• Berita
  • Forum Diskusi RKUHAP Bersama Jakatarub, Mengangkat Suara Kelompok Rentan yang Terancam

Forum Diskusi RKUHAP Bersama Jakatarub, Mengangkat Suara Kelompok Rentan yang Terancam

Kelompok rentan dan pegiat kemanusiaan perlu mengantisipasi risiko diskriminasi yang mungkin muncul dari KUHP yang berlaku 2026 maupun KUHAP yang sedang direvisi.

Forum diskusi terpumpun (Forum Group Discussion/FGD) yang diselenggarakan Jakatarub dan BandungBergerak menyoroti RKUHA di Bandung, Sabtu, 23 Agustus 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

Penulis Insan Radhiyan Nurrahim, 25 Agustus 2025


BandungBergerak.idKitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) akan berlaku efektif mulai Januari 2026. Sementara Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang masih disusun DPR dan pemerintah. Bagaimana kedua regulasi ini berpotensi membatasi ruang hidup kelompok rentan? Isu inilah yang dibahas dalam forum diskusi terpumpun (Forum Group Discussion/FGD) di Bandung, Sabtu, 23 Agustus 2025. Acara ini merupakan kolaborasi antara Jakatarub dan BandungBergerak.

Fokus forum adalah menyoroti pasal-pasal bermasalah dalam KUHP yang sudah disahkan serta Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sedang disusun. Menurut Risdo Simangunsong, Presidium Jakatarub, forum ini digelar untuk menyiapkan masyarakat sipil menghadapi aturan baru. Jika Bandung Bergerak lebih banyak menyoroti RKUHAP yang masih dalam tahap rancangan, Jakatarub justru menekankan pada KUHP yang sudah lebih dulu disahkan. Fokus utama forum ini adalah meningkatkan kesadaran kelompok agama dan pegiat kemanusiaan sekaligus mengantisipasi risiko diskriminasi yang mungkin muncul.

Kelompok yang diundang dalam forum ini mencerminkan keragaman isu, mulai dari komunitas Kristen, Ahmadiyah, Syiah, penganut kepercayaan, pegiat disabilitas, hingga aktivis gender dan seksualitas. Forum diskusi ini juga menekankan bahwa kesadaran bersama menjadi kunci untuk meminimalkan dampak negatif KUHP. Forum ini diharapkan dapat membangun kerja kolektif sekaligus memperkuat kapasitas masyarakat sipil agar siap menghadapi potensi diskriminasi.

Kesadaran peserta terhadap isu KUHP dan RKUHAP mulai tumbuh, meski tantangan ke depan tetap besar. Beberapa peserta sudah mulai memahami risiko yang mungkin muncul, bahkan mulai mengaitkannya dengan pengalaman nyata di komunitas mereka. Hal ini menjadi modal awal untuk membangun langkah bersama menghadapi implementasi aturan baru tersebut.

“Iya, satu sisi mereka sadar dan aware ya. Kita semua sadar dan aware dan bisa membikin kerja bersama. Di sisi lain juga kita meningkatkan kapasitas supaya bisa mengantisipasi risiko-risiko yang mungkin terjadi saat penerapan KUHP dan KUHAP ini,” ujar Risdo.

Ia menambahkan, beberapa peserta forum sudah mengungkapkan keresahan mereka, bahkan sebagian sudah mengetahui isu-isu bermasalah yang ada dalam aturan tersebut.

“Awareness-nya sudah mulai kelihatan. Beberapa teman-teman tadi sudah mengungkapkan keresahannya, dan sebagian memang sudah tahu isunya,” kata Risdo.

Baca Juga: Revisi KUHAP, Tameng Rakyat yang Justru Dijadikan Benteng Aparat
Koalisi Masyarakat Sipil Menggalang Petisi Penolakan Revisi KUHAP yang Disusun Ugal-ugalan

Sikap Jakatarub terhadap RKUHAP

Dalam pandangan Risdo, posisi publik terhadap RKUHAP hampir tidak bisa diubah karena prosesnya sudah mendekati final. Upaya yang masih mungkin dilakukan hanyalah melalui judicial review untuk menguji beberapa pasal yang saat ini sedang diusahakan oleh rekan-rekan terutama dari koalisi nasional.

Meski begitu, ia tetap menekankan pentingnya penyempurnaan terhadap KUHAP, terutama dengan melibatkan perspektif korban dan kelompok masyarakat sipil yang terdampak. Dengan melibatkan prespektif masyarakat yang berdampak bisa jadi lebih relevan lagi ketika ingin dilakukan proses penyempuranaan RKUHAP tersebut.

