MULUNG TANJUNG #7: Bermain Kata dalam Fiksi Mini
Beberapa tahun lalu fiksi mini menjadi fenomena tersendiri di jagat sastra. Kini cerita yang lebih pendek dari cerpen cenderung sepi.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
25 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Pernah membaca fiksi tapi tidak sabar dengan akhir cerita? Cerpen menjadi salah satu pilihan karya fiksi yang memberikan cerita yang cepat selesai. Tapi apakah ada yang lebih pendek lagi dari cerita pendek? Ada! Fiksi mini.
Fiksi mini adalah salah satu karya sastra selain novel, cerpen, dan puisi. Fiksi mini merupakan sebuah karya sastra yang singkat, sering kali hanya beberapa ratus kata saja. Menurut Kartikasari dkk (2014:50), fiksi mini adalah karya sastra seratus empat puluh karakter yang berkembang di media sosial. Angka seratus empat puluh merupakan jumlah yang diperoleh dari karakter maksimal penulisan dalam X (Twitter).
Tetapi walaupun sangat singkat, fiksi mini memiliki struktur cerita yang utuh. Ada tema, alur, dan amanat yang disampaikan di dalamnya.
Banyak nama yang diberikan pada karya fiksi mini, antara lain flash fiction, sudden fiction, dan micro fiction. Di Jepang, fiksi mini dikenal dengan istilah "cerita setelapak tangan" atau shōhen shōsetsu. Istilah ini secara tradisional digunakan untuk merujuk pada cerita pendek yang sangat singkat, yang sering kali berukuran seukuran telapak tangan, yang menekankan pada kesederhanaan dan keindahan cerita.
Karena lebih ringkas daripada cerita pendek, maka fiksi mini lebih menekankan pada pemilihan kata yang padat dan tidak bertele-tele tapi mampu membangkitkan imajinasi yang menggoda di kepala pembaca. Fiksi mini juga sering kali memiliki satu latar waktu dan satu latar tempat. Fiksi mini dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti hiburan atau sindiran sosial.
Bahkan cerita-cerita dari Timur Tengah yang sering kita dengar atau baca sejak kita kecil, seperti Abu Nawas dan Nasrudin adalah salah satu bentuk fiksi mini yang lahir sudah sejak lama.
Perkembangan Fiksi Mini di Indonesia
Berawal dari media sosial Facebook, fiksi mini kemudian merambah X. Dan komunitas yang terbentuk pada tahun 2010 membuat pegiat dan peminat fiksi mini pun memiliki wadah yang menampung kegiatan mereka. Diprakarsai oleh Clara Ng, Agus Noor, dan Eka Kurniawan, Komunitas Fiksi Mini terbentuk, di sana para penulis berbagi karya juga kritik pada fiksi mini yang dibagikan. Komunitas ini pun meluas ke berbagai kota besar di Indonesia.
Fiksi mini atau dikenal juga dengan cerita mini. Kata-kata yang dimuat dalam tulisan tetap memberikan makna suatu cerita. Tidak asal bunyi. Melalui fiksi mini kita dituntut untuk menceritakan sebuah kisah dengan jumlah kata sesedikit mungkin.
Karena berawal dari perkembangan teknologi khususnya media sosial, maka pada akhirnya media sosial memberikan banyak peran penting pada perkembangan fiksi mini di Indonesia. Daya jangkau yang luas membuat penikmat fiksi mini tidak terbatas di kalangan komunitas sastra. Hal ini membuat lebih banyak orang yang mengenal karya sastra ini. Sifat media sosial yang terbuka juga memberikan kesempatan pada penulis dan pembaca untuk berinteraksi dan berdialog langsung yang memungkinkan makin berkembangnya karya dengan adanya kritik dan masukan dari pembaca atau sesama penulis. Dengan demikian hal ini akan berpengaruh juga terhadap perkembangan dunia sastra secara umum.
Keterbukaan media sosial juga membuat lebih banyak orang yang melahirkan karya yang mudah diapresiasi. Bisa jadi awalnya hanya FOMO, tetapi jelas membuat dunia tulis menulis menjadi lebih semarak dan menawarkan banyak pilihan, baik gaya penulisan, tema, juga genre.
Ada banyak sekali karya fiksi mini yang mudah ditemukan di media sosial, di sini saya salin tiga buah fiksi mini.
