• Berita
  • Masalah Parkir Kota Bandung, TPE yang Belum BEP

Masalah Parkir Kota Bandung, TPE yang Belum BEP

Potensi pendapatan parkir Kota Bandung mencapai 80-135 miliar Rupiah per tahun. Mesin parkir elektronik belum bekerja maksimal.

Mesin parkir elektronik di Jalan Braga, Bandung, Minggu (5/12/2021). Pemkot Bandung berusaha menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) melalui parkir. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana31 Mei 2022


BandungBergerak.idPemerintah Kota (Pemkot) Bandung berusaha penggenjot pendapatan untuk memulihkan ekonomi yang rontok karena pandemi. Salah satu sektor pendapatan yang belum optimal ialah parkir dengan potensi yang mencapai 80- 135 miliar Rupiah per tahun.

Syarat untuk mendapatkan potensi miliaran tersebut bisa dicapai dengan menertibkan parkir liar. Selama ini potensi pendapatan parkir lebih banyak mengalir ke parkir liar, tidak masuk ke kas daerah. Inovasi Tempat Parkir Elektronik (TPE) dianggap menjadi solusi mengatasi parkir liar sekaligus mendongkrak PAD Kota Bandung.

Sayangnya, sejak pertama kali diluncurkan pada awal 2017, mesin parkir elektronik belum memenuhi target. Masalahnya, banyak. Mulai dari belum ajegnya sistem yang menopang TPE, misalnya, keberadaan TPE masih memerlukan juru parkir yang bertugas memandu masyarakat pengguna lahan parkir dalam mengakses TPE.

Belum lagi dengan gagap teknologi karena minimnya sosialisasi. Masyarakat pengguna lahan parkir masih nyaman membayar parkir secara manual, memberikan uang parkir pada juru parkir, lalu juru parkir yang memasukkan uang ke TPE.

Ada pula temuan warga pengguna parkir yang justru membayar ganda, membayar pada juru parkir dan membayar pada mesin parkir elektronik. Belum lagi dengan sejumlah TPE yang rusak, sehingga warga pengguna lahan parkir akhirnya membayar parkir pada juru parkir.

Sekarang, Pemkot Bandung kembali akan mengoptimalkan TPE dengan sistem pembayaran e-money. Optimalisasi dimulai dari TPE yang tertancap di Jalan Braga pada 27-29 Mei 2022 yang diklaim sukses meningkatkan 50 persen pendapatan daerah melalui sektor parkir. Berikutnya, sebanyak 20 TPE dioptimalisasi di 4 ruas jalan Kota Bandung: Jalan Banceuy, Cikapundung, Suniaraja, dan  Jalan Alkateri.

“Hari ini kita optimalisasi TPE di 4 ruas jalan. Selama pandemi ada penurunan, dan sekarang pandemi reda. Jadi, kita optimalkan lagi,” ujar Staf Fungsional UPT Parkir Dishub Kota Bandung, Aceng Mumu, dalam siaran pers Senin (30/5/2022).

“Menyusul ruas jalan berikutnya. Ada 216 mesin parkir yang akan dioptimalisasi,” ujar Mumu.

Total TPE di Kota Bandung ada 445 mesin parkir yang tersebar di 58 ruas jalan. Tahun ini Pemkot Bandung menargetkan pendapatan parkir hingga 25 miliar Rupiah. Optimalisasi TPE ini, kata Mumu, menjadi langkah untuk mencapai target tersebut.

Target tersebut jauh lebih besar dari pendapatan parkir pada tahun 2020 mencapai 3,39 miliar Rupiah dan 2021 mencapai 2,6 miliar Rupiah. Sebelum pandemi, pada 2018, mesin parkir elektronik pernah mencatat pendapatan 10 miliar Rupiah. 

