Memaknai Kedaulatan Rakyat Bersama Kalabahu YLBHI dan LBH di Dago Elos
Kalabahu YLBHI dan 18 LBH se-Indonesia yang berlangsung di Dago Elos mengkaji kekuatan rakyat di negara hukum dan demokrasi.
Penulis Yopi Muharam26 Agustus 2025
BandungBergerak - Dalam sistem negara hukum dan demokrasi, kekuatan tertinggi seharusnya ada di tangan rakyat. Namun berbagai tantangan struktural menghalangi kesadaran itu tumbuh. Pengorganisasian menjadi cara krusial untuk menguatkan kesadaran rakyat akan hak-hak dan kekuatannya.
Di tengah jalan, negara hukum dan demokrasi menghadapi tantangan dari kekuasaan otoriter yang menihilkan kedaulatan rakyat. Menurut Yunita, akademisi hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, pengorganisasian penting untuk melakukan penyadaran masyarakat mengenai kekuatan yang mereka miliki. Peran inilah yang dilakukan para advokat publik probono (cuma-cuma).
“Kita (advokat publik) tidak menambah kekuatan masyarakat. Kita hanya ngasih tahu masyarakat punya kekuatan yang terkuat,” ujar Yunita, saat memaparkan materi di diskusi Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) ke-30 yang diselenggarakan YLBHI dan 18 LBH se-Indonesia di Dago Elos, Bandung, Senin, 25 Agustus 2025.
Dalam acara bertema “Peran Bantuan Hukum Struktural dan Gerakan Sosial dalam Negara Demokrasi: Lawan Penindasan, Bangun Gerakan Rakyat”, Yunita menekankan, melalui pengorganisasian dan penyadaran diharapkan masyarakat menyadari hak-haknya sebagai pemilik kedaulatan yang lebih tinggi.
Namun dalam praktiknya, perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap menyimpang tidaklah mudah. Masyarakat kerap menghadapi tekanan berupa teror, intimidasi, bahkan kriminalisasi.
“Supaya rakyatnya mundur,” tuturnya. “Memang tujuannya hanya untuk menjatuhkan mental orang saja ini.”
Negara Hukum
Sejarah panjang berdirinya bantuan hukum di Indonesia tidak lepas dari dinamika politik dan hukum sejak era peralihan dari Sukarno ke Suharto tahun 1966. Pada 1969, Kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) menginisiasi berdirinya Lembaga Bantuan Hukum (LBH), bertujuan memperkuat posisi advokat agar setara dengan penegak hukum lainnya. Gagasan ini sejalan dengan semangat negara hukum yang mulai dikembangkan saat itu.
Arif Maulana dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengaitkan perjuangan hukum dengan semangat kemerdekaan Indonesia yang ingin bebas dari penindasan kolonial. Harapannya, setelah merdeka, negara dapat mencerdaskan bangsa dan melindungi rakyat.
“Kalau rezim kolonial enggak akan memberikan pendidikan. Karena mereka takut masyarakatnya pintar, masyarakatnya kemudian melawan,” katanya.
Namun, Arif menyampaikan bahwa kenyataannya kini berbalik. Ia menilai, perjalanan bangsa Indonesia setelah merdeka justru selalu diwarnai eksploitasi dan penindasan yang mengatasnamakan hukum. Ia menyebut hukum digunakan sebagai alat kekuasaan dan hegemoni.
“Dan itulah harapan sebetulnya rezim-rezim otoriter,” ungkap Arif.
Menurutnya, Indonesia kini berada dalam kondisi demokrasi yang terpuruk selama 14 tahun terakhir. Arif menyoroti Presiden Joko Widodo sebagai penyebab kemunduran demokrasi, terutama saat mengubah aturan batas usia calon wakil presiden melalui Mahkamah Konstitusi demi membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka.
“Jadi kalau kekuasaan dipusatkan pada satu orang, pasti akan lahir tirani, ketidakadilan,” terangnya.
Maka, kata Arif, pengorganisiran masyarakat menjadi penting dalam menghadapi hukum yang telah menjadi instrumen politik. Arif menyebut bahwa pengorganisiran yang dilakukan LBH dan YLBHI tidak hanya sebatas permasalahan hukum, melainkan juga menyentuh wilayah politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
“LBH, YLBHI saat itu sebagai advokat publik berpikir yang harus dilakukan adalah mengintervensi hukum, bukan hanya dalam wilayah hukum saja, tapi juga mengintervensi hukum juga di wilayah politik ekonomi, sosial dan juga budaya,” ungkap Arif.
Baca Juga: Membedah Pasal-pasal Bermasalah RKUHAP yang Dibahas secara Ugal-ugalan
Sidang Peserta Unjuk Rasa May Day 2025 di PN Bandung, Kuasa Hukum Mempertanyakan Penggunaan Pasal Penghasutan pada Demonstran
Kekuatan Warga, Kedaulatan Rakyat
Hal senada disampaikan oleh Herry ‘Ucok’ Sutresna. Ia menegaskan bahwa menghadapi rezim otoriter harus dimulai dari pengorganisiran warga.
“Yang realistis adalah kemudian turun ke warga-warga dan kemudian membikin kekuatan warga,” ujarnya.
Ucok mencontohkan gerakan warga Pati yang menuntut bupatinya mundur sebagai bentuk nyata dari pengorganisiran yang lahir dari rasa kecewa. Ia juga menyebut daerah lain seperti Dago Elos, Sukahaji, Tenjolaya, Kulonprogo, Padang Rincang, hingga Rempang sebagai wilayah yang mengalami krisis akibat ancaman penggusuran.
“Jadi, fenomena ini sebenarnya fenomena positif bahwa enggak ada cara lain untuk melawan di kekuatan akar rumput yang tidak konvensional,” tandasnya.
Ucok mengajak warga membentuk prinsip bersama, seperti yang dilakukan warga Dago Elos yang berprinsip “tidak ada wakil rakyat yang akan menyelamatkan Dago Elos”.
Ia menekankan pentingnya membuat forum, membangun organisasi, dan melakukan perlawanan secara kolektif. Warga juga bisa melibatkan pihak-pihak dengan keahlian tertentu.
“Ada kawan yang mempunyai teknik investigasi? ajak. Ada yang bisa membuat riset dan infografis? ajak,” ujarnya.
Ucok menegaskan bahwa kekuasaan sejati tidak terletak pada jabatan atau struktur formal, melainkan pada warga itu sendiri yang sadar dan terorganisasi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB