza telah mengakibatkan berbagai bentuk penderitaan. Di tataran global, WHO melaporkan bahwa Wabah Influenza juga melanda Eropa, dengan 16.000 kasus tercatat di Beograd, Yugoslavia. Informasi lebih lanjut mengenai hal ini termuat dalam surat kabar Istimewa yang terbit pada 13 Oktober 1957.
Di Bandung dan sekitarnya, Wabah Influenza, yang dikenal sebagai Flu Asia, tidak hanya menimbulkan jejak penderitaan mayoritas, tetapi juga menunjukkan informasi yang membuktikan ketangguhan masyarakat. Wabah Influenza bahkan memperparah kehidupan orang-orang yang ada di lapisan terbawah. Banyak warga terpaksa beristirahat di rumah.
Sementara kondisi ekonomi yang buruk membuat mereka kesulitan untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ironisnya, meskipun wabah menyebabkan sejumlah aparat negara "tumbang", Pemilu Daerah tetap dilaksanakan pada 22 Juni 1957. Suatu kenyataan yang menunjukkan prioritas sebagian elit politik yang kurang peka meski sedang dalam situasi krisis. (Harian Indonesia Raya, 13 Juni 1957).
Tulisan ini masih berupaya menggali dinamika wabah influenza di Bandung. Ihwal bagaimana tantangan yang dihadapi sistem kesehatan, serta peran gotong royong dalam menghadapi krisis. Selain itu, tulisan ini juga sedikit menyajikan konteks sosial-politik, dan harapannya, mampu memberi hikmah yang relevan bagi masa yang akan datang.
Baca Juga: Omong-omong soal Buku Teks Sejarah
KISAH WABAH INFLUENZA 1957 DI BANDUNG DAN SEKITARNYA #1: Awal Mula
KISAH WABAH INFLUENZA 1957 DI BANDUNG DAN SEKITARNYA #2: Kepanikan Masyarakat
Keterlibatan Militer
Berbagai kalangan berupaya menekan penyebaran wabah influenza. Dinas Kesehatan Kota Bandung, sebagaimana tercatat di tulisan sebelumnya, telah memperkuat pasokan obat-obatan dan memperpanjang jam operasional poliklinik untuk fokus menangani pasien influenza. Sementara itu, untuk membendung penyebaran virus, Komando Militer Kota Besar (KMKB) Bandung memberlakukan sejumlah aturan ketat.
Majalah Merdeka edisi 1 Juni 1957 mencatat bahwa dalam suasana darurat dan penuh kewaspadaan, publik Bandung mempunyai kewajiban untuk melaporkan tamu dari daerah terjangkit, seperti Medan, Singapura, dan Hongkong. Sekadar memberi konteks dan informasi yang berkait kelindan. KMKB itu sendiri memang mempunyai wewenang yang dihasilkan dari Staat van Oorlog en Beleg (SOB) atau Undang-Undang Keadaan Bahaya, yang mulai berlaku pada 14 Maret 1957.
Pemberlakuan SOB, yang awalnya ditujukan untuk mengikis ketidakstabilan politik pascakemerdekaan, memungkinkan militer berperan aktif dalam pengendalian wabah. Melihat kenyataan ini, bisa dipahami jika kemudian KMKB Bandung berani mengeluarkan peraturan ketat; mewajibkan setiap tamu dari wilayah terjangkit untuk dilaporkan sesuai prosedur yang telah ditetapkan, demi menjaga keamanan dan kesehatan masyarakat. Berikut selengkapnya:
- Anggota militer melapor melalui KMKB setempat;
- Polisi, Pamongpraja, dan pemilik hotel melapor ke Dinas Kesehatan kota/kabupaten (terutama untuk distrik Cimahi, Ujungberung, Lembang, dan Bojongloa);
- Masyarakat umum diarahkan melapor melalui lurah, yang diteruskan ke camat atau wedana.
