Pantura dalam Puisi Tarling Dangdut
Menurut Kedung Darma Romansha, bagi masyarakat Pantura lakon tarling Baridin dan Ratminah lebih populer daripada Romeo dan Juliet.
Penulis Iman Herdiana20 Desember 2022
BandungBergerak.id - Tulisan “Tarling Dangdut Diva Pantura” terpampang di tubuh bagian belakang truk berwarna kuning. Di sana masih ada beberapa tulisan lain bernada satire atau nakal: “Banyak Jalan Menuju Roma tapi tidak Ada Ongkosnya”; “Pantang Pulang sebelum Goyang”, dilengkapi gambar seorang perempuan memegang mic.
Tulisan maupun gambar penyanyi dangdut itu menjadi desain jilid belakang buku puisi yang ditulis Kedung Darma Romansha dan dibedah di Kafe Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut, Bandung, Sabtu (17/12/2022).
Kedung menulis buku puisi “Tarling Dangdut Diva Pantura” dilatarbelakangi kehidupan sehari-hari masyarakat Pantura yang tidak bisa lepas dari tarling, dangdut, di kala susah maupun senang, saat sedih maupun gembira.
“Saya suka melihat wayang kulit yang ada lagu dangdutnya. Saat adegan perang, berhenti dulu karena ada requiest lagu dangdut. Itu di saat perang. Itulah yang terjadi dalam keseharian di Indramayu,” cerita Kedung, dalam diskusi yang dipandu Zulfa Nasrulloh.
Orang Indramayu maupun Cirebon biasa menggelar hajatan di saat musim panen. Namun di musim kemarau mereka mengalami paceklik alias gagal panen. Di antara kedua musim yang bertentangan ini mereka hidup berdampingan dengan tarling dan dangdut.
Saweran untuk biduan dangdut menjadi tradisi lainnya yang ada di Pantura. Bahkan Kedung menemukan orang yang rela menghabiskan uang ratusan ribu rupiah untuk menyawer biduan dangdut—masalah yang kemudian bisa menyulut pertengkaran rumah tangga.
Temuan lain yang menunjukkan masyarakat Indramayu dan Cirebon yang tidak bisa dipisahkan dengan alunan musik dangdut panturaan adalah kebiasaan menyetel musik dangdut dalam volume keras sejak pagi hari.
Isu-isu yang menjadi tema puisi Kedung beragam, mulai dari kemiskinan, TKI atau TKW—karena Pantura merupakan satu kantong tenaga kerja di Jawa Barat—musim panen atau paceklik, kawin cerai, ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin, mistik, dampak pagebluk Covid-19, pelacuran, dan seterusnya.
Semua tema-tema sosial masyarakat Pantura itu diolah dalam bentuk puisi naratif 76 halaman. Pada penggalan puisi “Ikan Gabus Umpannya Kodok”, misalnya, Kedung menceritakan seorang suami yang memanfaatkan istrinya yang bekerja di warung remang-remang.
“Sekarang hidup terang benderang
menyilaukan mata.
Banyak orang mencari gelap
Kamu mencari gelap di warung
Aku mencari gelap di buku pernikahan.”
Puisi-puisi dalam buku karya Kedung ini satu sama lain saling terkait, meskipun bisa juga dibaca sendiri-sendiri.
Baca Juga: Musik Kota Bandung masih Kalah dengan Kota Lain, Benarkah?
Ketika Rupa Bertemu Musik
Mukti Mukti dan Tema-tema Orang Pinggiran
Tarling dan Dangdut
Seni tarling dan musik dangdut merupakan dua kesenian yang berbeda. Bahkan ada jarak waktu yang panjang dari kelahiran kedua kesenian ini. Namun Kedung meringkas dua kesenian tersebut dalam satu diksi: tarling dangdut.
“Jadi perlu hati-hati memadukan tarling dangdut diva pantura. Karena menurut Seniman tarling beda antara tarling dan dangdut. Tarling aslinya tidak main lagu tapi cerita,” kata penyair Nissa Rengganis, dalam diskusi.