Baca Juga: MULUNG TANJUNG #5: Merajut dan Merenda, Hobi dengan Banyak Manfaat
MULUNG TANJUNG #6: Bung Karno Masa Muda dan Masa Kecil Saya
Sarah dan Satpam
(Gola Gong)
Sarah mendorong satpam yang menarik tas jinjingnya. Tas itu terjatuh. Dua bungkus susu kotak, lima bungkus mie, dua kaleng kornet, dan tiga bungkus cemilan untuk anak kecil berceceran di lantai. Wajah Sarah yang pucat terlindung masker, tapi kedua bola matanya begerak-gerak ketakutan.
‘Maling!” teriak pegawai mini market memunguti makanan itu. Puluhan pasang mata yang berbelanja menancap ke hati Sarah dan suara mereka mendengung seperti majikan kepada bawahannya.
Sarah berlari, tapi Satpam mengejar dan mencekal tangannya. Dia menarik Sarah ke jejeran rak. “Silakan, ambil secukupnya. Aku yang bayar,” suara si satpam menenangkan diiringi senyuman.
Sarah kaget, tidak percaya. Pegawai mini market juga heran.
“Aku tadi melihatmu bersama anak-anakmu,” sejuk suara Satpam.
Sarah menatapnya. Kedua matanya berair.
Hikayat Abu Nawas
(Cerita rakyat)
Suatu hari, Khalifah Harun Al-Rasyid ingin menguji kecerdikan Abu Nawas. Khalifah Harun Al-Rasyid mengundang Abu Nawas ke istana dan memberikan kepadanya sebuah tantangan.
“Abu Nawas,” katanya. “Aku ingin kamu membawa sesuatu yang bisa membuat aku senang saat aku sedih, dan membuat aku sedih saat aku senang.”
Abu Nawas menanggapi tantangan ini dengan tenang. Dia berpikir sejenak, lalu pergi dari istana untuk mempersiapkan jawabannya. Keesokan harinya, Abu Nawas kembali ke istana dengan membawa sebuah bingkai cermin kecil.
Khalifah Harun Al-Rasyid bingung melihat benda yang dibawa Abu Nawas. “Apa ini, Abu Nawas?” tanyanya.
“Inilah jawabannya, Tuanku,” jawab Abu Nawas sambil menyerahkan cermin kecil itu kepada Khalifah Harun Al-Rasyid.
Khalifah Harun Al-Rasyid mengambil cermin itu dan melihat wajahnya sendiri di dalamnya.
Abu Nawas lalu menjelaskan, “Ketika Tuanku merasa sedih, lihatlah ke dalam cermin ini, dan Tuanku akan melihat betapa berharganya diri Tuanku, yang akan membuat Tuanku senang,”katanya.
“Namun, ketika Tuanku merasa senang, lihatlah lagi ke dalam cermin ini, dan Tuanku akan disadarkan bahwa, tak peduli seberapa bahagia Tuanku, akhirnya Tuanku tetap manusia biasa,”kata Abu Nawas lagi.
Khalifah Harun Al-Rasyid sangat terkesan dengan kecerdikan Abu Nawas. Dia menyadari bahwa Abu Nawas telah berhasil memenuhi tantangannya dengan cara yang sangat cerdas dan unik.
Khalifah Harun Al-Rasyid lalu memberikan hadiah kepada Abu Nawas sebagai tanda penghargaan atas kecerdikan dan kearifannya.
Bisu
(Ernawatie Sutarna)
Inara mengangkat cangkirnya perlahan. Tatapnya masih tertuju pada seorang lelaki yang duduk di kursi dekat jendela.
"Secangkir teh menemaniku saat hujan malam ini. Tahukah kamu, di sini, kopiku sering kali terlanjur dingin. Hal itu sering membuat hati ini sedikit merajuk. Mengapa udara selalu mendahuluiku mengecup hangat kopiku?" riuh di hati Inara.
Inara menyesap tehnya perlahan. Menikmati hangatnya serta menjelajahi rasanya. Tawar. Ada banyak pertanyaan yang masih bergulung dalam benaknya.
"Mengapa dia selalu membisu? Tak pernah menyapaku saat bertemu? Apakah aku tak layak untuk dia sapa?"
Dari jendela rumah di seberang jalan, nampak lelaki itu menatapnya lalu menggerakkan tangannya. Dia berbicara dengan bahasa isyarat.
Saat ini gaung fiksi mini mungkin tak lagi nyaring, entah apa sebabnya. Padahal fenomena fiksi mini beberapa tahun lalu melahirka suasana baru yang cukup menggairahkan di dunia sastra. Sepertinya menarik jika kita membuat fiksi mini ini ramai kembali dan mengalirkan (kembali) semangat baru pada minat membaca dan menulis sastra.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung