• Berita
  • Membincangkan Buku Puisi Hanya Waktu, Menengok Relung Seorang Matdon

Membincangkan Buku Puisi Hanya Waktu, Menengok Relung Seorang Matdon

Buku Rais Aam Majelis Sastra Bandung (MSB) Matdon dibincangkan di forum diskusi Bukan Jumaahan. Membaca penyair dari berbagai sisi.

Matdon, buku puisi Hanya Waktu dalam diskusi di Kedai Jante, Jalan Garut, Kota Bandung, Jumat, 22 Agustus 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam23 Agustus 2025


BandungBergerak.id Matdon, jurnalis senior sekaligus penyair menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul Hanya Waktu. Buku yang yang ke-12 Matdon ini dinilai menunjukan sisi religinya dibanding karya-karya sebelumnya yang didominasi syair-syair cadas, penuh kritik sosial dan satire.

Rais Aam Majelis Sastra Bandung (MSB) ini menuangkan gejolak pengalaman batinnya ke dalam 60 judul kumpulan sajaknya. Antologi ini dibahas dalam diskusi Bukan Jumaahan yang ke-140 di Kedai Jante, Jalan Garut, Kota Bandung, Jumat, 22 Agustus 2025.

Sastrawan Rosyid E Abby, narasumber Bukan Jumaahan, menyatakan dirinya sudah lama mengenal karya Matdon. Setelah membaca utuh tulisan Matdon ia seperti melihat sisi religius dari sosok penyair.

Rosyid membandingkan dengan sejumlah buku puisi Matdon sebelumnya yang cenderung memberontak dan nyeleneh. Nilai religi Matdon terlihat dari pemilihan judul “Hanya WaktuJudul INI erat kaitanya dengan telinga orang Islam akan surah Al-Asr (103) yang berarti waktu atau masa.

“Tiga ayat itu mengingatkan kita bagaimana memandang waktu itu sangat penting,” tutur Rosyid. “Bahwa kita jangan melalaikan waktu.”

Dari 60 puisinya memang tidak ada sajak berjudul Hanya Waktu. Namun ke-60 puisi ini mencerminkan tema-tema dan perjalanan penyair dalam mengarungi waktu. “Karena karya sastra bisa mengandung pengertian yang luas. Dalam puisi Matdon ini kita melihat waktu bukan sekadar durasi,” lanjut Rosyid.

Contoh, pada puisi tentang Puasa yang menunjukan ketegasan religius Matdon dalam menulis. Puisi Puasa iini berbunyi:

Di sampingku ada anggur, roti, dan segelas whiskey

kubiarkan basi

karena puasa tak boleh kusentuh

di depanku ada medsos

muara keluh kesah kaum kesepian

kubaca ketawa mereka dengan air mata

yang tersimpan di dada

tak terasa air mata kuhirup

plus whiskey dan anggur;

doaku berlipat ganda

Rosyid dinilai meditatipmengandung ingatan, kesunyian, dan perenungan tentang Tuhan dan agamanya. “Fungsi-fungsinya juga merapkan perjalanan batin penyair. Bukan sebagai rangkaian kata tak bermakna,” tandasnya.

Sementara Zulkifli Songyanan sebagai penanggap, mempertanyakan diksi-diksi yang dipilih MatdonMenurutnya, Matdon berani mendekatkan diksi atau pilihan kata yang berlainan arti dan berjauhan makna dalam satu syair.

Contohnya, Matdon menulis “di kepalaku ada ribuan orang berkumpul, mereka kencing dan berwudu. “Menyandingkan kencing dan wudu dalam satu kalimat, itu tuh menurut saya sikap yang cukup keren ya dari Kang Matdon,” terang Zulkifli yang juga penyair sekaligus jurnalis situs Majalaya.id.

“Saya suka dengan puisi yang pertamanya judulnya Ramadan,” tambah pria yang akrab disapa Zul.

Hawe Setiawan, budayawan dan dosen sastra Universitas Pasundan (Unpas) mengomentari bahwa di buku puisi Hanya Waktu Matdon menunjukkan dua kecenderungan, yakni lirisisme erotis dan kritik sosial yang bersifat satiris.

