SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #12: Rekam Jejak Majalah Swara Cangkurileung
Mang Koko (10 April 1917- 4 Oktober 1985) mendirikan majalah Swara Cangkurileung. Sayangnya kini sulit menemukan majalan ini karena lemahnya pengarsipan.
Abizar Algifari Saiful
Pendidik musik, komposer, dan peneliti
4 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Tanggal ini 37 tahun lalu, seniman Sunda Koko Koswara meninggal dunia. Mang Koko (10 April 1917- 4 Oktober 1985), demikian ia biasa biasa dipanggil, merupakan salah satu seniman karawitan Sunda yang aktif pada dunia literasi. Selain melahirkan karya-karya musik, ia juga menghasilkan buah pikiran yang diwujudkan dalam bentuk buku.
Walaupun banyak bukunya berisi kumpulan notasi karya musiknya, Mang Koko peka dan peduli pada tulis-menulis, hal yang jarang dilakukan para seniman pertunjukan. Dengan adanya bukti tulis tersebut membuat Mang Koko dan karyanya lebih mudah dibaca. Kejelasan data-data tersebut menarik beberapa kalangan untuk mengkontruksi, menganalisis, atau mengungkap sosok Mang Koko dan karyanya. Berkat kecerdikannya dalam memanfaatkan tulisan, Mang Koko dikenal lebih luas dibandingkan dengan seniman-seniman tradisi lain.
Tubuh Mang Koko mungin tak mampu menjangkau itu semua, namun tulisan dan karyanya dapat terbang bebas dengan berbagai medium (buku, piringan hitam, atau kaset pita). Kepeduliannya terhadap dunia literasi, khususnya yang berkaitan dengan kesenian tradisi, membawa Mang Koko untuk terjun pada dunia pendidikan. Karya-karya Mang Koko yang ramah usia, dikumandangkan dan diajarkan pada siswa-siswi sekolah di wilayah Jawa Barat.
Bak jamur di musim hujan, Yayasan Cangkurileung yang ia dirikan di Kota Bandung, membuka kantor cabang di berbagai daerah Jawa Barat. Berkat ini pula, nama Mang Koko dapat menyaingi ketenaran artis ibu kota. Kemasyhuran Mang Koko amat sebanding dengan perjuangannya dalam meningkatkan derajat kesenian tradisi di mata khalayak.
Salah satu upaya Mang Koko dalam memajukan kesenian tradisi, yaitu dengan mendirikan, memproduksi, dan menyebarluaskan majalah lokal yang ia beri nama Swara Cangkurileung. Sampai saat ini saya belum tahu pasti kapan majalah Swara Cangkurileung pertama terbit. Mudah-mudahan dengan tulisan ini mengantarkan saya pada informasi tersebut. Jika para pembaca mengetahui hal tersebut, bisa beri tahu saya.
Majalah Swara Cangkurileung pertama kali saya temukan pada perpustakaan Taman Budaya Jawa Barat. Itu pun tidak lengkap. Bentuknya satu bundel yang berisikan kira-kira 6 sampai 8 edisi majalah. Isi dari setiap edisi majalahnya adalah esai, artikel, pengumuman, dan notasi musik. Namun, keberadaan majalah tersebut saya duga belum disimpan dan diarsipkan dengan baik. Kondisi bundel Majalah Swara Cangkurileung yang saya temukan pun tidak terawat seutuhnya. Ada beberapa halaman yang robek dan hilang; entah tergerus waktu atau habis dimakan rayap.
Berikut merupakan kilas informasi identitas dan susunan organisasi yang ditemukan dalam Majalah Swara Cangkurileung No.62 Tahun VI-April 1975. Majalah Swara Cangkurileung merupakan majalah bulanan yang dikeluarkan atau diproduksi oleh Yayasan Cangkurileung Pusat. Dipimpin langsung oleh Mang Koko (pemangku). Dibatu atas kerjasama beberapa rekannya seperti: Epe Syafei Adisastra sebagai calagara; Endoy Hidayat sebagai pangrumat; Epe Syafei Adisastra, Tatang Suryana, Nano Suratno, Da’um Sumardi, Atik Soepandi, dan Iyus Rusliana sebagai caraka; Holid H.R., dan Oneng sebagai juru potret; Gerdi W.K. sebagai juru gambar; Addin Nurachman sebagai candoli. Kantor redaksinya beralamat di Jalan Jurang No.119, Bandung. Majalah ini dicetak oleh N.V. Masa Baru, Bandung.
