SEKELUMIT KISAH PEMILU DAERAH 1957 #1: Kampanye di Bandung dan sekitarnya
Ada momen setelah Pemilu 1955 yang kerap terlupakan yakni Pemilu Daerah. Untuk pertama kalinya masyarakat memilih secara langsung wakil-wakil rakyat di daerah.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
13 September 2024
BandungBergerak.id – Berdasarkan informasi yang didapat dari surat kabar Warta Bandung, dan sumber pendukung lainnya, tulisan ini berupaya menyelidiki dinamika yang terjadi sepanjang proses Pemilu Daerah 1957 dihelat di Jawa Barat, khususnya Bandung dan sekitarnya. Tetapi saya merasa harus lebih dulu mengakui bahwa isi dari surat kabar Warta Bandung sendiri didominasi oleh informasi menyoal aktivitas partai –yang kini hilang dan satu lagi illegal. Kala itu, mereka tercatat sebagai partai-partai yang diprediksi unggul dalam kontestasi politik, dan terbilang paling atraktif.
Bukan tanpa alasan, tentunya. Melihat dari sejarah demokrasi liberal era 50-an, banyak yang mafhum jika pers atau surat kabar berkelindan dengan aktivitas partai. Karenanya, disadari dengan penuh keyakinan bahwa, jika dalam tulisan ini saya hanya mengandalkan pada satu surat kabar di era demokrasi liberal, maka tulisan ini memiliki keterbatasan; tidak bisa menjangkau seluruh kalangan yang mengikuti proses Pemilu Daerah 1957. Ini pula barangkali yang menjadi alasan sejarawan konvensional meletakkan surat kabar di bawah dokumen resmi.
Menukil Andi Achdian dalam prolog berjudul Monumen Ingatan (2024, hlm. xi), metode macam sejarawan konvensional itu memang biasa dilakukan. Sebab, menurutnya, surat kabar atau pun majalah: "Sulit dipegang perspektifnya, sarat bias, dan sensasi."
Tetapi, ia melanjutkan: "bahwa bias dan 'unrealibility' pemberitaan surat kabar justru merupakan rekaman penting dalam lingkupnya sendiri. Surat kabar bukan hanya merekam peristiwa dalam waktu dan impak yang cepat, tetapi juga mengabadikan sikap-sikap dan bias sosio-kultural di dalam konteks sejarahnya sendiri."
Atas penjelasan itu, saya merasa bahwa apa-apa yang dimuat dalam pemberitaan surat kabar Warta Bandung mengenai Pemilu Daerah 1957 menjadi penting, dan tentunya bukan berarti tidak butuh pembanding. Setidaknya kita, sebagaimana keterangan Andi Achdian, bisa mendapatkan sikap, pandangan, dan perilaku orang-orang yang menjalani fitrah sesuai semangat zamannya –meski, saya akui sekali lagi, tidak bisa menggambarkan seluruh kalangan yang menghuni republik ini.
Yang pasti bukan suatu kebetulan jika surat kabar Warta Bandung mengusung slogan Persatuan Nasional Demokratis. Memangnya, siapa kira-kira yang kala itu memiliki "weltanschauung" serupa?
Baca Juga: Jalan Terjal Muchtar Pakpahan
12 November 1957, Aksi Ribuan Pelajar Menolak Kenaikan Uang Ujian
Menelisik Isu Kecurangan Pemilu Sejak Orde Lama hingga Orde Baru
Pemilu di tengah Kekacauan
Dalam sejarah politik, Pemilu 1955 kerap dibilang sebagai tonggak awal demokratisasi bagi rakyat Indonesia. Ia bahkan menjadi pusat perhatian banyak ilmuwan. Tidak keliru memang. Tetapi, ada momen setelahnya yang mungkin terlupakan, seperti misal Pemilu Daerah untuk memilih DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota di tahun 1957.
Pemilu Daerah 1957 ini diselenggarakan secara bergilir di masing-masing provinsi. Jawa Barat mendapat giliran keempat setelah sebelumnya lebih dulu digelar di Jakarta Raya, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tepat pada tanggal 10 Agustus 1957, sebagaimana dilaporkan Warta Bandung (25/7/1957), untuk pertama kalinya masyarakat Jawa Barat memilih secara langsung wakil-wakil rakyat di daerah.
Menurut aturan yang telah ditetapkan Panitia Pemilihan Umum daerah Bandung, aparatus negara –seperti polisi dan tentara– harus lebih dulu memilih wakil mereka di parlemen daerah pada 3 Agustus 1957. Artinya, aparatus negara mencoblos seminggu sebelum sipil menentukan pilihannya. Dan pastinya bukan tanpa alasan.