Selebihnya, Nissa mengapresiasi lahirnya buku puisi ini. Kedung dinilai berhasil memasukkan spirit tarling dan dangdut di dalam puisi-puisinya.
Kedung pun menjelaskan bahwa tarling dan dangdut memiliki sejarah sendiri-sendiri. Tarling merupakan akronim dari gitar dan suling yang hidup tahun 1930an dalam tradisi musik Cirebon dan Indramayu.
Tarling merupakan kesenian rakyat dengan bentuk lakon atau teater yang diiringi musik gitar dan suling. Kesenian ini juga kerap disebut sandiwara.
Tarling juga sebagai seni perlawanan terhadap kerajaan. Kisah yang dibawakan tarling selalu mengolah kondisi sosial masyarakat, bukan cerita kerajaan atau elite-elite keraton.
“Tarling adalah sebuah rakyat yang melawan kerajaan atau istana. Bahwa kita bisa joget padahal liriknya patah hati,” kata Nissa.
Ciri khas lain dari tarling adalah gaya drama musikalnya yang dimainkan secara kolosal. Para pemain tarling bisa mencapai 20 orang. Lakon tarling paling populer di Pantura adalah kisah cinta gelap berjudul Baridin dan Ratminah. Kisah ini tentang si kaya dan si miskin.
“Bagi masyarakat Pantura lakon Baridin dan Ratminah lebih populer daripada Romeo dan Juliet,” kata Kedung.
Baridin dan Ratminah merupakan kisah cinta bertepuk sebelah tangan yang berakhir tragis. Dari lakon ini pula rajah jaran goyang sangat dikenal masyarakat Pantura. Dengan rajah ini Baridin yang miskin mengguna-guna Ratminah yang cantik dan kaya.
Pada 1980an, kata Kedung, Pantura sudah menjadi jalur perlintasan utama di utara Jawa. Arus lalu lintas dari Jakarta turut membawa musik dangdut ke Pantura. Di sisi lain, kesenian tarling mulai tersisih musik dangdut.
Lagu-lagu dangdut yang diadaptasi seniman Pantura melahirkan dangdut panturaan, misalnya dangdut koplo. Uniknya, mereka tidak mengambil dangdut begitu saja. Mereka mengolah musik dangdut dengan khazanah lokal, lirik lagu yang dipakai menggunakan bahasa cirebonan maupun dermayon yang masih satu rumpun.
Para seniman tarling yang tersisih ada yang memadukan dangdut dalam lakon tarlingnya. Mereka berusaha memainkan tarling agar tetap relevan kala menghadapi perubahan zaman yang ditiupkan musik dangdut.
“Mereka mencuri syair dangdut ke bahasa daerah. Maka muncul dangdut dengan bahasa lokal,” kata Kedung.
Instrumen tarling pun ditambah alat-alat musik modern. Meski ada juga seniman tarling yang bertahan dengan pakemnya, yakni tetap dengan gitar dan suling.
Budayawan Hawe Setiawan menyambut baik lahirnya buku puisi Tarling Dangdut Diva Pantura. Hawe sepakat bahwa puisi Kedung sebagai gaya baru berpuisi sebagaimana slogan yang diusungnya, new puisi, walaupun terkesan agak muluk.
Kedung, kata Hawe, melalui buku puisinya memotret lahirnya perpaduan budaya di Pantura, dalam hal ini tarling dan dangdut.
“Istilah tarling dangdut menunjukkan adanya perubahan kebudayaan Indramayu dan Cirebon. Perubahan tersebut kalau di Sunda seperti calung yang awalnya seni alat musik bambu kemudian ditambahkan alat musik elekronik, belakangan Doel Sumbang masuk (juga turut mewarnai),” cerita dosen sastra Unpas, Bandung.
“Saya senang bisa berkenalan sama Kedung dan membaca puisinya,” lanjut Hawe.