Patah Hati Akmal Firmansyah dalam Zine Puisi Berbahasa Indonesia dan Sunda
Akmal Firmansyah menelurkan dua zine puisi. Petama “Cintaku Dipalak Ormas”. Zine kedua dikemas dalam bahasa Sunda berjudul ‘Beling: Sajak Nyeuri Hate Aing’.
Penulis Yopi Muharam17 Februari 2025
BandungBergerak.id - “Setelah dibukukan akhirnya jadi monumen kesedihan,” ujar Muhammad Akmal Firmansyah, menjelaskan ihwal zine puisi bertajuk ‘Cintaku Dipalak Ormas’ di diskusi Bukan Jumahaan, Kedai Jante, Bandung, Jumat, 14 Februari 2025. Bincang buku bertepatan dengan momen hari valentine ini mengambil tajuk dalam bahasa Sunda: “Nyeri Hate Dipalak Ormas”.
Selain menghadirkan Akmal sebagai penulis, bincang buku ini melibatkan Pradewi Tri Chatami, editor Marjin Kiri; dan Aji Sugih, mahasiswa Jurusan Bahasa Sunda UPI sebagai pemantik.
Sampai saat ini Akmal sudah mengeluarkan dua zine puisinya. Zine kedua yang baru dirilis memilih menggunakan bahasa Sunda dengan judul ‘Beling: Sajak Nyeuri Hate Aing’. Seperti judulnya, zine berisi sajak-sajak berbahasa Sunda ini mengutarakan keluh-kesah Akmal.
Zine pertamanya, Cintaku Dipalak Ormas merupakan kumpulan puisi yang diarsipkan selama dia berpacaran. Sudah hampir dua tahun menjalin hubungan, cinta yang dipupuknya itu mesti kandas di tengah jalan.
Akmal mengabadikan momen-momen penting bersama sang mantan melalui puisi. Meski mengandung romansa, tetapi zine puisi ini bagi Akmal terasa menjadi monumen kesedihan. Kendati demikian, ada hikmah di balik itu semua. Kegemarannya membuat puisi serta mengarsipkan karyanya membawanya menjalin relasi lebih jauh untuk terus berkarya.
“Dari awalnya pengarsipan jadi ladang pertemuan, kemudian mencoba mengenali lagi (puisi) gitu,” ungkapnya. Tidak hanya itu, setelah dia bekerja dan mampu menghasilkan pundi-pundi yang cukup, Akmal langsung membeli buku-buku sastra yang telah lama dia idamkan.
Menyoal tentang zine puisinya yang kedua Beling: Sajak Nyeuri Hate Aing, Akmal membeberkan kilas balik dari pembuatan karyanya itu. Berawal dari kesepian saat dirinya berada di ruang sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) di UIN Bandung, ia mendapati sebuah serpihan kaca (beling, Bahasa Sunda).
Kebetulan ia juga sedang membaca karya Remy Sylado. Dari situlah awal mula Akmal terinspirasi membuat karya menggunakan Bahasa Sunda. “Penasaranlah dengan puisi-puisi lain. Cobalah jadi beling, sajaknya itu,” terangnya.
Baca Juga: Membicarakan Puisi Patah Hati, Menyemai Perpustakaan Bunga di Tembok
Kategorisasi Puisi Sunda di Masa Hindia Belanda
Dian Kencana, Mewarnai Dunia dengan Puisi, Lukisan, dan Harmoni
Merayakan Kesedihan Lewat Sajak
Aji Sugih mengapresiasi karya-karya Akmal Firmansyah. Menurutnya, hari valentine sangat bertentangan dari makna yang merujuk pada hari kasih sayang. Isi puisi-puisi Akmal dinilai tidak sejalan dengan hari valentine. “Valentine kan hari kasih sayang. Kalo ini enggak disayang-sayang isi sajaknya itu,” ungkapnya mengomentari puisi Akmal, Beling: Sajak Nyeuri Hate Aing.
Menurut Aji, pesan Akmal dalam sajak-sajak Sundanya mudah dimengerti. Secara lugas puisi tersebut menunjukan sisi inferioritas dari seorang laki-laki saat berhubungan dengan kekasih.
Dalam puisi bertajuk Sono, Akmal mengungkapkan kerinduannya bersama sang mantan. “Tapi, dia gengsi buat ngomong untuk mengungkapkan itu,” jelas Aji.
Akmal memendam keresahannya sehingga menjadi bahan imajinasi untuk berpuisi. Ia berkhayal bahwa sudah melalui masa itu.
Aji juga dapat menangkap bahwa puisi Akmal terinspirasi dari karya Remy Sylado yang lugas dan simpel, akan tetapi memiliki makna yang mundel atau penting.
Di sisi lain, pemantik lainnya Pradewi mengomentari zine Akmal berjudul Cintaku Dipalak Ormas. Menurut Tece - begitu ia akrab disapa – zine puisi itu terkesan akan membicarakan soal asmara. Tetapi setelah dibaca secara keseluruhan, Tece menilai puisi tersebut menceritakan tentang kerungkadan Akmal.
Tece menilai adanya pergeseran penyair lama yang menulis tentang cinta dan patah hati. “Biasanya kan mereka ngomongin soal alam atau senja, sementara Akmal ngomongin kuota habis, enggak punya duit, mikirin harga roti setengah dari dipalak tukang parkir,” ungkapnya.
Bagi Tece, sajak ini memberikan latar belakang posisi Akmal dalam struktur sosial. Akmal tidak lagi merasa malu menujukkan kekurangan yang mendorongnya merasa imperior.
Menurut Tece penyair zaman dulu sering kali menyembunyikan kemiskinan atau kepatahhatiannya agar tetap terlihat maskulin. Sementara puisinya Akmal berkebalikannya. “Ya miskin adalah miskin. Hati yang kandas dan luka adalah sesuatu yang tidak perlu jadi aib,” terangnya.
Zine puisinya Akmal dapat dibeli dengan harga 25 ribu rupiah. Sedangkan puisi Sundanya berjudul Beling: Sajak Nyeuri Hate Aing sampai saat ini masih dalam masa prapemesanan dengan harga 100 ribu rupiah. Tidak hanya itu Akmal juga membundel zinenya dengan tas jinjing dalam pilihan dua warna; hitam dan putih.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharam, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang PUISI