• Berita
  • SABTU SORE#1: Membicarakan Puisi Patah Hati, Menyemai Perpustakaan Bunga di Tembok

SABTU SORE#1: Membicarakan Puisi Patah Hati, Menyemai Perpustakaan Bunga di Tembok

Diskusi “Sabtu Sore: Tutorial Mengubah Sakit Hati Menjadi Puisi” sekaligus aktivasi pertama Bunga di Tembok sebagai perpustakaan komunitas.

Diskusi Sabtu Sore Tutorial Mengubah Sakit Hati Menjadi Puisi di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 12 Oktober 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Penulis Fitri Amanda 14 Oktober 2024


BandungBergerak.idSakit hati dan patah hati tak pernah pandang bulu. Setiap orang bisa merasakan dan mengalaminya. Peristiwa emosional ini dibahas di diskusi “Sabtu Sore: Tutorial Mengubah Sakit Hati Menjadi Puisi” di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 12 Oktober 2024. Diskusi publik ini sekaligus aktivasi pertama Bunga di Tembok, perpustakaan publik yang diharapkan turut mewarnai peta literasi di Kota Kembang.

Diskusi Sabtu Sore digagas kawan-kawan BandungBergerak dengan topik bahasan berangkat dari dua zine puisi yang beberapa puisinya mengangkat tema patah hati. Tentunya dari perspektif dan peristiwa yang berbeda.

Dua zine tersebut, "Cintaku Dipalak Ormas" dan "Merajut Tubuh di Perjalanan". Keduanya menghadirkan ekspresi emosional yang dituangkan dalam bentuk puisi.

Diskusi Sabtu Sore Tutorial Mengubah Sakit Hati Menjadi Puisi di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 12 Oktober 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Diskusi Sabtu Sore Tutorial Mengubah Sakit Hati Menjadi Puisi di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 12 Oktober 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

"Cintaku Dipalak Ormas" adalah zine kumpulan puisi karya Muhammad Akmal Firmansyah yang juga jurnalis BandungBergerak. Dalam puisi ini, Akmal berbagi kisah cintanya dengan sang mantan kekasih. Melalui kata-kata yang sarat emosi, Akmal merekam perjalanan cintanya yang kandas. Cintanya yang dulu tumbuh berubah menjadi hal yang tak terkontrol, seakan dipalak oleh berbagai faktor di luar kendali.

Sebaliknya, "Merajut Tubuh di Perjalanan" merupakan karya Annissa Mardina atau akrab disapa Cica. Ia mengolah peristiwa rasa sakit hati yang tidak bisa ia teriakan di sembarang tempat. Dalam zine-nya, Cica memilih mengungkapkan kemarahannya melalui puisi, menjadikan tulisan sebagai pelarian sekaligus wadah untuk merajut kembali dirinya yang sempat ‘tercabik’. 

Diskusi yang dihadiri oleh sekitar 15 orang ini juga menjadi ajang bagi Cica dan Akmal untuk berbagi pengalaman tentang bagaimana cara mengolah sebuah pengalaman rasa sakit menjadi sebuah karya tulis khususnya puisi.

Cica mengungkapkan, memulai menulis puisi sebaiknya memang dengan banyak-banyak membaca. Baginya, membaca dapat memperkaya kosa kata dan diksi sehingga dapat memudahkan menulis.

Bagi Cica, menulis menjadi salah satu cara untuk merilis atau melepaskan sebuah perasaan yang memendam. Ia juga menekankan pentingnya mengasah empati melalui berkoneksi dengan orang lain. Karena menulis dengan empati adalah hal yang harus dilakukan bersamaan.

Menulis bukan hanya untuk dibaca orang lain melainkan juga untuk diri sendiri. Sikap ini sah-sah saja dilakukan oleh penulis. “Mulailah menulis untuk dirimu sendiri, karena itu bukanlah hal yang salah,” ujarnya.