Dia mencontohkan puisi berjudul Kabah yang menuliskan ‘Tuhan aku tidak ada’. Bagi Hawe ungkapan tersebut lebih tegas dari sajak Chairil Anwar berjudul Doa “Di pintumu aku mengetuk aku tak bisa berpaling”. “(Matdon menegaskan) aku memang enggak ada gitu di hadapan hadirat Tuhan,” terang Hawe.

Baca Juga:Mari Kita Melawan dengan Puisi
Panitia Jumaahan Menggelar Doa untuk Almarhum Array, Komikus Mata Merah Bandung

Foto bersama setelah diskusi buku puisi Hanya Waktu karya Matdon di Kedai Jante, Jalan Garut, Kota Bandung, Jumat, 22 Agustus 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Foto bersama setelah diskusi buku puisi Hanya Waktu karya Matdon di Kedai Jante, Jalan Garut, Kota Bandung, Jumat, 22 Agustus 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Bangkit dari Mati Suri

Tahun 2016 keajaiban bagi Matdon. Saat itu dia koma atau mati suri selama dua pekan di rumah sakit. Kejadian tersebut disinggung oleh karibnya Gusjur Mahesa, penyair sekaligus pemain teater.

Menurut dosen STKIP Siliwangi Bandung itu pengalaman Matdon yang bangkit kembali dari ajal menjadi pertanyaan, apakah kejadian tersebut mempengaruhi bentuk puisinya?

Saat itu, Gusjur mengunjungi Matdon yang tengah koma. “Saya melihat (Matdon) tergeletak. Enggak ada teman, melihat sendiri kosong dan sunyi,” tuturnya.

Gusjur menilai Matdon telah mengalami pengalaman luar biasa selama sakit. “Ada pengalaman spiritual yang luar biasa yang merubah dirinya. Dia pergi ke surga,” terang Gusjur.

Hal itu diamini oleh Matdon yang mengungkapkan dirinya memang mati suri. Dia bersyukur diberi kesempatan hidup kembali. “Kalau saya waktu itu selesai misalnya mati waktu 2016 artinya saya tidak bisa berkarya lagi,” ungkapnya, kepada BandungBergerak, usai diskusi.

“Dan Tuhan memberikan waktu untuk saya menulis.”

Hal itulah yang menjadi bahan perenungan Matdon hingga kini. Ditambah saat dia menginjakan tanah suci Mekah untuk pertama kalinya. Di sana pula dia meneteskan air mata.

“Dan pengalaman-pengalaman itu kemudian menemukan kesadaran untuk saya bahwa manusia itu memang hanya dibatasi oleh waktu,” jelasnya.

Ia berharap bisa menggunakan waktu sebaik mungkin. “Kalau tidak menggunakan dengan baik, tentu kita yang akan tergilas oleh waktu.”

Menanggapi soal puisi religius, Matdon menjelaskan pada dasarnya setiap syair bersifat religius jika yang dimaksud religius adalah keindahan. Setiap pilihan-pilihan kata yang dikemas puitis atau indah adalah religious. Contohnya, syair yang melukiskan keindahan alam atau tubuh sebenarnya bersifat religious unsur estetiknya.

Matdon adalah penyair, penulis, dan wartawan. Buku kumpulan puisinya antara lain, Persetubuhan Bathin, Caris Lang Sakaratul Cinta, Kepada Penyair Anjing, Ustadz Televisi, Kepada Luka. Ia juga menerbitkan buku kumpulan cerpen, di antaranya Bubur Ayam dan Kabar Tak Penting. Serta buku esai Birahi Budaya dan Teater Alat Ritual.

Beberapa esai Matdon terbit di Kompas, Pikiran Rakyat, Galamedia, AyoBandung, com, Tribun Jabar, Sene Harapan, Bali Post, Jakarta Post, dll. Ia merupakan Rais Aam Majelis Sastra Bandung sejak 2009.  

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//