Puisi Sebagai Refleksi Pemikiran dan Perasaan dari Setiap Insan Manusia
Tak hanya sebagai tempat curahan emosi belaka, puisi juga bisa di jadikan media kritis untuk berekspresi terhadap isu politik, sosial, dan budaya yang terjadi.
Pinggala Adi Nugroho
Mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia
13 November 2023
BandungBergerak.id – Dewasa ini, karya sastra berkembang dengan amat sangat pesat. Perkembangan karya sastra di era modern sudah menyentuh berbagai kalangan. Dalam perjalanannya, karya sastra telah mengalami banyak perubahan dan tantangan untuk menyesuaikan zaman yang semakin maju. Dinamika kehidupan manusia yang semakin cepat dan juga hectic nya kehidupan masyarakat modern yang menuntut untuk melakukan banyak kegiatan, tuntutan pekerjaan yang tinggi, Karena hal tersebut, manusia sering kali kehilangan kontak dengan diri mereka sendiri dan tidak bisa mengekspresikan perasaan yang tengah dialami.
Namun, di Tengah hiruk pikuk yang terjadi di dalam dunia modern, ada satu jenis karya sastra yang bisa menjadi sarana mengekspresikan diri bagi setiap insan manusia. Jenis karya sastra ini adalah puisi. Puisi sendiri bisa diartikan sebagai bentuk seni dan ekspresi tertulis yang digunakan untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan pengalaman secara kreatif dan imajinatif melalui penggunaan bahasa yang khusus. Dalam setiap baitnya, puisi membawa kedamaian batin yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan yang serba terburu-buru ini. Kata-kata yang dirangkai dengan indah mampu menghentikan waktu sejenak, mengajak kita merenung dan menemukan makna yang lebih dalam di tengah kekhawatiran dan gejolak hidup. Lantas, bagaimana sebuah puisi bisa merefleksikan pemikiran dan juga perasaan setiap manusia dalam kehidupannya?'
Pencerminan Emosi
Kekuatan dalam karya sastra puisi terletak pada emosi dan perasaan yang saling terkait. Kedua aspek ini dibalut dalam permainan kata-kata yang indah menawan. Fokus sebuah puisi adalah bahasa itu sendiri. Proses penciptaan puisi tak terikat pada apa pun. Seorang pencipta puisi atau biasa dikenal dengan sebutan “penyair”, dapat dengan bebas mengeksplorasi tema untuk penciptaan karya puisinya tersebut. Penyair memiliki “alam”-nya sendiri untuk menemukan kegembiraan, luka, senang, sedih, cinta, kehilangan untuk digali kembali. Seluruh emosi tersebut kemudian dituangkan dengan kekuatan bahasa yang mampu membius para pembaca maupun pendengar puisi. Esensi sebuah puisi adalah estetika yang mendalam. Terkadang bagi penyair, tak perlu membuat puisi dengan kalimat Panjang lebar untuk menjelaskan maksud sebuah puisi tersebut. Satu kalimat pun cukup untuk mewakili apa yang ingin disampaikan oleh penyair terkait puisi yang ia buat. Contohnya adalah puisi terkenal dengan judul Malam Lebaran karya Saut Situmorang. Puisinya hanya terdiri satu kalimat yang berbunyi :
“Malam Lebaran, Bulan di Atas Kuburan”.
Apabila di analisa, puisi ini sebenarnya memiliki banyak tafsir dan ambiguitas. Puisi yang terdiri hanya satu kalimat ini pun dipakai oleh pengarang untuk menggambarkan keseluruhan isi dari puisi tersebut. Jika dikritisi lebih jauh, mungkin frasa “malam lebaran” mempunyai arti malam sebelum hari raya tiba. Bulan di atas kuburan memiliki maksud sebagai tanda pengingat akan kematian ataupun sebuah kesakralan yang terjadi menjelang hari raya tiba. Penggambaran emosi yang terjadi di sini adalah penyair mencoba mengutarakan kesakralan sebuah hari raya dan memasukkan frasa bulan di atas kuburan sebagai sebuah pengingat bahwa setiap manusia pasti akan meninggalkan dunia yang fana. Mungkin jika ditelaah lebih jauh, akan terlihat sedikit tidak masuk di logika. Namun, itulah estetika sebuah puisi. Sisi penggambaran emosi dan liarnya penggunaan kata-kata adalah arena bermain untuk si penyair itu sendiri.