Pemilu Daerah 1957 diselenggarakan di tengah gonjang-ganjing politik kedaerahan (kala itu gagasan federalisme dihembuskan salah satu kelompok masyarakat). Ada pula isu mengenai negara yang saat itu menetapkan status darurat perang, wabah influenza, bencana banjir bandang di wilayah Priangan Timur, dan –tentu saja kita semua tahu– masalah gerombolan (DI/TII) yang dikenal kerap menyulitkan rakyat Jawa Barat selama lebih dari satu dekade. Beberapa persoalan ini kelak menjadi landasan partai-partai untuk merumuskan programnya.
Geliat PNI Jawa Barat
Sudah dari jauh hari, wartawan surat kabar Warta Bandung melaporkan bahwa partai-partai –terutama empat besar: PNI, NU, Masyumi, PKI– diperkirakan bakal mendominasi di Pemilu Daerah 1957. Tak luput, persiapan partai-partai itu pun turut dikabarkan, seperti pemasangan tanda gambar di beberapa tempat, kemudian merancang rapat-rapat, dan melakukan aktivitas sosial, seperti misal pembangunan jembatan. Namun sebetulnya persiapan itu ditujukan untuk dua hal.
Pertama, dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1957. Kedua, itu baru untuk menyambut Pemilu Daerah 1957, yang artinya juga seluruh partai berupaya meraih simpati masyarakat; mereka yang bakal lebih dulu memilih wakilnya pada 10 Agustus 1957, sebelum memperingati Hari Kemerdekaan Republik.
Sejak pertengahan bulan Juli 1957, partai-partai mulai gencar melakukan aktivitas kampanye. PNI Jawa Barat menyebarluaskan pamflet yang berisi program-programnya. Kepada setiap cabang, partai yang tak jarang dikategorikan sebagai kaum borjuis nasional ini membagi-bagikan bacaan untuk mempromosikan agenda politik yang diusungnya.
Itu semua tercatat dalam pamflet dengan judul "Marhaenisme milik setiap orang jang Gandrung kepada Kemerdekaan, Keadilan, dan Kemakmuran". Di dalam rilisannya, dijelaskan secara detail apa itu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan diberi penekanan mengenai perbedaannya dengan parlemen era kolonial. Selain itu, dikutip pula pernyataan Bung Karno yang mengatakan bahwa, "Marhaenisme itu adalah ilmu perdjoangan bangsa Indonesia untuk mentjapai masjarakat jang adil dan makmur."
Surat kabar Warta Bandung yang terbit pada 19 Juli 1957 memuat rilis pers yang disiarkan PNI Jawa Barat ini secara rinci. Berikut sejumlah program yang ditawarkan PNI Jawa Barat dalam upaya meraih atensi massa yang lebih luas:
- Gangguan keamanan seperti jg dilakukan oleh DI/TII jg melakukan kegiatan2 subversif akan diberantas setjepat2nja;
- Akan diusahakan agar bandjir2 dapat ditjegah, dan akan disediakan pupuk dan bibit bagi kaum tani;
- Kesehatan Rakjat dapat terpelihara
- Menjelenggarakan rumah sehat dan hidup sehat
- Mengusahakan tambahan sekolah2
- Memperluas lalulintas
- Memperdjoangkan dasar pengupahan jang baik.
Di samping itu, PNI Jawa Barat mulai rutin melakukan sejumlah pertemuan dengan para anggota dan simpatisan di setiap daerah. Sebagaimana tercatat dalam laporan berjudul "Warga Marhaenis adakan Pertemuan Besar" pada tanggal 28 Juli 1957. Sejak pagi, hingga malam hari, pertemuan diadakan bersama Warga Marhaenis di Taman Hiburan Situ Aksan, Suryani.
Banyak hal dibahas dalam satu pertemuan itu. Dari mulai sambutan sejumlah pimpinan partai, serta penyerahan hasil gerakan sosial dan hiburan kesenian. Bahkan upaya kampanye yang dilakukan PNI tidak hanya dihelat di Bandung. Acara serupa turut juga digelar di Tasikmalaya. PNI cabang Tasikmalaya menginisiasi satu pertemuan di Gedung Bioskop Santosa pada 28 Juli 1957.
Dalam satu tarikan nafas, PNI Jawa Barat menyerukan kepada seluruh anggotanya untuk mengikuti setiap agenda yang diselenggarakan di berbagai daerah: "Panitya mengandjurkan kepada segenap warga marhaen dan simpatisan untuk mengundjungi atjara tersebut dan dengan membawa makanan setjara marhaen, seperti timbel, dll."
Nyaris tidak jauh berbeda dengan PNI. PKI Jawa Barat mengusung beberapa program yang berkaitan dengan persoalan aktual. Di antaranya tentang ancaman gerombolan, otonomi daerah, ketenagakerjaan, agraria, dan kesehatan masyarakat. Ada sejumlah penjelasan mengenai tiga program yang disebut belakangan.
