• Narasi
  • Mari Kita Melawan dengan Puisi

Mari Kita Melawan dengan Puisi

Puisi dalam isinya tak hanya bisa kita nikmati, namun bisa "menguliti" para kaum-kaum brengsek di negeri ini. Selamat merayakan Hari Puisi Nasional.

Fathurrizqi Atmaja

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

1 Mei 2025


BandungBergerak.id –  Tanggal 28 April telah menjadi hari yang cukup sakral bagi para pecinta dan perawat kesusastraan di bumi pertiwi. Tanggal yang bertepatan dengan wafatnya sang maestro yang diberi julukan binatang jalang, Chairil Anwar, itu datang dengan membawa pesan berulang, bahwa puisi Indonesia telah mengalami banyak jatuh-bangun dalam perjalanannya.

Jika dilihat dari sudut pandang umum, tak asing lagi bagi kita jika melihat puisi sebagai susunan kata penuh makna dan sarat akan cinta. Namun, apakah puisi benar-benar hanya tentang cinta?

Tanggal 28 April disematkan menjadi Hari Puisi Nasional oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang bekerja sama dengan Musyawarah Nasional Sastrawan. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Tanggal ini dipilih sebagai simbol penghargaan terhadap sepak terjang Chairil Anwar dalam kesusastraan Indonesia.

Dari ujung barat hingga ke timur Indonesia, nama Chairil mestinya akrab didengar. Chairil sudah menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari puisi dan negeri ini.

Meskipun banyak pengamat dan penikmat sastra di Indonesia berpendapat bahwa Chairil bukanlah tipe penulis yang produktif dalam menghasilkan tulisan, namun kita semua tak dapat menampik jika seseorang menyebut Chairil sebagai wajah sastra Indonesia. Tercatat, Chairil Anwar telah menghasilkan 75 puisi, 7 prosa, dan 3 koleksi puisi. Ditambah, Ia juga menerjemahkan 10 puisi dan 4 prosa.

Semasa hidupnya, Chairil berkarya dalam kungkungan penjajahan. Sajak-sajak miliknya tentu tak hanya berkutat dengan cinta. Puisi seperti “Karawang-Bekasi” begitu menggelegar, Maman S. Mahayana, pengajar di fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, berpendapat bahwa ketika Chairil menulis sajak ini, ia tidak hanya berjibaku dengan imajinasinya saja, melainkan terlibat langsung dalam hiruk pikuk perjuangan.

Di puisinya yang lain, yang diberi judul “Diponegoro” juga tak kalah magisnya. Di puisi itu, Chairil mengungkapkan kekagumannya dengan perjuangan yang dilakukan Diponegoro, selaku salah satu pahlawan nasional. Hal itu menjadi bukti bahwa Chairil memiliki semangat juang yang ia tumpahkan dalam tulisan.

Bahkan, Maman S. Mahayana, dalam buku Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api, berpendapat bahwa Chairil pernah menjadi redaktur majalah Gema Suasana. Namun, setelah ia mengetahui bahwa majalah itu mendapat biaya dari Belanda, ia memutuskan untuk keluar. Sikap Chairil itu tentu sudah cukup kuat untuk memproklamirkan bahwa tak hanya sajak miliknya saja yang memuat perlawanan, namun tindak tegasnya juga menyuarakan isi yang sama.

Baca Juga: Puisi Gusjur Mahesa, Pertarungan Kegilaan dan Kewarasan dalam Perang terhadap Korupsi
Puisi Sebagai Refleksi Pemikiran dan Perasaan dari Setiap Insan Manusia
Patah Hati Akmal Firmansyah dalam Zine Puisi Berbahasa Indonesia dan Sunda

Simbol Perlawanan

Dalam perjalanannya, puisi tanah air telah melahirkan begitu banyak penyair yang menyuarakan perlawanan. Sebut saja Wiji Thukul.

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Kutipan puisi tersebut tentu sudah tidak asing lagi di mata para pembaca. Wiji menjadi bukti bahwa tiap kata yang ia rangkai dapat menjadi tombak yang tajam dan menakutkan.

Tak hanya Wiji, beberapa penyair masyhur lain juga memiliki puisi yang bernuansa perjuangan dan perlawanan. Taufiq Ismail pernah menulis puisi yang disinyalir menjadi simbol keberanian para demonstran mahasiswa dan pelajar pada tahun '66. Puisi ini diberi judul Sebuah Jaket Berlumur Darah. Di lini sastrawan kontemporer pun sudah ada beberapa sajak yang disematkan unsur perjuangan di dalamnya. Puisi milik Hasan Aspahani yang berjudul Puisi: Pamflet untuk Sebuah Aksi ini dengan gamblang mengajak para kaum-kaum tertindas untuk menyuarakan pendapatnya dengan suara mereka sendiri.

Dalam perjalanannya, puisi sebagai cabang kesusastraan telah banyak menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap kekuasaan, alih-alih  dipandang sebagai sajak yang hanya bicara tentang cinta dan nestapa. Salah satu penyair yang benar-benar tegas dalam menyikapi pandangan bahwa puisi hanya berisi hal-hal yang picisan adalah W.S Rendra, sesosok penyair yang memiliki latar pendidikan di bidang politik.

W.S Rendra bahkan pernah menumpahkan kesinisannya terhadap para penyair yang hanya mementingkan gaya saja. Ia menulis sajak yang berjudul Sajak ‘Sebatang Lisong’

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair–penyair salon,
yang bersajak tentang anggur,
dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak–kanak tanpa pendidikan
termangu–mangu di kaki dewi kesenian.

Si Burung Merak, Rendra mencoba menyadarkan kita bahwa puisi lebih besar dan berpengaruh ketimbang persoalan cinta-cintaan belaka. Kritiknya ini tak sekedar omong kosong saja. Ia membuktikan dengan karya-karyanya yang berbau perlawanan seperti Paman Doblang.

Para penyair tersebut sebetulnya juga banyak menghasilkan karya-karya yang bertema cinta, namun di sisi lain mereka juga menunjukkan kepada para pembaca bahwa puisi tak hanya gagah dalam persoalan romantis.

Puisi bukan sekedar soal bentuk tulisan untuk keren-kerenan, tapi puisi adalah pesan yang memiliki kekuatan. Ketika cabang seni lain seperti film, musik, atau lukisan menjadi mimbar perlawanan terhadap penyelewengan, puisi juga harus ada di tempat dan di barisan yang sama.

Saat ini, kita sedang dihadapkan dengan begitu banyak ketidakstabilan politik. Tentu tidak asing lagi di telinga dan mata kawan-kawan sekalian ketika melihat dan mendengar permasalahan-permasalahan yang timbul di negara kita. Begitu banyak pembungkaman dan ketidakadilan tersebar dimana-mana. Puisi mesti hadir di tengah-tengah guncangan ini sebagai tombak perlawanan bagi masyarakat.

Kawan, maka di Hari Puisi Nasional kali ini, kita kaburkan pandangan kita bahwa puisi adalah tembang-tembang cinta belaka. Puisi dalam isinya tak hanya bisa kita nikmati, namun bisa "menguliti" para kaum-kaum brengsek di negeri ini. Jika puisi adalah mawar, maka rawatlah duri-durinya agar tetap tajam dan mengancam lelap kekuasaan!

Bandung, 2025

 

*Kawan-kawan dapat membaca esai-esai menarik lainnya tentang puisi dan literasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//