Baca Juga: Harmoni Sunda dan Islam dalam Puisi Isra Miraj
Puisi Gusjur Mahesa, Pertarungan Kegilaan dan Kewarasan dalam Perang terhadap Korupsi
Pantura dalam Puisi Tarling Dangdut
Ekspresi Kritis dan Protes
Tak hanya sebagai tempat curahan emosi belaka, puisi juga bisa di jadikan media kritis untuk berekspresi terhadap isu politik, sosial, dan budaya yang terjadi. Sebagai karya sastra yang berfokus pada kekuatan kata-kata, puisi menawarkan kebebasan berekspresi yang memungkinkan penulisnya mengeksplorasi persoalan yang terjadi di masyarakat. Dalam menyoal permasalahan politik misalnya, kita bisa melihat puisi karya penyair sekaligus aktivis HAM Indonesia pada era orde baru. Salah satu puisi nya yang terkenal berjudul “Dibawah Selimut Kedamaian Palsu” yang berbunyi :
“apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli
apa gunanya banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
dengan kaum cukong
di desa-desa
rakyat dipaksa
menjual tanah
tapi, tapi, tapi, tapi
dengan harga murah
apa guna banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu”
Jika dikritisi lebih dalam, puisi ini dibuat dan ditujukan untuk mereka yang memiliki kuasa dan jabatan dan juga berilmu tinggi, namun dengan segala apa yang mereka miliki tersebut justru tak ada yang di amalkan sama sekali. Puisi ini juga sebagai bentuk sindiran kepada mereka yang senang membaca buku namun selalu bungkam apabila melihat ketidakadilan yang terjadi. Atau bisa juga di interpretasikan sebagai kritikan pedas terhadap para penguasa yang bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya karena masih berkomplot dengan orang-orang licik yang hanya mementingkan isi perutnya sendiri.
Penjelajahan Identitas
Dalam konteks penjelajahan identitas, puisi bisa ditujukan sebagai sarana penjelajahan identitas diri. Puisi yang dibuat bisa terkait tentang penjelajahan akan siapa diri kita, perjalanan hidup, ataupun sebagai renungan tentang hidup yang tengah dijalani. Melalui imaji, metafora, dan juga bahasa yang mendalam tentu bisa mengajak pembaca untuk memahami dunia secara lebih reflektif. Salah satu puisi yang menggambarkan adanya perjalanan identitas adalah puisi karya maestro sastra terkenal dari Indonesia, Chairil Anwar. Puisi yang berjudul “Aku” dapat ditelaah sebagai puisi yang menggambarkan penjelajahan identitas yang dialami oleh seorang manusia.
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi!
Puisi ini memiliki arti yang menunjukkan perjalanan identitas pribadi si penulis. Penulis mencoba mengungkapkan perasaan tersesat dan terbuang. Di tengah dirinya yang merasa terbuang tersebut, ia tetap memiliki semangat juang yang tinggi yang tak kenal sakit walau terluka. Dapat diartikan juga puisi ini berusaha mengungkapkan perasaan perlawanan terhadap batasan yang menghalangi kebebasan. Meskipun begitu, penulis berusaha merepresentasikan perasaan kesepian dan ketidakpastian terkait konflik batin yang terjadi di dalam diri penulis. Dan pada intinya, Chairil berusaha bercerita lewat kata-kata tentang perjuangan yang tak akan pernah berhenti meski di tengah perasaan yang terbuang.