Baca Juga: Saatnya Media Lokal Independen di Bandung Berjejaring
Kapan Negara Mewujudkan Fasilitas Publik untuk Penyandang Disabilitas?
WTP BPK Bukan Berarti Seluruh Pengelolaan Keuangan Pemkot Bandung Baik

Mesin Parkir Tidak Efektif

Tetapi genap setahun pascapengadaan, yakni akhir 2017, mesin parkir elektronik yang pada awal peluncurannya menjadikan kebanggaan Kota Bandung itu mendapat evaluasi negatif, yang awal peluncurannya positif karena membuat Kota Bandung semakin smart city. TPE dinyatakan tidak optimal dalam mendongkrak PAD dari parkir.

Pengadaan mesin parkir Kota Bandung dilakukan di era pemerintahan Ridwan Kamil dan Oded M Danial akhir Desember 2016. Total ada 445 mesin parkir yang dibeli melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bandung senilai 55 miliar Rupiah (Diki Suherman, dalam risetnya berjudul Evaluasi Dampak Kebijakan Mesin Parkir Elektronik di Kota Bandung, ITB, 2020).

Sementara DPRD Kota Bandung menyebut proyek TPE telan menelan anggaran pemerintah hingga 80 miliar Rupiah dengan pengadaan berdasarkan e-katalog merek Cale seharga 125 juta Rupiah per unit. Akan tetapi, setelah hampir satu tahun di operasikan tidak menunjukan kenaikan pendapatan secara signifikan. Dengan kata lain, belanja modal ini belum balik modal alias BEP (break event point).

Mesin parkir elektronik di Jalan Braga, Bandung,  Minggu (5/12/2021). Pemkot Bandung berusaha menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) melalui parkir. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Mesin parkir elektronik di Jalan Braga, Bandung, Minggu (5/12/2021). Pemkot Bandung berusaha menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) melalui parkir. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Sorotan BPK terhadap Tempat Parkir Elektronik

Evaluasi tidak efektifnya Tempat Parkir Elektronik dilakukan Penjabat sementara (Pjs) Wali Kota Muhamad Solihin pada 2017, bertepatan dengan hampir satu tahun pascapeluncuran mesin parkir. Berita tidak efektifnya mesin parkir ini dikliping di situs remi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Jawa Barat.

Disebutkan bahwa Muhamad Solihin mengakui selama ini mesin parkir tidak berjalan efektif untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD). Meski sudah disebar di ratusan titik, penarikan retribusi melalui mesin parkir masih belum optimal. Bahkan kebanyakan masih menggunakan sistem penarikan manual melalui juru parkir. Imbasnya pemkot kehilangan banyak potensi parkir.

Padahal, menurut Solihin, potensi retribusi parkir di Kota Bandung sangat besar terutama saat akhir pekan banyak menjadi tujuan wisatawan. Namun, pendapatan parkir pada 2017 jauh dari target. Ia menyayangkan, mesin parkir yang dibeli dengan dana APBD justru tidak bisa memberikan pendapatan yang lebih baik bagi Kota Bandung.

"Saya ingin apa yang sudah kita keluarkan, kalau hitung-hitungan dagang, biayanya harus baliknya harus lebih besar. Karena itu kan melalui perencanaan, menetapkan sesuatu sekian berdasarkan perencanaan yang matang," ujarnya.

Anggota komisi B DPRD kota Bandung, Aan Andi sebagai bentuk pemborosan anggaran. Sebab, sejak diterapkannya penggunaan mesin tersebut tidak memiliki manfaat berarti. Dia menyebutkan, selama ini pendapatan restribusi parkir tidak maksimal. Bahkan, dari target 135 miliar Rupiah hanya tercapai 6 miliar Rupiah saja dalam setahun. Sehingga, kondisi ini tidak ada bedanya sebelum ada mesin parkir.

Kekurangan yang Harus Diperbaiki

Diki Suherman, peneliti dari Institut Teknologi Bandung, melakukan riset terhadap efektivitas mesin parkir Kota Bandung. Riset ini mengungkap penelitian-penelitian sebelumnya yang secara umum menyimpulkan bahwa penerapan smart city terkhusus di pada penerapan mesin parkir elektronik masih belum optimal.

