SEKELUMIT KISAH PEMILU DAERAH 1957 #4: Kisruh Tanda Gambar
Kecurangan seputar penggunaan tanda gambar pada Pemilu Daerah 1957 muncul di Jawa Barat. Warta Bandung memberitakannya sejak dua bulan sebelum hari pencoblosan.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
17 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Betapa ganasnya persaingan politik. Sejarah turut mencatat banyaknya aktor yang nekat menjalankan praktik culas demi meraih posisi strategis. Itu pula yang terjadi menjelang Pemilu Daerah 1957, yang dihelat secara bertahap di beberapa tempat.
Eriyano Wempy Gilarsi di dalam riset berkepala Partai Komunis Indonesia dalam Persaingan Menuju Pemilu DPRD 1957 di Jawa Timur (2023, hlm. 256-257), mengemukakan bahwa saat itu ada satu partai yang protes terhadap validitas tanda gambar yang sebelumnya telah disahkan oleh PPD (Panitia Pemilihan Daerah). Mereka yang keberatan tidak hanya mengarahkan protes kepada PPD, tetapi sekaligus juga ke arah partai lain yang dituding telah melakukan praktik keculasan. Bahkan kecurangan yang berbentuk kemiripan lambang partai ini disinyalir terjadi secara sistematis, dan tentu saja mendapat cercaan kiri-kanan.
PKI merupakan salah satu partai politik yang merasa dicurangi oleh kemiripan tanda gambar semacam itu. Seperti yang dikabarkan terjadi di wilayah Magetan, pada bulan April 1957. Menurut temuan Eriyano, kala itu PKI Magetan menemukan lima tanda gambar yang mirip dengan lambang Palu Arit kepunyaan mereka.
Tudingan mengarah pada Acoma (Angkatan Komunis Muda) yang memang sempat memiliki tanda gambar serupa. Menukil Harian Rakjat yang terbit 20 April 1957, ia menjelaskan bahwa kecurangan seperti ini jelas merupakan sebuah upaya untuk mengelabui mata pemilih, terutama konstituen PKI. Bukan kebetulan rasanya jika kelak kasus serupa terjadi di Pemilu Daerah Jawa Barat.
Baca Juga: SEKELUMIT KISAH PEMILU DAERAH 1957 #1: Kampanye di Bandung dan sekitarnya
SEKELUMIT KISAH PEMILU DAERAH 1957 #2: Polemik Marhaenis
SEKELUMIT KISAH PEMILU DAERAH 1957 #3: Tadjukrentjana Warta Bandung
Menjalar ke Bandung dan sekitarnya
Kala itu pemberitaan tentang kecurangan secara sporadis muncul di wilayah Jawa Barat. Surat kabar Warta Bandung menyiarkan kisruh ini sejak awal Juni, atau dua bulan sebelum hari pencoblosan. Bentuk kecurangan yang terjadi dalam proses Pemilu Daerah 1957 di Jawa Barat tak jauh berbeda dengan kasus yang ditemukan di Jawa Timur, yaitu seputar penggunaan tanda gambar.
Bahkan yang diduga menjadi aktornya pun sama, yakni Acoma. Awalnya, huru-hara tanda gambar ini terekam dalam laporan surat kabar Warta Bandung berkepala “Acoma ingin Kursi dgn Tjara Sendiri”. Menurut laporan tersebut, secara spesifik tanda gambar yang dipergunakan Acoma sangat persis dengan PKI, dan kelak hal ini memicu polemik berkepanjangan.
Alasan Acoma sendiri sebenarnya tampak masuk akal. Karena memiliki dasar pemikiran Marxis, maka mereka juga mempergunakan tanda gambar itu. Sementara, barangkali kita semua tahu bahwa lambang komunis hanyalah satu: Palu Arit. Dengan itulah Acoma bersikukuh dengan pendiriannya.
Pada mulanya penjelasan dari Acoma ini, oleh sebagian anggota PPD (Panitia Pemilu Daerah) Kabupaten Bandung, dapat diterima. Meski kemudian PKI Jawa Barat menuding PPD bahwa mereka penuh kebimbangan; berlaku seperti kekanak-kanakan, labil, dan sebagainya. Tak pelak, keriuhan semakin menjalar. "Dari kalangan masjarakat [Kabupaten Bandung] sampai saat ini masih terus timbul suara2 memprotes akan pemakaian tanda gambar jg mirip dgn jg telah ada,” tulis laporan tersebut.
Sementara representasi PKI di daerah lain juga turut melontarkan kecaman. Di Subang misalnya. PKI secom Subang menyuarakan kegelisahannya mengenai persoalan tanda gambar. Dalam laporan berkepala “PKI Secom Subang minta tanda gambar jg mirip dibatalkan”, tertulis bahwa mereka berupaya mengirimkan pernyataannya pada PPD setempat berhubung adanya polemik mengenai tanda gambar yang mirip. Dalam pernyataannya ini disebut pula bahwa tanda gambar yang mirip ---sebagaimana yang telah dilakukan Acoma--- supaya dibatalkan.
Menurut PKI Secom Subang, mengingat pentingnya kejujuran dalam perhelatan Pemilu Daerah yang diselenggarakan di Jawa Barat, maka yang bersangkutan (dalam hal ini, Acoma dan Panitia Pemilu Daerah) harus menimbang UU nomor 19 tahun 1956. Selain itu, mereka juga hendak mengklarifikasi keterangan, dengan memberikan penjelasan yang sebelumnya telah disampaikan Menteri Dalam Negeri, mengenai aturan penggunaan tanda gambar yang mirip, seperti yang kala itu sedang dikecam mereka.
