Puisi Gusjur Mahesa, Pertarungan Kegilaan dan Kewarasan dalam Perang terhadap Korupsi
Buku berjudul Mending Edan daripada Korupsi dibedah pada pengajian ke-125 Majelis Sastra Bandung, di Perpustakaan Ajip Rosidi.
Penulis Iman Herdiana2 Juni 2022
BandungBergerak.id - Gusjur Mahesa, pemain teater yang juga dosen STKIP Siliwangi Bandung, menerbitkan antologi puisi dengan tema perlawanan terhadap korupsi. Buku ini mengingatkan bahwa Indonesia memiliki masalah lama yang belum berhasil diberantas: korupsi.
Buku berjudul “Mending Edan daripada Korupsi” dibedah pada pengajian ke-125 Majelis Sastra Bandung, di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut, Kota Bandung, Rabu (12/6/2022). Pembedahnya aktivis buruh tani, Sapei Rusin, dengan moderator Doddi Ahmad Fauzi.
Buku “Mending Edan daripada Korupsi” diterbitkan tahun 2020. Bagi Gusjur ini bukan buku pertama karena sebelumnya ia telah menerbitkan buku dengan tema serupa berjudul “Mending Gelo Daripada Korupsi” (2016) (isi buku ini dibacakan Gusjur secara berkeliling ke kantor-kantor kecamatan dan kelurahan di Bandung Raya).
Baik di dalam buku pertama maupun kedua, Gusjur melihat korupsi sebagai praktik kotor yang belum enyah dari daftar persoalan bangsa ini. Korupsi yang dikritik Gusjur terutama korupsi dalam ruang lingkup pengelolaan dana publik, menurut Sapei Rusin.
“Kalau mengamati judul bukunya, itu tantangan, pernyataan sikap dan kebulatan tekad dari Gusjur (dalam menolak korupsi),” ujar Sapei Rusin.
Kata-kata Lugas
Gusjur Mahesa menulis puisi-puisinya dengan kata-kata lugas, terus terang dan mudah dicerna. Pada acara-acara seniman Bandung, ia kerap diminta tampil untuk membacakan puisinya dengan gayanya yang khas, teatrikal. Gusjur memang lama menggeluti dunia teater dan mendirikan kelompok Teater Tarian Mahesa.
Ilmu teaternya ia timba dari WS Rendra. Ia pernah aktif sebagai anggota Bengkel Teater Rendra 1993-2000. Barangkali sajak-sajak Rendra memengaruhi caranya menulis puisi yang lugas, tanpa menghias dengan diksi-diksi yang rumit.
Ia sengaja memilih diksi gila atau edan untuk memaki para kuruptor yang menggerogoti uang negara, uang rakyat. Dengan diksi itu ia ingin menggambarkan bahwa korupsi telah menyerang kewarasan seseorang (koruptor). Walaupun seorang koruptor tidak akan senang kalau disebut sebagai orang gila atau edan. Koruptor akan mengaku sadar dan waras, karena itu ia bisa disidangkan di pengadilan. Orang gila tidak mungkin bisa diadili.
Diksi gila atau edan lebih sebagai ironi dan sinisme dari Gusjur Mahesa. Ia meledek kondisi sekarang yang menganggap korupsi sebagai kelaziman, ketika korupsi biasa dilakukan di tingkat aparatur terendah hingga tertinggi negara.
Korupsi dianggap kewajaran dan bagian dari kewarasan. Malah orang yang tidak korupsi dipandang aneh. Bahkan pejuang atau aktivis antikorupsi justru terancam dikriminalisasi.
Bagi yang sadar akan bahaya korupsi, mudah memahami membaca puisi-puisi Gusjur Mahesa. “Kumpulan puisi Gusjur yang dibahas ini kumpulan puisi yang tidak njelimet, mengerutkan kening, cukup membaca satu kali saja pasti dipahami,” kata Rois Amr Majelis Sastra Bandung, Matdon.
Baca Juga: SUARA SETARA: Penindasan Ganda Buruh Perempuan
Masalah Parkir Kota Bandung, TPE yang Belum BEP
Digitalisasi UMKM Bandung Boleh, Jangan Lupa Penguatan Karakternya
Dengan pilihan kata yang sederhana itu dihadapkan puisi Gusjur turut berperan menanamkan bahwa korupsi itu tidak baik dipraktikan. Gusjur memilih sikap yang tegas “Mending Edan daripada Korupsi”. Berikut ini salah satu puisi Gusjur Mahesa bertajuk “Curhat Koruptor”:
Yang mulia, maafkan kami, eh saya
Bukan saya bermaksud mengambil uang negara
Tapi rakyat kami yang mendorongnya
Mereka kalau datang berkunjung ke rumah
Selalu minta dikasih amplop mewah
Klo gak dikasih, aku dianggap hina, dan dibilang pelit
Klo aku kasih, mereka memuji setinggi langit
Siapa yang suka dihina? Siapa yang tak suka dipuja?
Rakyatlah yang mengajariku korupsi
Begitu yang mulia...
Ada pula puisi di buku pertamanya “Mending Gelo Dari Pada Korupsi” yang sering dibawakan Gusjur dengan cara teatrikal, sebagai berikut:
Hai kamu!
Katanya mau memberantas korupsi,
ternyata kok malah dipenjara karena korupsi, gubrak!
Katanya kampanye anti korupsi
Ternyata kok malah membela temen-temenmu yang korupsi, gubrak!
Katanya mau menyelamatkan uang negara
Ternyata kok malah merampok pajak rakyat. Gubrak!
Kamu itu
Tong kosong nyaring bunyinya.
Otakmu bolong Hatimu kosong
Otakmu bolong Hatimu kosong
Nol nol nol nol nol nooooooooooolllllll…….!!!!!!
Ada sedikit kabar baik tentang korupsi di Indonesia. Tahun lalu, Transparency Internasional merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) naik 1 poin menjadi 38 dengan ranking 96.
Meski hanya naik satu poin, namun IPK tersebut menunjukkan sinyal kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia. Hanya saja CPI ini masih jauh dari skor rata-rata global yaitu 43, yang artinya perang melawan korupsi masih akan menempuh jalan panjang. Kegilaan dan kewarasan akan terus bertarung.