Sejak awal kemunculan Wabah Influenza, otoritas Kota Bandung terus berupaya untuk responsif. Dokter-dokter ternama seperti Admiral Suraseca (Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung), Kolonel Wonojudo (Komando Tentara dan Teritorium III Siliwangi), dan Mayor Sukojo (Dinas Kesehatan Angkatan Darat Garnisun Bandung) diberi wewenang untuk memimpin pemeriksaan awal terhadap pasien. Kenyataan ini juga sekaligus menunjukkan keterlibatan berbagai instansi dalam penanganan Wabah Influenza.
Poliklinik Darurat dan Gotong Royong
Wabah Influenza, sebagaimana disinggung di muka, tidak hanya menimbulkan jejak penderitaan mayoritas warga, tetapi memicu respons kolektif yang membuktikan solidnya masyarakat. Salah satu bentuk konkret dari praktik gotong royong masyarakat Bandung adalah pembukaan Poliklinik Darurat di beberapa titik. Saat itu, enam poliklinik darurat didirikan dengan jadwal operasional pagi (10.00–12.00) dan sore (16.30–18.00) di lokasi seperti:
- Bale Desa Tjikawao (Jl. Lodaya)
- Kampung Sukaaman (Cibeunjing)
- Bale Desa Sukadjadi (Jl. Sempurna)
- Bale Desa Tjidjerah
- Gang Durman (Pasar)
- PMI (Jalan Aceh 79)
Di luar Bandung, solidaritas serupa terlihat di Sumedang, di mana Balai Pengobatan Darurat dibuka pada 26 Juni 1957 di Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA). Balai ini, hasil kerja sama Dinas Kesehatan Sumedang dan Persatuan Djuru Kesehatan Indonesia (PDKI), fokus menangani pasien influenza, termasuk kunjungan langsung ke sekolah untuk mengobati anak-anak. Surat kabar Warta Bandung yang terbit 19 Juli 1957 mencatat penurunan kasus di Sumedang, sekaligus menunjukkan implikasi inisiatif ini.
Selain layanan kesehatan, otoritas setempat gencar menyosialisasikan pentingnya menjaga daya tahan tubuh. Dalam surat kabar Warta Bandung yang terbit 24 Juni 1957, tercatat bahwa, “Penerangan tentang memperkuat daya tahan tubuh harus dilakukan seluas mungkin.” Kampanye ini juga mencakup edukasi tentang gizi, meskipun terhambat oleh rendahnya literasi kesehatan masyarakat saat itu.
Pada akhirnya upaya gotong royong ini tidak hanya bisa menyelamatkan nyawa, tetapi juga memperkuat ikatan sosial di tengah krisis. Nahas, keterbatasan obat dan tenaga medis tetap menjadi kendala. Pemerintah pusat, misalnya, tidak melaksanakan vaksinasi massal. Padahal, sebagaimana tercatat dalam laporan Suluh Indonesia yang terbit 24 Juni 1957, bahwa Sharp & Dohme (perusahaan farmasi multinasional dari Amerika Serikat) telah menemukan dan mengembangkan vaksin.
Namun belum ada yang menunjukkan alasan pemerintah pusat untuk tidak melakukan vaksinasi massal. Hipotesa saya, keputusan ini kemungkinan dipengaruhi oleh keterbatasan anggaran dan prioritas politik, seperti stabilisasi keamanan di bawah SOB, yang cenderung mengesampingkan kesehatan publik.

Akhir Wabah
Pada Juli 1957, kehidupan di kota Bandung mulai berjalan seperti biasa. Antrean di poliklinik mulai menyusut, batuk yang biasa menggema di gang-gang sempit mereda, dan senyuman seperti semula kembali menghiasi wajah warga. Tepatnya Minggu ke-28 (7–13 Juli 1957), penyebaran wabah influenza di Kota Bandung menunjukkan penurunan signifikan.