“Kalau soal KUHAP-nya kita berharap masih ada penyempurnaan, walaupun waktunya sangat singkat sekali. Selama ini perspektif korban dan rekan-rekan penggiat justru diabaikan, malah KUHAP ini memberi wewenang yang jauh lebih besar kepada polisi,” tegasnya.

Risdo mengingatkan bahwa kewenangan besar aparat berpotensi disalahgunakan. “Pesan kita cuma satu: wewenang yang besar, kekuasaan yang besar itu berisiko banget untuk jadi korup dan merusak,” ujarnya.

Forum diskusi terpumpun (Forum Group Discussion/FGD) yang diselenggarakan Jakatarub dan BandungBergerak menyoroti RKUHA di Bandung, Sabtu, 23 Agustus 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)
Forum diskusi terpumpun (Forum Group Discussion/FGD) yang diselenggarakan Jakatarub dan BandungBergerak menyoroti RKUHA di Bandung, Sabtu, 23 Agustus 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

Suara dari Komunitas HIV dan Gender

Salah satu peserta, Abe dari Bandung HIV Coalition menyampaikan kondisi komunitasnya yang semakin rentan. Ia menuturkan bahwa forum semacam ini penting meski tidak selalu disambut dengan optimisme oleh teman-teman komunitas gender.

“Saya hampir nggak pernah absen di acara Jakatarub, karena saya merasa harus menyuarakan teman-teman. Tapi di lingkungan teman-teman gender dan LGBT banyak yang sudah lelah. Ada yang bilang, mau diperjuangin atau enggak, kita tetap korban. Jadi ada rasa pesimis,” katanya.

Abe menjelaskan bahwa isu utama yang diperjuangkan kelompoknya adalah akses kesehatan yang adil. Namun stigma HIV dan orientasi seksual membuat banyak orang kehilangan hak tersebut.

“Yang terjadi sekarang, begitu tahu seseorang positif HIV sekaligus LGBT, masyarakat langsung menolak mentah mentah. Apalagi dengan adanya gay hunter. Banyak teman yang tadinya rutin berobat jadi takut keluar rumah,” jelasnya.

Kekerasan yang Masih Terjadi

Abe juga mengangkat kasus persekusi di Kuningan terhadap komunitas waria. Ia menceritakan bagaimana korban diseret dan dipukul hanya karena nongkrong di pinggir jalan.
“Pelakunya bahkan atlet tinju. Mereka nggak ganggu siapa-siapa, tapi diseret sambil diteriaki Allahu Akbar. Ini jelas kekerasan,” ungkapnya.

Menurutnya, kejadian serupa sering terjadi di kota-kota dengan kultur agama yang kuat seperti Tasikmalaya, Garut, dan Kuningan. “Alasannya moral. Padahal banyak waria juga termasuk orang orang yang pandai bersosialisasi dan aktif di kegiatan warga, misalnya acara 17 Agustusan sampai kepada dapur umum saat covid, itu tuh banyak teman-teman waria yang buat. Kalau masyarakat benci, kenapa mereka tetap makan makanan yang kita masak?” katanya.

Meski menghadapi kenyataan pahit, Abe menegaskan pentingnya solidaritas lintas isu. “Isu agama dan isu gender punya persamaan: sama-sama jadi korban. Karena itu kita butuh jejaring yang lebih kuat,” katanya.

Ketakutan dan Harapan

Abe mengaku terbuka di media sosial sebagai aktivis HIV dan gender. Hal itu membuat dirinya rentan terhadap ancaman, terutama dengan maraknya kelompok pemburu LGBT.
“Saya sadar orang bisa dengan mudah cari nama saya di Google, alamat semua ada. Itu bikin khawatir takut ada yang melakukan kejahatan. Tapi kalau saya diam, siapa yang akan bicara?” ungkapnya.

Diskusi terpumpun ini ditutup dengan pesan bahwa masyarakat sipil diharapkan tetap waspada dan belajar bersama mengenai regulasi yang berlaku di Indonesia. “Kita harus tahu hak kita dan pasal-pasal yang berpotensi melanggar. Penting untuk mengawal penerapan aturan supaya tidak merugikan kelompok rentan. Ini soal keadilan,” tegas Risdo.

Forum itu mungkin hanya satu pertemuan kecil di tengah kota Bandung. Namun bagi para peserta, terutama dari komunitas yang rentan terpinggirkan, diskusi ini adalah ruang penting untuk membangun kesadaran dan solidaritas. Tantangan yang dihadapi memang berat, tetapi mereka percaya bahwa hanya dengan bekerja sama, suara mereka bisa bertahan menghadapi kebijakan yang mengancam.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//