SEKELUMIT KISAH PEMILU DAERAH 1957 #3: Tadjukrentjana Warta Bandung
Surat kabar Warta Bandung memiliki kecenderungan mengikuti pandangan partai-partai politik yang berprinsip serupa dengan jargonnya: Persatuan Nasional Demokratis.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
10 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Pada tahun 1950-an, friksi antar partai semakin tajam. Kala itu, beberapa hari usai Pemilu Daerah 1957 diselenggarakan di berbagai wilayah, gaung kecurangan timbul segera ke permukaan. Partai Masyumi di Jawa Barat melancarkan protes atas satu keganjilan yang terjadi saat pelaksanaan Pemilu Daerah 1957 itu.
Masyumi geram atas kecurangan yang dianggapnya telah dilakukan oleh seteru mereka, yakni PKI. Masyumi kemudian berinisiatif mengirimkan surat pada Walikota dan tembusannya disampaikan pula pada Penguasa Militer. Menurut laporan surat kabar Warta Bandung berjudul "Benarkah ada Ketjurangan?" yang terbit pada Kamis 15 Agustus 1957, Masyumi Jawa Barat meminta supaya Pemilihan Umum Daerah khusus daerah Kotapradja Bandung diulang kembali.
Masyumi mendasarkan protesnya pada satu keganjilan yang terpantau di daerah Tegalega. Segenap awak redaksi Warta Bandung lalu berupaya menelusuri alur masalah tersebut. Tak lama berselang, mereka memberi keterangan pada publik mengenai keberatan Masyumi Jawa Barat itu. Walhasil kenyataan faktual yang diperoleh redaksi menunjukkan bahwa peristiwa itu tak lebih akibat dari kelalaian Panitia Pemilihan Daerah, dan artinya yang dirugikan semua kontestan, bukan hanya sebagian partai.
Di hari yang sama, tadjukrentjana surat kabar Warta Bandung dengan judul "Berbahaja" mengungkapkan keberatannya atas pernyataan figur kharismatik Masyumi, yang kala itu dianggap melakukan provokasi berlebihan. Dalam harian Keng Po, tokoh yang kelak beberapa waktu setelahnya terlibat dalam PRRI/Permesta ini, dituding telah melontarkan perkataan yang membahayakan: "jika tidak ingin bandjir darah pilihlah Masjumi dan PNI."
Menurut tadjukrentjana yang dimuat redaksi, ujaran semacam itu merupakan suatu perbuatan tidak patut. Bahkan mereka berpendapat bahwa hal tersebut mengandung persoalan serius. Pasalnya, hasil sementara pemilu di beberapa daerah saat itu sudah nyata tidak berpihak pada Masyumi.
"Kita sebagai pihak jang mentjintai adanja kedamaian dan ketenangan, mensinjalir utjapan itu sebagai suatu bahaja, sekalipun misalnja tidak dimaksudkan seperti jang ditafsirkan diatas itu. Untuk tidak mendjadi suatu bahaja jang njata, maka kita mengharap kepada umum dan jang berwadjib, supaja utjapan jang berbahaja ini tidak terulang lagi, dan agar umum tidak lepas dari kewaspadaan. Disini kita akan bertanja: apakah siaran dan utjapan seperti itu tidak bersifat pengatjauan?"
Pemihakan lebih jauh bahkan bisa terlihat di dalam sepucuk tadjukrentjana atau editorial lainnya yang terbit pada 5 Agustus 1957. Kala itu, kurang lebih seminggu jelang Pemilu Daerah di Jawa Barat diselenggarakan, surat kabar Warta Bandung menayangkan tadjukrentjana yang isinya terang sekali memihak. Mereka mengajak pada segenap pembacanya untuk memilih wakil-wakil di parlemen yang, menurut istilah redaksi, harus dihuni oleh "orang2 madju". Sebab, menurut mereka, selama enam tahun lamanya, sejak DPRD Sementara diisi orang-orang konservatif reaksioner yang ada di Jawa Barat, "tidak ada sesuatu kemadjuan apa2 untuk kepentingan rakjat."