Berdasarkan laporan surat kabar Warta Bandung, yang mengutip Dinas Kesehatan, jumlah penderita influenza tercatat sebanyak 6.248 orang, turun 50 persen dari minggu sebelumnya yang mencapai 15.201 kasus. Seiring meredanya wabah, sejumlah poliklinik darurat yang didirikan khusus untuk menangani influenza juga ditutup sementara. Di samping itu, poliklinik umum kembali beroperasi hanya pada pagi hari, seperti jadwal sebelum wabah melanda.
Angka kematian akibat Wabah Influenza di Kota Bandung juga menurun, dengan 345 korban jiwa pada akhir Juli dibandingkan 436 orang pada waktu sebelumnya. Tanggal 4 Agustus 1957, Kementerian Kesehatan mengumumkan bahwa Wabah Influenza telah "menghilang", sebagaimana dimuat dalam laporan "Lompatan Influenza, 1957". Namun, di balik pernyataan itu, tidak ada penjelasan secara rinci mengapa Wabah Influenza ini lenyap —hanya jejak ketangguhan warga dan kekebalan yang tampak oleh waktu.
Muhammad Fakhriansyah, dalam studi berkepala Asian Flu Pandemic in Indonesia, 1957: Government and Public Response, menjelaskan bahwa sebetulnya istilah “menghilang” dalam epidemiologi, merujuk pada terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity), bukan hilangnya virus. Tanpa vaksinasi massal, kekebalan ini terbentuk secara alami melalui paparan warga terhadap virus. Meskipun berakhir, keputusan ini menyebabkan jumlah korban jiwa yang signifikan, terutama di kalangan rentan seperti anak-anak dan lansia.
Jumlah pasti penderita dan kematian akibat Wabah Influenza secara keseluruhan pun juga tidak pernah diketahui. Ini terutama karena buruknya koordinasi data antara pemerintah pusat dan daerah. Namun sekurang-kurangnya ada dua estimasi utama.
Frederick L. Dunn, dalam Review of International Spread of New Asian Strains (1958), mencatat 6 juta penderita dari 85 juta penduduk Indonesia. Kementerian Kesehatan (per 21 Juni 1957) melaporkan 202.469 kasus, dengan Jawa Barat menyumbang 116.000 kasus (50 persen dari total nasional). Diperkirakan jumlah penderita hingga wabah berakhir pada Juli-Agustus 1957 sebanyak 200.000–210.000 kasus secara nasional (Fakhriansyah, 2022).
Wabah Influenza meninggalkan pelajaran berharga tentang infrastruktur kesehatan di tahun 1950-an. Sejumlah upaya otoritas dan masyarakat Bandung dalam mengatasi wabah melalui poliklinik darurat dan gotong royong menunjukkan potensi besar solidaritas. Seiring waktu, Wabah Influenza juga mendorong perbaikan bertahap dalam sistem kesehatan Jawa Barat, seperti peningkatan jumlah poliklinik dan pelatihan tenaga medis, meskipun perubahan menyeluruh hadir jauh setelah kemunculan Wabah Influenza.

Berkaca dari Wabah Influenza 1957
Bisa dibilang Wabah Influenza 1957 di Bandung adalah cerminan dari persoalan dan ketangguhan warga dalam menghadapi pandemi. Krisis ini mengungkap kelemahan sistem kesehatan, seperti buruknya koordinasi, dan minimnya penanganan Wabah Influenza melalui vaksinasi. Namun, respons cepat otoritas lokal, keterlibatan lintas-instansi, dan solidaritas masyarakat melalui gotong royong menjadi pilar keberhasilan.
Kisah ini juga mengajarkan pentingnya kesiapan sistem kesehatan, kolaborasi antar-pihak, dan semangat kolektif dalam menghadapi krisis. Di tengah dunia yang lebih rentan, saya merasa pelajaran dari Wabah Influenza 1957 di Bandung tetap relevan untuk mempersiapkan diri menghadapi pandemi di masa depan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah