• Kolom
  • SEKELUMIT KISAH PEMILU DAERAH 1957 #2: Polemik Marhaenis

SEKELUMIT KISAH PEMILU DAERAH 1957 #2: Polemik Marhaenis

Asmara Hadi ada di pusaran ketegangan antarpenganut Marhaenisme. Berawal dari kekecewaan kader di daerah pada keputusan tokoh PNI untuk bekerja sama dengan PKI.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Surat kabar Warta Bandung turut mengemukakan pandangan atas polemik Marhaenis. (Foto: Yogi Esa)

20 September 2024


BandungBergerak.id – Situasi politik di Jawa Barat kian hangat. Kala itu, menjelang Pemilu Daerah di Jawa Barat tahun 1957, timbul beberapa persoalan yang menyita perhatian banyak orang. Ini terutama karena tersiar di sejumlah surat kabar seperti Keng Po, Sulindo, Merdeka, dan lainnya.

Surat kabar Warta Bandung –kelak, Harian Rakjat– turut memuat persoalan itu selama berhari-hari. Adalah polemik antar sesama penganut ajaran marhaen yang kemudian berbuntut panjang. Sekilas tampak ironis jika melihat fakta penemuan istilah marhaen sendiri. Menurut pemaparan Peter Kasenda, dikisahkan pertama kali dalam kuliah Bung Karno "Shaping and Reshaping" di Bandung pada 3 Juli 1957, atau kurang lebih sebulan sebelum tulisan Asmara Hadi –yang memantik diskusi hangat itu– dimuat di surat kabar Warta Bandung.

Ironisnya lagi, PNI juga merupakan salah satu golongan yang diprediksi memenangkan Pemilu Daerah 1957 di wilayah Jawa Barat. Tetapi kita bisa saja merasa bahwa polemik di antara sesama penganut Marhaenis ini masih dalam tahap yang konstruktif, dan wajar belaka. Situasi politik kala itu memungkinkan setiap golongan untuk saling mengajukan –jika meminjam istilah yang kerap dipakai mereka: zelfcorrectie.

Baca Juga: Menelisik Isu Kecurangan Pemilu Sejak Orde Lama hingga Orde Baru
SEKELUMIT KISAH PEMILU DAERAH 1957 #1: Kampanye di Bandung dan sekitarnya

Penolakan Kerja sama

Ketegangan antar penganut ajaran Marhaenisme ini berawal dari kekecewaan sebagian kader di daerah. Tidak sedikit dari mereka yang sinis menanggapi keputusan tokoh-tokoh PNI untuk menjalin hubungan kerja sama dengan PKI. Ketegangan ini memuncak pada peristiwa yang terjadi pada Juli 1957.

Kala itu pemilihan umum daerah telah diselenggarakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. PKI meraih capaian gemilang dengan suara mencapai 34 persen, disusul NU 29 persen, PNI 26 persen, dan Masyumi 11 persen. Menurut M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (hlm. 540), hasil ini membuat "para pemimpin partai (PNI) di Jawa Tengah mulai mendesak agar kerja sama dengan PKI dihentikan”.

Bahkan persoalan kerja sama ini membuat sejumlah pihak ikut angkat pena. Sayuti Melik, dalam Sulindo misalnya. Ia membeberkan pandangannya terkait polemik yang kian ramai.

Ia menerangkan bahwa kerja sama bisa saja dilakukan, asalkan, "sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan PNI". Kelak tulisan Sayuti Melik ditanggapi oleh kader-kader Marhaenis lainnya. Sebagaimana tercatat dalam (satu kolom) surat kabar Warta Bandung, yang terbit pada hari Kamis, 12 September 1957:

"Kebutuhan dan kepentingan jang manakah jang dirasakan sebagai kebutuhan atau kepentingan jang vital oleh PNI pada waktu ini, dimana sudah terang kaum imperialis sedang menambah aktivitetnja untuk memetjah belah bangsa dan negara kita, merobohkan republik kita dengan djalan membantu, ja, malahan memimpin gerakan separatis dan subversif."

Dalam konteks yang lebih spesifik di Jawa Barat, ketegangan muncul ketika satu analisis Asmara Hadi dimuat pada hari Kamis, 1 Agustus 1957. Dengan judul "Mengapa PKI Madju dan Menang?", tulisan Asmara Hadi ini berupaya menjelaskan inti masalah yang terjadi belakangan. Secara tegas ia mengkritik sejumlah kader dan pimpinan PNI Jawa Barat yang hanya bisa mencari sebab-sebab kekalahan dari luar, tetapi enggan melakukan koreksi ke dalam.

Ia membeberkan sejumlah nasihat jika seandainya mengalami kekalahan, itu adalah pil pahit yang harus ditelan. PNI harus belajar dan menerima kenyataan bahwa kemenangan yang diraih PKI merupakan hasil kerja keras dan pengabdiannya pada garis politik yang revolusioner. Dengan perkataan lain, Asmara Hadi hendak mengatakan bahwa sebab kekalahan PNI di Pemilu Daerah 1957, adalah kurangnya militansi kader PNI.

Ia juga mendamprat kelakuan dari sebagian elit PNI. Alih-alih berhubungan dengan massa, membela kaum melarat, kaum marhaen, buruh dan tani, beberapa dari mereka malah memiliki tujuan untuk "memburu posisi seperti misalnja gubernur, residen, kepala djawatan, direktur bank, duta besar, dan sebagainja."

Dalam upaya meninjau kembali relasi antara PNI dan PKI, ia juga menegaskan pada pimpinan PNI di Jawa Barat seharusnya melihat persoalan lebih jauh dari sekadar menggunakan konsepsi sempit –atau hanya membela kepentingan partai. Asmara Hadi mengatakan bahwa perpecahan PNI dan PKI berpotensi memperkuat unsur-unsur reaksioner (dalam terminologi orang-orang PKI disebut: kepala batu!) yang hendak memecah belah kekuatan-kekuatan revolusioner.

Tak lama berselang, tulisan yang secara jitu menyasar muka beberapa kader konservatif itu mendapat reaksi dari banyak kalangan. Sebagian mendukung apa yang menjadi gagasan kunci Asmara Hadi. Sebagian mengecam. Beberapa pimpinan PNI di Jawa Barat ikut mengemukakan analisisnya masing-masing.

Seseorang bernama Nana –saya menduga ia kader, atau mungkin hanya simpatisan PNI– asal Kiaracondong, menulis di kolom "Warta Pembatja" pada 2 Agustus 1957. Ia mengafirmasi pandangan Asmara Hadi, yang menurutnya, "tjotjok dengan andjuran2 Bung Karno, jang menyerukan dalam pidatonja untuk kembali pada marhaenisme tulen."

Anwar Sanusi Amir, sebagai pimpinan PKI Jawa Barat, dalam kolom yang dimuat pada 6 Agustus 1957, juga ikut mengemukakan pendapatnya. Ia menerangkan bahwa dalam kontestasi Pemilu Daerah di Jawa Barat –yang dihelat empat hari terhitung sejak tulisan dimuat– akan gembira jika, "tidak hanja PKI, tetapi djuga PNI jang naik djumlah pemilihnja."

Lebih lanjut, dalam tulisannya, ia menambahkan bahwa sebetulnya yang membuat PKI maju, ialah karena bersikap tegas terhadap "politik berkepala batu." Barangkali kita semua tahu pada siapa kalimat itu diarahkan. Sekilas kita bisa melihat ada upaya untuk bertahan dari serangan yang masif ditujukan pada pihak mereka.

Di sisi yang bersebrangan, ada pendapat Kosasih. Ia seorang pimpinan PNI Jawa Barat, yang berusaha menjawab kritik dari Asmara Hadi di Warta Bandung. Pada 13 Agustus 1957, ia menuliskan keresahannya:

"Tjobalah sdr. Asmara Hadi chajatkan, andaikata kerdjasama kedua partai ini dilandjutkan dan andaikata kedua partai ini mendapat kemenangan mutlak di Indonesia, what next? Harap sdr. Asmara Hadi djawab dengan djudjur: apakah sesudah itu PKI akan berkata, 'Kawan2 kaum marhaen marilah kita bangun sekarang negara dan masjarakat jg marhaenistis', atau apakah PKI akan berkata, 'kawan2 sorry, sekarang kita harus membangun masjarakat jg sama rata dan sama rasa seperti Uni Sovyet dan RRT.' Kami mempunjai kejakinan penuh bahwa hal jg kedua jg akan terdjadi."

Senada dengan Kosasih, riset mendalam Jose Eliseo Rocamora yang berjudul Nasionalisme mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965 (1991, hlm 240), juga memuat keresahan pimpinan PNI Jabar dengan sedemikian gamblang. Di sana tercatat pandangan Rivai, selaku Wakil Ketua DPD PNI Jawa Barat, yang mengatakan bahwa:

"Kerja sama PNI-PKI hanya suatu penipuan yang dibuat PKI untuk menyembunyikan tujuan-tujuan mereka yang sebenarnya. PNI kini harus membongkar siapa sebenarnya PKI –sebuah partai tidak bertuhan yang tujuannya menciptakan diktator komunis di negara ini, dan musuh nasionalisme Indonesia yang menginginkan Indonesia menjadi anggota blok Soviet."

Faksionalisasi PNI

Keterpurukan PNI dalam Pemilu Daerah 1957 di Jawa Barat membuat polemik kian melebar. Untuk kali kedua, Asmara Hadi menulis uraian panjang. Ia mengemukakan bahwa, "djembatan kerdjasama jang menghubungkan antara PNI dengan PKI sedang bergontjang."

Sementara kader dan pimpinan PNI Jawa Barat juga ramai-ramai turun ke gelanggang. Namun kita bisa menduga bahwa akar dari persoalan yang terjadi sebetulnya sudah ada sejak lama. Jika merujuk pada riset Jose Eliseo Rocamora (1991, hlm 131), di sana tercatat bahwa ada dua faksi berbeda di tubuh PNI.

Pertama, faksi Sidik dan Sarmidi yang berhaluan nasionalis radikal. Apa yang ditegaskan Asmara Hadi terang senada dengan barisan ini. Kedua, faksi Wilopo. Bukan kebetulan jika para elit PNI Jawa Barat bersekutu dengan faksi Wilopo yang konservatif di dalam kepimpinan nasional.

Konon kedekatan elit PNI Jawa Barat dengan faksi Wilopo salah satunya didasarkan pada pengalaman pribadi. Dalam hal ini, kabarnya Wilopo melewatkan sebagian besar hidupnya di Jawa Barat. Selain itu, masih menurut Jose Eliseo Rocamora, persekutuan faksi Wilopo dan pimpinan PNI Jawa Barat berlandaskan pada sikap yang sama terhadap soal-soal politik dan ekonomi.

Dan sebetulnya kritik yang diajukan Asmara Hadi pun tidak hanya dilancarkan kali ini saja. Dalam serangkaian tulisan di harian Suluh Indonesia, sejak Maret 1956 Asmara Hadi mendesak Pimpinan PNI untuk menilai kembali kedudukan partai dan melakukan introspeksi. Ia mengingatkan adanya bahaya di tubuh PNI karena mereka merasa berpuas diri dengan kekuasaan yang baru saja diperoleh di Pemilu 1955 –dengan jutaan anggota, fraksi yang besar di parlemen, dan pengaruh yang besar di dalam pemerintahan.

Ia juga mengatakan bahwa partai harus berhati-hati karena prestasi ini bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan hanya alat untuk mencapai cita-cita marhaenis dalam suatu masyarakat sosialis. Kala itu ia menyodorkan analogi tentang partai-partai seperti Kuomintang yang pada mulanya bergerak dengan tujuan-tujuan radikal, namun sesudah memperoleh kekuasaan, mereka melepaskan tujuan-tujuan ini dan menjadi reaksioner. Asmara Hadi kemudian menyarankan agar PNI menentang oportunisme politik –menentang kompromi cita-cita partai untuk mencapai keuntungan politik yang bersifat sementara. (1991, hlm. 259)

Pada akhirnya silang pendapat di antara sesama Marhaenis terhenti di bulan September 1957. Atau lebih tepatnya usai sidang DPP PNI Jabar yang kala itu memutuskan bahwa dalam melaksanakan kerja sama dengan partai-partai lain, mereka berpegang teguh pada ketentuan anggaran dasar pasal 9 ayat D yang berbunyi: "bekerdjasama dengan lain2 golongan dan organisasi, baik didalam maupun diluar negeri, dalam hal jg tidak bertentangan dengan tudjuan partai."

*****

Berikut saya lampirkan secara utuh tulisan Asmara Hadi yang dimuat Warta Bandung –kelak dipublikasikan pula oleh Harian Rakjat dan surat kabar lainnya pada Kamis 1 Agustus 1957:

Tulisan Asmara Hadi pada 1 Agustus 1957. (Foto: Yogi Esa)
Tulisan Asmara Hadi pada 1 Agustus 1957. (Foto: Yogi Esa)

Apa Sebab PKI Madju dan Menang?

Oleh Asmara Hadi

Orang, terutama sekali orang dalam Masjumi dan dalam PSI djadi geger dan kaget. PKI madju dan mendapat kemenangan besar. Dalam pemilihan umum di Djakarta Raja, PKI jg dalam pemilihan umum utk parlemen dan konstituante adalah nomor empat, lalu menduduki nomor dua, melompat-lewati NU dan Masjumi.

Dalam pemilihan umum di Djawa Tengah, PKI djuga mendapat kemadjuan dan kemenangan2, sedang partai2 lain seperti misalnja PNI dan Masjumi mendapat kemunduran jang besar. Sdr. Hadisubeno ketua PNI Djawa Tengah jang telah mengutjapkan kata2 bahwa ia akan meletak djabatannja kalau PNI kalah, tentu sekarang ini agak pusing.

Dalam pemilihan umum di Djawa Barat jang tidak lama lagi akan dilangsungkan, sudah bisa dipastikan dari sekarang bahwa PKI djuga akan menggondol kemenangan dan kemadjuan sedang partai2 lain akan mengalami kemunduran.

Dan orang lalu berkata, 'tentu saja PKI menang, sebab bapaknja, jakni Worosjilov baru2 ini datang kemari dan memberi pangestu.' Atau PKI menang dan PNI kalah sebab kerdjasama antara PKI dan PNI, dan orang lalu menarik konklusi, dus kerdjasama itu harus diachiri selekas-lekasnja.

*

Saja bukan antikomunis dan sebab itu saja tidak panik oleh kemadjuan dan kemenangan PKI itu. Tapi saja djuga bukan anggota PKI dan sebab itu saja tidak gembira seperti anggota2 PKI dengan kemenangan PKI itu. Tjinta saja jang pertama di dunia politik bernama Marhaenisme, dan saja rasa ia pulalah jang akan djadi tjinta saja jang terachir didunia politik. Kendati saja sekarang bukan lagi anggota PNI, saja tetap merasa diri saja Marhaenis ----marhaenis diluar front----, dan kesedihan jang dirasakan oleh anggota2 PNI itu terasa pula oleh saja.

Tetapi berbeda dengan Marhaenis2 didalam front itu, saja tidak mentjari sebab kemenangan PKI itu pada restu 'Worosjilov' ke ia melawan dines ke negeri kita dan jang menjebabkan kemunduran PNI itu bagi saja bukan kerdjasama PNI dan PKI.

Jang menjebabkan kemadjuan bagi PKI adalah idealisme dan tjara anggota2nja berkerdja. Jang menjebabkan kemunduran PNI dan partai2 lain adalah djuga idealisme, dalam arti tidak adanja atau amat kurangnja idealisme itu dan tjara anggota2 daripada PNI dan partai lain itu berkerdja.

Sedjak dari tahun 32 sampai ke saat saja keluar dari PNI saja andjurkan kepada saudara2 di PNI supaja bekerdja seperti PKI. Bukan membuntut PKI. Tetapi seperti PKI!

Jakni, dengan idealisme. Jakni, erat2 berhubungan dengan massa. Jakni, menempatkan diri sebagai partai pelopor dalam membela kaum melarat, kaum marhaen, buruh dan tani. Supaja massa, jakni kaum marhaen, menaruh kepertjajaan.

Pada umumnja pimpinan daripada PKI bekerdja sebagai petani jang sadar bahwa ia tidak akan mengalami masa panen, bahwa bukan tangannja jang akan memetik padi, bahwa bukan mulutnja jang akan memakan nasi dari benih jang sedang ditanam. Kesadaran ini membikin pimpinan dan kader daripada PKI bekerdja dengan lebih rela daripada pimpinan atau kader partai2 lain.

Tidaklah tampak pimpinan dan kader daripada PKI memburu posisi2 kuntji dalam pemerintahan, kedutaan, bank dan sebagainja. Energi mereka tjurahkan untuk merebut hati massa. Kaum marhaen mengeluh karena rumah gubuknja akan dibongkar sebab dibangunkan ditempat jang dilarang? PKI bersedia untuk membela. Buruh-tani mengeluh karena merasa dihisap oleh apa jang mereka sebut tuan tanah atau petani kaja? PKI bersedia utk membela buruh dikota mengeluh karena tekanan ekonomi, karena tekanan dari kaum madjikan? PKI bersedia untuk membela.