Penjelasan lebih detailnya, tadjukrentjana surat kabar Warta Bandung itu menegaskan bahwa wakil-wakil rakyat di DPRD nantinya harus yang, "betul2 membela kepentingan rakjat, kepentingan kaum buruh, kepentingan kaum tani, kaum pengusaha nasional, pegawai negeri, kaum wanita, kaum peladjar dll jang menginginkan perbaikan nasibnja, jang menginginkan pembangunan daerahnja, jang menginginkan keamanan kampung halamannja dll."
Pada 6 Agustus 1957, atau esok hari setelah tadjukrentjana yang pertama disusun redaksi muncul, kini sambungan tadjukrentjana kemarin itu kembali hadir dengan versi yang agak panjang. Mereka lagi-lagi menyerukan pada khalayak untuk memilih wakil-wakil rakyat yang menghendaki dan bersedia menggalang persatuan nasional yang demokratis, dan tegas tidak akan kompromi dengan para pengacau subversif. Barangkali kita tahu pada siapa kampanye yang demikian ini ditembakkan. Meski di akhir uraiannya menegaskan bahwa redaksi "tidak hendak menjuruh rakjat untuk memilih partai ini dan itu, melainkan pertjaja kepada rakjat jang sadar."
Tetapi di sini terlihat sekali bahwa surat kabar Warta Bandung berusaha mengambil sikap tegas dalam menghadapi anasir-anasir yang dianggap menghalangi langkah untuk merealisasikan seperangkat konsepsi Presiden (Sukarno). Meski kemudian bisa jadi timbul pertanyaan dari kenyataan ini. Apakah berarti surat kabar Warta Bandung memiliki ikatan resmi dengan PKI?
Barangkali menilai mereka bersih sama sekali dari pengaruh PKI boleh dibilang sebagai kekeliruan yang cukup fatal. Tetapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepatnya, relasi mereka –sebagaimana Muhidin M. Dahlan dalam memaknai hubungan Lekra dan PKI– boleh jadi dibangun atas dasar kekeluargaan ideologi.
Baca Juga: Menelisik Isu Kecurangan Pemilu Sejak Orde Lama hingga Orde Baru
SEKELUMIT KISAH PEMILU DAERAH 1957 #1: Kampanye di Bandung dan sekitarnya
SEKELUMIT KISAH PEMILU DAERAH 1957 #2: Polemik Marhaenis
Pemihakan itu Biasa Saja
Lima puluh tahun berlalu, dan kini jejaknya agak sukar ditemui. Beruntung Perpustakaan Nasional masih menyimpan beberapa eksemplar surat kabar Warta Bandung, yang kala itu menjadi salah satu media massa yang eksis. Sebagaimana pers di zamannya, surat kabar Warta Bandung memiliki kecenderungan untuk mengikuti pandangan partai-partai politik yang berprinsip serupa jargon yang mereka usung: Persatuan Nasional Demokratis.
Memiliki oplah hingga 10.000 eksemplar, surat kabar yang bermarkas di Jalan Naripan nomor 1 ini bisa dibilang punya dampak yang cukup signifikan di kancah perpolitikan. Pada tahun 1950-an, media massa dengan corak partisan memang cukup dominan. Kala itu kita mafhum, tidak sedikit media massa yang menjadi corong partai politik –atau setidaknya setuju atas pandangan kelompok tertentu sebagaimana surat kabar Warta Bandung.
Begitu mudah menjumpai "peperangan ideologis" yang terhampar di media massa era-era itu. Dalam konteks nasional, Harian Abadi menjadi terompet nyaring bagi Masyumi. Di sisi yang cukup berjarak dengannya, ada Suluh Indonesia yang lantang menyuarakan persoalan kaum marhaenis. Sementara itu, Harian Rakjat muncul sebagai penabuh genderang bagi PKI, dan ada pula Harian Pemuda yang memiliki visi sebagai berikut: "menelandjangi tokoh2 fulus, membongkar perbuatan2 korup, mendjadikan berita objektif dan njata, mengadjak pembatja berpikir kritis, menentang usaha pemetjahan persatuan."