Metode penelitian yang dilakukan Diki Suherman menggunakan deskriptif kualitatif: observasi, wawancara dan studi pustaka. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis triangulasi data. Diki menganalisanya dari sisi sumber daya, keuangan dan penempatan mesin parkir.

Dilihat dalam aspek sumber daya tentu pemerintah Kota Bandung memiliki sumberdaya yang mencukupi  yang menunjang dalam penyelenggaraan konsep smart city dalam bidang transfortasi dengan pengadaan mesin parkir dan mempekerjakan 700 juru parkir yang digaji 1,8 juta Rupiah per bulan. 

Mesin parkir elektronik itu telah dipasang di 211 titik ruas jalan di Kota Bandung: Jl Naripan, Jl. Dalem kaum, Jl. Braga, Jl. Cikapundung Timur, Jl. Cikapundung Barat, Kebon Jatim Jl. Ibu Inggit Ganarsih, Jl. Alkateri dan Jl Otista, zona penyangga: Kawasan Jl. Veteran, Jl. Sumatera, Jl. Cihampelas, Jl. Progo.

Diki mencatat sejumlah kendala teknis di lapangan, yakni diperlukan bimbingan teknis terhadap juru parkir yang bertugas menyosialisasikan penggunaan mesin parkir. Penelitian di lapangan menemukan tidak semua juru parkir ini tak selalu ada di tempat mesin parkir itu berada, melainkan masih adanya tukang parkir liar yang seperti biasa memarkirkan kendaraan secara manual. 

“Yang artinya dua kali lipat bayar parkir, di sisi lain membayar melalui mesin di sisi lain juga melalui tukang parkir liar, hal inilah yang memang penerapan di tingkat teknis tidak terduga walaupun telah diatur sedemikian rupa,” papar Diki, diakses Selasa (31/5/2022). 

Kendala lain yang dihadapi ketika mesin parkir mengalamai kerusakan, karena merupakan produk luar  negeri yang sudah tidak diproduksi lagi. Sedangkan di Indonesia tidak ada yang bisa memperbaiki, karena  dengan teknologi yang belum menjangkau dalam memperbaiki mesin parkir lektronik tersebut. Hal ini berdampak pada terbengkalainya mesin parkir yang rusak.

Sosialisasi kepada masyarakat juga sudah mulai dilakukan sejak awal peluncurannya TPE. Namun, hingga sekarang efektivitas dari mesin juga tak terlihat. Semangat melakukan sosialisasi untuk penggunaan mesin parkir dinilai memudar.

Kurangnya sosialisasi menjadi salah satu faktor utama dari implementasi kebijakan ini di mana masih ada masyarakat yang menganggap mesin elektronik rusak akibat kurangnya pengetahuan cara menggunakan mesin parkir elektronik. 

“Juru parkir juga bertugas memberikan sosialisasi kepada pengguna lahan parkir. Namun, ternyata hal tersebut tidaklah mudah. Banyak pemilik kendaraan yang milih bayar manual karena mereka bilang gak mengerti. Kadang-kadang kita yang bantuin mereka buat pakai mesin parkirnya, tapi kebanyakan tidak mau pakai,” paparnya. 

Penelitian Diki menyimpulkan bahwa penerapan mesin parkir elektronik di Kota Bandung sebagai bagian dari  smart city belum terealisasi secara optimal, yang dilihat dari berbagai aspek baik dari penggunaan mesin parkir, sistem pembayaran yang masih ada yang manual, target peningkatan retribusi parkir yang  jauh dari target Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung.

Adapun  rekomendasi  kebijakan  yang  diusulkan  dalam  penelitian  ini di antaranya, agar masyarakat atau pengendara paham cara mengoperasikannya maka perlu sosialisasi maksimal yang terus menerus; agar juru parkir bisa maksimal dalam mengelola mesin parkir dibutuhkan rekrutmen yang baik untuk memilih sumber daya manusia yang berkompeten.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//