Majalah Swara Cangkurileung merupakan salah satu api semangat literasi dalam kesenian di Jawa Barat. Ini terpancar dari tulisan pada bagian Rangrang Panyawangan, Majalah Swara Cangkurileng No.62 Tahun VI-April 1975, yang berbunyi:
Nya kitu deui ieu Swara Cangkurileung urang, geus meujeuhna unggal lolongkrang rohangan pada ngeusian. Apan lain ngan wungkul pangasuh. Lamun dina tilu opat kali kaluar can aya anggota nu milu ngamairan, dianggap biasa da kudu ngileng-ngileng heula, hayang nyaho lilinggeranana.
Tapi anu kalima-kagenep jeung saterusna mah, para anggota mangsana pada daria. Nu boga potret, nu boga curat-coret, nepi ka nu boga pangalaman atawa pokal sorangan, dibaeukeun dihiapkeun, sangkan nya euyeub nya beuneur tea.
Antusias para penulis dalam Majalah Swara Cangkurileung pada saat itu sudah terpancar. Swara Cangkurileung nu urang merupakan kalimat yang menyatukan, tidak berbatas, tidak memihak, dan bukan milik segelintir orang. Di awal perjalanannya, sama dengan nasib majalah lain yang harus bertahan akibat kurangnya penulis. Namun, sejalannya dengan meningkatnya daya literasi masyarakat Majalah Swara Cangkurileung mampu bertahan dan konsisten menerbitkan. Majalah ini pun memberikan kesempatan bagi khalayak untuk dapat menyumbangkan segenap informasi yang dimiliki, seperti foto, catatan, atau gagasan (opini).
Sayangnya, sepeninggalan Mang Koko, majalah ini tidak seproduktif di awal terbentuk. Menurut GJ, pengurus Yayasan Cangkurileung, Majalah Swara Cangkurileung terakhir terbit di awal tahun 2000-an. Kini serpihan edisi Majalah Swara Cangkurileung tersebar, entah di mana saja. Baiknya majalah ini dapat didokumentasikan atau lebih bagus didigitalisasikan. Hemat saya, banyak tulisan yang penting terkait kesenian Sunda yang ada pada majalah tersebut.
Baca Juga: SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #9: Kilas Balik Gending Karesmen
SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #10: Buku Kawih Gaya Mang Koko
SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #11: Konser Seni Karawitan Karya Mang Koko di Hotel Horison
Krisis Pengarsipan
Di Kota Bandung sendiri, saya belum menemukan perpustakaan yang memiliki arsip seni pertunjukan ideal; dari kelengkapan koleksinya sampai cara pengelolaannya yang baik. Jika dibandingkan dengan perpustakaan yang menyimpan arsip seni rupa, Kota Bandung jauh lebih baik. Adanya perpustakaan Selasar Sunaryo Art Space dan perpustakaan Institut Teknologi Bandung mampu melanggengkan serta mengawetkan informasi seni rupa tersebut. Apakah keberwujudan karya seni rupa yang membuat arsip-arsipnya dapat terjaga? Bila dibandingkan dengan seni pertunjukan yang hilang, ludes dimakan waktu. Pertunjukan saat ini dan pertunjukan kemarin akan berbeda, walaupun yang disajikan adalah karya yang sama. Pun jika dapat dituliskan, tafsir para pembaca pun tidak akan sama seperti ketika menikmati sajian karya seni pertunjukan secara langsung. Gaibnya entitas karya seni pertunjukan, memantik kita untuk cerdik dalam mensiasati pendokumentasiannya.
Alih wahana dari fisik menuju digital merupakan salah satu alasan majalah lawas dapat terlupakan. Padahal, ketika teknologi berlari, harusnya dapat dimanfaatkan dengan optimal. Baiknya digitalisasi dapat diaplikasikan dalam berbagai arsip lawas. Paradigma berpikir ke depan pun, agaknya memengaruhi konsepsi terkait hal-hal kuno. Alih-alih menjunjung tinggi pikiran terdepan, malah tercebur ke dalam lalu lintas kebaruan yang tak berarah. Seimbang merupakan kunci. Faktanya, hal tersebut kemungkinan kecil dapat terjadi. Sulit rasanya untuk tidak membandingkan. Hemat saya, pengelolaan arsip masih dalam tahap pengelompokkan yang penting-tidak penting; untung-rugi; berfaedah-nirfaedah. Bijaksana, jika pengelolaan arsip saat ini dilaksanakan dengan merata.
“Nah, itu, majalah Swara Cangkurileung sampai saat ini belum dapat dikumpulkan dan dilacak keberadaannya.” tutur GJ, salah satu pengelola Yayasan Cangkurileung. Jelas sudah, ternyata rasa khawatir selama ini terjawab. Untuk mereka jejak Majalah Swara Cangkurileung membutuhkan upaya bersama. Satu-satunya majalah yang diinisasi oleh Mang Koko ini menyuguhkan informasi penting terkait eksistensi kesenian tradisi (karawitan) Sunda di masanya.