Akmal, di sisi lain, menekankan pentingnya memahami diri sendiri. Baginya, menulis puisi adalah caranya untuk berdialog dengan diri sendiri. Akmal memaknai puisi sebagai ruang yang aman bagi dirinya untuk bisa berterus terang kepada diri sendiri. 

“Sejauh mana sih kita bisa jujur pada diri sendiri? Apa jangan-jangan selama ini kita nggak jujur?" ungkapnya.

Baca Juga: KABAR DARI REDAKSI: Tiga Tahun BandungBergerak.id
KABAR DARI REDAKSI: Bandung 24 Jam di Hari Jadi ke -214 Tahun
KABAR DARI REDAKSI: Podcast Suara Pinggiran

Zine Merajut Tubuh di Perjalanan ditulis Annissa Mardina atau Cica, didiskusikan di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 12 Oktober 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Zine Merajut Tubuh di Perjalanan ditulis Annissa Mardina atau Cica, didiskusikan di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 12 Oktober 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Aktivasi Bunga di Tembok 

Diskusi Sabtu Sore menjadi tonggak penting bagi Bunga di Tembok, perpustakaan independen yang baru saja memulai kiprahnya sebagai ruang publik terbuka di Bandung. Tri Joko, pendiri sekaligus Pemred BandungBergerak menjelaskan, Bunga di Tembok bukan sekadar ruang aman untuk membaca buku, tapi juga sebuah tempat yang dirancang untuk menjadi ruang aktivitas berbagai komunitas. Di sinilah kawan-kawan komunitas bisa berkumpul, berdiskusi, atau bahkan mengadakan berbagai kegiatan lain yang didorong oleh semangat kolektif. 

Tri Joko juga mengungkapkan rencana besar mereka ke depan, yakni mengembangkan konsep perpustakaan yang lebih partisipatif. 

"Artinya, buku-buku yang ada di sini nantinya tidak hanya berasal dari koleksi Bunga di Tembok, tetapi juga dari teman-teman yang ingin berbagi bacaan mereka dengan publik," tuturnya. 

Menurut Tri Joko, merawat sebuah perpustakaan bukanlah pekerjaan satu orang saja. Meski bisa dilakukan sendiri, hal itu akan terasa kurang jika tidak melibatkan kawan-kawan komunitas. Oleh karena itu, ia memperkenalkan konsep ‘sewa rak’, setiap orang atau komunitas yang peduli dengan literasi bisa menitipkan buku-buku mereka di perpustakaan Bunga di Tembok. Dengan cara ini, mereka turut berkontribusi dalam menjaga keberlangsungan tempat ini. 

Lebih jauh, Tri Joko menggambarkan bagaimana perpustakaan ini berusaha menjawab pertanyaan penting terkait literasi: Apakah bisa sebuah komunitas berdaya sehingga bisa menghidupi sebuah perpustakaan? Dengan konsep ini, Bunga di Tembok ingin menciptakan sebuah model perpustakaan yang lebih dari sekadar tempat menyimpan buku untuk dibaca.

Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 12 Oktober 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 12 Oktober 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

"Jadi gak hanya naruh buku, terus orang baca. Itu model-model lama perpustakaan," jelasnya. Bunga di Tembok ingin mendorong model perpustakaan yang lebih hidup, bisa tumbuh dan berkembang bersama komunitas yang mendukungnya.

Bunga di Tembok juga akan selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin berbagi ide, berdiskusi, atau mengadakan kegiatan. “Kalau bisa rutin, bisa berdampak bagi orang. Menurutku layak dicoba ya, jadi sesuatu tawaran yang baru,” ungkapnya, seraya berharap Bunga di Tembok bisa menjadi tempat kegiatan yang berdampak bagi komunitas. 

Kuncinya, menurut Tri Joko, adalah keterlibatan. Komunitas maupun individu diharapkan mau terlibat aktif untuk merawat perpustakaan. Dengan demikian, gerakan literasi bisa terus hidup.

*Kawan-kawan bisa menyimak tulisan-tulisan lain dari Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Kabar dari Redaksi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//