*

Adakah pimpin dan kader daripada partai2 lain bekerdja seperti itu? Dengan sedih: tidak! Bagian terbesar dari pimpinan dan inteleknja memburu posisi seperti misalnja gubernur, residen, kepala djawatan, direktur bank, duta, dan sebagainja. Saja hendak berkata dengan tenang, apakah jang bisa dilakukan seorang gubernur, seorang residen, seorang kepala djawatan, atau seorang duta diluar negeri bagi partainja jang hendak merebut hati massa dan jang hendak melaksanakan massa-aksi? Djawabnja: tidak ada, apalagi kalau anggota partai itu sudah djadi duta diluar negeri, hanja dalam mimpi sadja ia kadang2 ingat akan partainja.

PNI, Masjumi, dan partai2 lain tampaknja dalam beberapa tahun ini terlalu amat banjak mentjurahkan energi dan perhatian kepada pemburuan posisi2 itu, sehingga penggugahan dan pemimpinan massa dilakukan oleh tenaga2 klas tiga. Dalam membela buruh dan tani jang merasa dirinja tergentjet, PNI, Masjumi, dan partai2 lain selalu jauh ketinggalan oleh PKI. Tampaknja PNI, Masjumi, dan partai2 lain itu kurang berani membela buruh dan tani. PNI pun jang sebenarnja sepandjang azaz marhaenismenja harus bisa bertindak seperti PKI dalam membela buruh dan tani, sering amat ketinggalan oleh PKI. Hanja dalam waktu jang achir ini PNI kedengarannja lebih militan dalam membela buruh dan tani. Salut kepada Ahem [Erningpradja].

Mungkin ada orang jang hendak berkata: 'apa jang dikerdjakan PKI bagi rakjat djelata, buruh dan tani itu hanja show', adalah pamer, atau propaganda semata. Mungkin benar, tapi dalam perdjuangan merebut massa, show atau propaganda jang seperti itu tidak bisa ditinggalkan. Dan kalau ternjata kelak bahwa PKI hanjalah berpropaganda kosong, tidak bersedia menebus djanji2nja kepada massa, maka PKI akan mengalami atas dirinja sendiri, 'Kami, rakjat jang djadi hakim!'

Djadi: PKI madju dan menang karena hubungannja erat dengan massa melarat, karena menempatkan dirinja sebagai pembela massa, dan karena itu mendapat kepertjajaan dari massa. PNI, Masjumi, dan partai2 lain mengalami kemunduran karena mereka kurang erat dengan massa, karena mereka kurang pandai menempatkan diri mereka sebagai pembela massa melarat, dan karena itu lalu kurang pula mendapat kepertjajaan dari massa. Bukan karena Worosjilov. Dan lebih2 lagi bukan karena kerdjasama antara PKI dengan PNI.

Dua kali, sekali di Semarang, sekali di Bandung. Bung Karno didepan umum mengandjurkan supaja PNI menilik kedalam dirinja sendiri, mendjalankan selfkritik, mendjalankan selfkoreksi, djangan menjimpang dari ajaran Marhaenisme. Djanganlah PNI mentjari sebab kemundurannja itu diluar dirinja!

*

Tentang pikiran2 untuk memutuskan kerdjasama antara PNI dan PKI itu, jg kini memang sedang giat ditaburkan didalam dan diluar PNI, baiklah pimpinan PNI berpikir tenang2, dan beberapa bahan untuk berpikir hendak saja kasihkan:

  1. Adakah Marhaenisme jang dianut PNI sekarang sama dengan Marhaenisme jang dianut Bung Karno? Djika sama maka PNI harus bekerdjasama dengan partai2 jang bertudjuan sosialisme;
  2. PKI bertujuan sosialisme;
  3. Setelah PNI meninggalkan Masjumi, dapatkah PNI berdjabat tangan kembali dengan Masjumi? Dapatkah Masjumi mempertjajai PNI kembali?
  4. Melihat gelagatnja diluar Djawa jang akan mendapat kemadjuan dan kemenangan dalam pemilihan umum jad. ialah Masjumi;
  5. Andaikata PNI memutuskan kerdjasama dengan PKI, tetapi Masjumi tidak pertjaja penuh lagi kepada persahabatan dari PNI, maka baik di Djawa maupun diluar Djawa, PNI akan berselimut isolasi.

Itulah beberapa bahan jang baik dipikirkan oleh pimpinan daripada PNI sebelum memutuskan kerdjasama dengan PKI. Bahan2 dari seorang Marhaenis diluar front.

* Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan Yogi Esa Sukma Nugraha atau tulisan-tulisan lain tentang sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//