Kenyataan ini seolah memperkuat teori Sartono Kartodirdjo mengenai penggunaan surat kabar sebagai sumber sejarah yang menurutnya harus dilakukan secara kritis. Sebab, bukan tidak mungkin, jika hanya mengandalkan satu surat kabar, akan berdampak pada narasi yang dangkal –cenderung memuat sensasi berlebihan. Ini terutama untuk media massa yang memang jelas memilih sikap partisan.
Namun justru "ketidaklaziman" macam itulah yang kiranya menjadi penting dalam uraian kali ini. Kita bisa melihat bagaimana redaksi surat kabar Warta Bandung yang –sependek pembacaan saya mendukung visi politik Sukarno– kala itu mengemukakan ekspresi politiknya. Mereka berada di barisan yang sama dengan anasir-anasir yang memagari masyarakat Indonesia dari kebejatan nekolim. Bahkan hari ke hari penekanan pada visi politik awak redaksinya kian memperlihatkan watak vulgar, terutama pada saat proses dan pelaksanaan Pemilu Daerah 1957.
Berikut saya lampirkan secara utuh salah satu editorial/tadjukrentjana surat kabar Warta Bandung menjelang Pemilu Daerah 1957:
Rakjat Djawa-Barat Memilih
Rakjat Djawa Barat bersiap untuk memilih. Sekali ini memilih wakil2nja langsung, jaitu untuk mewakili rakjat di DPRD Kotabesar/Kabupaten dan Propinsi. Kita katakan sangat langsung karena dewan2 inilah jang lebih tepat hubungannja dengan kepentingan daerah. Karena itu, pemilihan umum untuk DPRD ini sangat penting.
Selama ini, terutama selama Djawa Barat hanja dikuasai oleh DPRD sementara, Djawa Barat tidak ada sesuatu kemadjuan apa2 untuk kepentingan rakjat. Selama itu Djawa Barat hanja dikuasai oleh suatu klik jang terdiri dari 'wakil-wakil' partai jang menamakan dirinja besar. Selama itu Djawa Barat diperintah suatu golongan jang tidak mentjerminkan sesuatu pemerintahan kolegial persatuan nasional. Selama DPRD sementara jang bekerdja lebih dari 6 tahun itu Djawa Barat hampir seluruhnja berada ditangan Masjumi dengan bantuan PSI, dan selama itu Djawa Barat tidak mendapat sesuatu kemadjuan. Rakjat hanja setiap waktu dipenuhi teriakan2 mereka, 'tidak ada uang, tidak ada belandja dari pusat, tidak dapat berkerdja, tidak dapat membangun.'
Masa DPRD sementara sudah lampau, dan selama hampir setahun ini DPRD peralihan jang bekerdja. Dalam komposisinja nampak ada perubahan, karena dua partai jang selama itu memegang kuasa (terutama dalam tingkat propinsi) sudah turun tachta. Masjumi tidak sempat memegang monopoli lagi atas kursi2 leluasa, sekalipun masih atas kursi2 leluasa, sekalipun masih DPRD peralihan propinsi dan dibeberapa kabupaten.
Kita memang tidak menuntut sangat banjak dari DPRD peralihan, apalagi karena waktu bekerdjanja terbatas. Dan sebentar lagi DPRD peralihan itu akan digantikan oleh pilihan rakjat secara langsung. Djadi, zaman sementara telah lama lampau, zaman peralihan akan segera berachir. Dengan demikian zaman Masjumi menduduki tachta pemerintahan di Djawa Barat sudah lama lampau, zaman peralihan jang masih sangat belum menguntungkan akan segera berachir.
Jang akan menggantinja haruslah zaman betul2 membela kepentingan rakjat, kepentingan kaum buruh, kepentingan kaum tani, kaum pengusaha nasional, pegawai negeri, kaum wanita, kaum peladjar dll jang menginginkan perbaikan nasibnja, jang menginginkan pembangunan daerahnja, jang menginginkan keamanan kampung halamannja dll.
Hanja dewan2 perwakilan jang diduduki oleh orang2 madju jang dapat menggantikan zaman sementara dan zaman peralihan itu. Zaman berkuasanja partai2 atau orang2 jang sudah terang2 selama 6 tahun tidak menguntungkan rakjat itu tidak mungkin kembali lagi.
* Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan Yogi Esa Sukma Nugraha atau tulisan-tulisan lain tentang sejarah