Pertama, mengenai ketenagakerjaan. Meski sumber yang saya dapat dari bahan bacaan mengenai partai ini tidak memberi keterangan secara eksplisit, tetapi dugaan saya, program PKI didasarkan pada fakta yang kala itu terjadi. Ini berdasarkan informasi yang ada di dalam laporan Warta Bandung 12 Juni 1957. Kala itu permasalahan pengangguran di Kotapradja Bandung tercatat sudah memasuki tahap darurat.
Jawatan Penempatan Tenaga Kerja Jawa Barat menjelaskan, setidaknya untuk bulan Maret-April 1957, ada 23.433 (20787 laki-laki, 2656 perempuan) yang menghubungi mereka untuk meminta lapangan kerja. Sekadar tambahan informasi, Jawatan itu sendiri merupakan istilah bagi setiap badan usaha negara. Sependek pengetahuan, salah satu badan usaha negara yang masih memakai istilah “djawatan” dan hingga kini masih beroperasi adalah DAMRI (yang merupakan akronim dari Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia).
Kedua, adalah isu agraria. Sulit untuk mengesampingkan bahwa hal ini merupakan akibat dari fusi antara BTI (Barisan Tani Indonesia) dan sejumlah organisasi di luarnya seperti SAKTI (Serikat Tani Indonesia) dan RTI (Roekoen Tani Indonesia) dalam urusan agraria. Menurut catatan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (hlm. 517), jumlah anggota BTI pada akhir 1955 bahkan mencapai 3,3 juta. Meski hampir 90 persen anggotanya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tetapi, sepanjang tahun 1957, BTI banyak membuka cabangnya di Jawa Barat. Meski menjadi ironi ketika PKI meluas ke sejumlah wilayah perdesaan, identitas kelas dan militansi potensialnya seolah ikut tenggelam. Menurut catatan M.C. Ricklefs (hlm. 517), banyak petani miskin yang bergabung karena PKI berjanji akan membela kepentingan mereka. Ada juga yang bergabung karena alasan lain. Seperti misalnya, karena PKI terlibat dalam perbaikan jembatan, sekolah, rumah, bendungan, WC umum, saluran air, jalan-jalan; membasmi hama, mengadakan kursus untuk memberantas buta huruf, mengorganisasi kelompok seni di desa, dan memberi bantuan kepada anggota saat situasi sulit.
Ketiga, adalah isu kesehatan masyarakat. Sekadar memberi konteks bahwa sejak Februari 1957, masyarakat seluruh dunia dihajar badai influenza yang hebat. Bahkan sejumlah ahli berpendapat, ini merupakan terbesar kedua ---setelah Flu Spanyol--- yang terjadi pada abad ke-20. Hal tersebut kemudian berdampak pada kehidupan sosial: buruh (negeri maupun swasta) dan pelajar banyak yang terpapar wabah. Dengan demikian, banyak pula dari mereka yang tidak masuk pabrik dan sekolah.
Menurut perkiraan dari Jawatan Kesehatan Kota, sebagaimana tercatat dalam Warta Bandung 23 Juni 1957, hampir 50 persen dari pengunjung rumah sakit di Jawa Barat terkena penyakit influenza. Tentu saja ini persoalan serius. Akhirnya turut menjadi perhatian partai-partai yang hendak melaksanakan kampanye.
Dan pada akhirnya kita tahu bahwa segenap upaya yang dilakukan PKI Jawa Barat ini sesuai dengan garis yang ditetapkan Komite Sentral. Sebagaimana keterangan Njoto, yang menyerukan di Harian Rakjat 14 Mei 1957, bahwa "kampanye pemilihan DPRD harus nyata, simpel, dan fokus pada masalah ekonomi dan sosial". Ini juga terbukti dari upaya PKI Jawa Barat yang turut merancang bantuan sosial dengan memungut sumbangan pada seluruh anggota. Kelak, hasil sumbangan diberikan kepada "korban kekatjauan [gerombolan] dan korban bentjana alam [banjir Priangan Timur]".
Bahkan hal serupa juga digerakkan langsung oleh anggota DPD-Peralihan Jawa Barat dari fraksi PKI, Ukar Karmansyah. Ia saat itu berupaya menemui pembesar Bandung seperti Kepala Polisi Enoch Danubrata dan Gubernur Jabar Ipik Gandamanah. Surat kabar Warta Bandung, 23 Juli 1957 mencatat Ukar Karmansyah, "mengandjurkan supaya para pedjabat pemerintahan mempelopori kegiatan tsb."