Di sini, jelas sekali bahwa kecaman yang dilakukan PKI juga bukannya tanpa dasar yang valid. Sebagaimana keterangan di atas yang merujuk pada regulasi yang berlaku dan juga pengumuman sebelumnya dari Menteri Dalam Negeri (saat itu dipimpin Sanusi Hardjadinata), yang tidak memperbolehkan memakai lambang yang mirip dengan lambang yang sudah ada.
Selain itu, diterangkan bahwa PKI Secom Subang tidak hanya menuntut pembatalan tanda gambar yang mirip dengan PKI saja, tapi semua tanda gambar yang mirip. Sebab tersiar informasi pula bahwa beberapa lambang partai lainnya ada yang mirip dengan tanda gambar PNI dan Masyumi. Namun polemik tanda gambar ini kian panas dengan hadirnya berbagai kecaman, utamanya dari organisasi-organisasi sayap kiri yang mayoritas berafiliasi dengan PKI.
Kecaman Sarbupri, BTI, SBKA, dan SBMI
Salah satu organisasi yang juga mempersoalkan tanda gambar yang mirip adalah Sarbupri (Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) cabang Jawa Barat. Mereka turut melayangkan telegram pada Menteri Dalam Negeri. Isinya, kurang-lebih mengenai tuntutan agar tanda gambar-gambar yang mirip, yang digunakan di dalam Pemilihan Umum, supaya lekas dibatalkan.
Tindakan Sarbupri tercatat dalam satu laporan berkepala “Rapat Kerdja Sarbupri: Untuk memenangkan wakil2 buruh dalam Pemilihan Umum”. Di sana ada pula keterangan bahwa tuntutan Sarbupri merupakan hasil dari “Rapat Kerdja Sarburpri Djabar jang berlangsung pada tgl. 9-10 Djuni 1957 di Bandung.”
Beberapa waktu kemudian, Dewan Pimpinan BTI (Barisan Tani Indonesia) Karawang turut menyatakan keberatan. Dalam surat pernyataan yang disampaikan pada Menteri Dalam Negeri, PPD Provinsi, BTI Karawang menuntut, "agar supaja PPD Propinsi dan PPD Kabupaten/Kota di Djawa Barat segera menggugurkan seluruh tanda-gambar jg mirip, serta mengandjurkan kepada jg bersangkutan untuk segera pula menggantinja dengan tanda-gambar jg lain."
Ungkapan yang juga gamblang keluar dari SBIM (Serikat Buruh Industri Metal) cabang Bandung, yang memiliki hubungan formal dengan SOBSI. Dalam gonjang-ganjing tanda gambar ini, SBIM mengeluarkan kecaman berhubungan dengan adanya beberapa golongan yang mencalonkan dalam pemilihan tersebut dengan memakai tanda gambar partai-partai yang sudah ada. Menurut SBIM cabang Bandung, apa yang telah dilakukan Acoma "sangat tida baik dan sudah tentu mendjadikan kekeliruan bagi para pemilih, djuga perbuatan sematjam itu boleh dikatakan sebagai perbuatan korupsi politik, ingin membontjeng kepada partai2 jang sudah tjukup dikenal oleh masjarakat banjak."
Pada saat yang sama surat kabar Warta Bandung juga memuat pernyataan sikap dari mereka. Berikut pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh SBIM cabang Bandung:
- Memprotes keras kepada golongan-golongan tertentu yang menggunakan tanda gambar mirip dengan tanda gambar Partai yang sudah dikenal oleh masyarakat banyak;
- Agar supaya PPD yang bersangkutan dapat meninjau kembali kepada tanda-tanda gambar yang mirip itu, sekurang-kurangnya dapat membatalkan kepada tanda gambar yang membonceng tanda gambar partai yang sudah ada.
Seolah tak ingin ketinggalan. Pada tanggal 18 Juni 1957, SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) cabang Bandung juga turut melayangkan protes. Keputusan krusial ini disepakati SBKA usai Kongres mereka yang kelima, yang diadakan di Bandung pada 17 Juni 1957. Kongres yang dihadiri 39 cabang, Pengurus Pusat SBKA, Dewan Daerah SOBSI Jabar dan Dewan Pengurus Daerah SBKA Jabar, ini menghasilkan sejumlah resolusi, salah satunya mengecam tanda gambar yang mirip.
Polemik tanda gambar ini kian melebar. Sebab persoalan bukan hanya terdapat pada tanda gambar yang mirip. Kala itu, tanggal 31 Juli 1957, Warta Bandung menayangkan laporan tentang adanya organisasi yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan Penguasa Militer: beberapa pihak diduga sengaja memasang tanda gambar golongan tertentu di kantor dan ruang kerja pemerintah.
Tanda gambar merupakan salah satu persyaratan utama bagi partai, organisasi, atau individu untuk maju mengikuti proses pemilu. Dalam konteks Kotapradja Bandung, sebagaimana tercatat dalam surat kabar Warta Bandung yang terbit 3 Juni 1957, bahwa dari 34 kontestan pemilu, saat itu hanya 28 organisasi dan calon perseorangan yang telah memenuhi syarat. Sementara sisanya, atau enam peserta, dianggap belum mampu mengikuti pemilu sebab tidak dapat memenuhi persyaratan, yakni dalam hal memiliki tanda gambar seperti yang telah diulas di muka.
Namun terlepas dari keriuhan akibat persoalan tanda gambar, hasil Pemilu Daerah 1957 ini nyatanya berpihak pada PKI. Pencapaian tersebut membuat beberapa kalangan mulai merancang strategi untuk membendung mereka. Bahkan menurut M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (hlm. 540), "... ini memperbesar tekad pihak tentara dan kaum sipil yang anti-komunis bahwa sistem politik lama harus secepatnya diakhiri."
* Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan Yogi Esa Sukma Nugraha atau tulisan-tulisan lain tentang sejarah