PKI Jawa Barat juga mengajukan satu usulan agar anggaran untuk Sidang Parlemen disalurkan pada korban bencana alam di Priangan Timur. Lebih lanjutnya, mereka memutuskan suatu hal yang krusial. Dalam hal ini, terkait dengan uang sumbangan dari hasil rapat raksasa yang semula bakal dipergunakan untuk biaya pemilu, tetapi segera dibatalkan saat melihat kenyataan adanya bencana banjir bandang. Menurut keterangan yang disampaikan perwakilan dari PKI Jawa Barat:
"Sekalipun djumlah sumbangan itu tidak akan merupakan suatu djumlah besar, tetapi jg terutama dimaksudkan sebagai sumbangsih dan mudah2an mendjadi pendorong bagi masjarakat luas dalam menggerakkan aksi sumbangan besar2an buat para penderita korban bentjana alam di Priangan Timur." (Warta Bandung, 23 Juli 1957)
Kampanye Terakhir Begitu Semarak
Kala itu, 7 Agustus 1957. Kegiatan kampanye kian ramai. Dalam laporan bertajuk Hari Kampanje terachir sangat Ramai dan Sibuk, reporter menggambarkan suasana saat itu dengan cukup apik. Di dalamnya, tertulis bahwa: "Mobil2 jg membawa barisan kampanje PNI tidak djemu-djemunja sedjak pagi sampai malam berkeliling diseluruh bagian kota."
Kabar itu disebarluaskan bersamaan dengan keterangan soal berakhirnya waktu kampanye untuk Pemilihan Umum DPRD provinsi, Kabupaten dan Kotapradja. Ini juga tercatat sebagai momen yang paling sibuk bagi para aktivis partai. Selain semua partai-partai besar yang sangat aktif melakukan kampanye di hari terakhir ini, partai-partai kecil juga tidak ketinggalan.
Beragam strategi kampanye telah dijalankan. Bentuknya bermacam-macam. Tetapi yang terang, kesempatan hari terakhir ini berusaha dipergunakan partai dengan sebaik-baiknya. PKI misalnya. Di hari terakhir, mereka mengadakan Rapat Raksasa di kawasan Tegalega. Pertemuan Akbar ini diberi tema "Merah Putih Palu Arit”.
"Pembitjara2nja A. Anwar Sanusi, Nj. Salawati Daud, Ir. Sakirman, dan D.N. Aidit," demikian keterangan yang dilaporkan Warta Bandung, 8 Agustus 1957. Kemudian, masih dalam laporan yang sama, tercatat:
"Masjumi pun nampak kegiatannja, antara lain mengadakan rapat-rapat setempat2, sedang PSII jang selama ini tidak terlalu nampak aktipitetnja kemarin telah mengeluarkan 'barisan delman dan sepeda', dan PSI sama dgn PNI menggunakan mobil2 dgn tjorong pengeras suara keliling kota. Tabuh2an pun dipergunakan utk menarik perhatian."
Keriuhan suasana kampanye ini tentu saja sampai hingga ke sejumlah pelosok Jawa Barat. Mengingat jangkauan Surat Kabar Warta Bandung yang mampu menerobos hingga ke wilayah Priangan Timur. Dalam satu laporan, bahkan situasi Pemilu Daerah 1957 ini digambarkan seolah-olah Kota Bandung sedang dalam keadaan pesta.
"Pesta", sebagai kata yang dipilih redaksi mungkin bisa dianggap berlebihan. Tetapi bukan mustahil pula mengandung suatu kebenaran jika yang dimaksud adalah banyak sekali orang yang terlibat dalam kampanye Pemilu Daerah 1957 ini. Salah satu buktinya, bisa dilihat pada keterangan berikut:
"Kampanje dgn gerak djalan pun kompak dilakukan oleh barisan2 PNI, sedang PKI mengadakan pawai sehabis rapat umumnja di Tegalega. Hampir seluruh pengundjunja jg berdjumlah sangat banjak itu turut dlm pawai PKI dgn pakaian jg masih basah karena sore kemarin turun hudjan di Kota Bandung."
Bagaimana informasi kampanye hari terakhir di luar kota selain Bandung, sejauh ini saya belum menemukan kabar yang pasti. Tetapi, yang unik adalah kegiatan yang dilakukan organisasi di bawah payung PKI, yakni Pemuda Rakyat. Dalam laporan bertajuk Pemuda Rakjat adakan Piknik Palu Arit, mereka tampak menggelar kampanye sembari melakukan piknik. Berikut saya kutip keterangan tersebut secara utuh:
"Pada 28 Juli 1957, dari mulai pagi Jam 08.00 WIB, Pemuda Rakjat kota Garut mengadakan piknik dengan tujuan akhir Cibatu. Piknik tersebut dipimpin Komisariat Pemuda Rakjat Garut dan diikuti 3000 sepeda yang dihiasi Bendera Merah Putih, bendera Pemuda Rakjat, dan Bendera Palu Arit."
* Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan Yogi Esa Sukma Nugraha atau tulisan-tulisan lain tentang sejarah