• Liputan Khusus
  • Warisan dari Penghayat Lembang: Menjaga Mata Air, Merawat Bawana

Warisan dari Penghayat Lembang: Menjaga Mata Air, Merawat Bawana

Kaum penghayat di Kawasan Bandung Utara setia merawat tradisi menjaga mata air. Merusak mata air akan mengundang bencana banjir dan longsor.

Para perempuan penghayat di Ciputri, Lembang, Bandung Barat, Selasa, 1 Juli 2025 sedang ritual penghormatan ke sumber mata air. (Foto: Ida Rosida/BandungBergerak)

Penulis Tim Redaksi27 Agustus 2025


BandungBergerakKabut tipis masih menggantung ketika warga di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, bersiap mengikuti upacara adat ritual 1 Sura, Selasa, 1 Juli 2025. Kaum perempuan mengenakan kebaya putih dan membawa sesajen, sementara kaum lelaki memakai pangsi hitam. Mereka seperti sebuah karavan yang berduyun-duyun melewati Pasawekan Warugjati menuju sumber mata air Ciputri.

Barisan warga melewati kebun dan hamparan tanah subur di kiri kanan jalan. Mereka mengusung sesaji berupa bunga segar, beras, kendi berisi air, dan tanaman hanjuang. Masing-masing sesaji memiliki makna tersendiri.

Warga penghayat tua muda bergerak sambil terus berdoa, diselingi menaburkan bunga dan air di dalam kendi. Musik kecapi suling menjadi latar bagi karavan ini. Anak-anak tertawa ceria mengusung umbul-umbul beraneka warna.

“Prosesi tabur bunga bermakna saling mengharumkan, karena air ini juga mengalir ke permukiman warga lain, bukan hanya untuk penghayat,” kata Mih Eros, sesepuh penghayat kepercayaan Budi Daya.

Mih Eros dan Yaya di Ciputri, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa, 1 Juli 2025. (Foto: Ida Rosida/BandungBergerak)
Mih Eros dan Yaya di Ciputri, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa, 1 Juli 2025. (Foto: Ida Rosida/BandungBergerak)

Sejak lima tahun lalu Mih Eros mengelola sumber mata air di perkampungan kawasan Bandung utara ini. Baginya, alam adalah kitab terbuka. Menjaga air, tanah, dan tanaman bukan sekadar kebiasaan, melainkan kewajiban spiritual.

Mata air tersebut tak jauh dari Kampung Cicalung, Desa Wangunharja. Lokasinya r di bawah tebing yang menjulang. Sedikitnya 200 kepala keluarga bergantung pada mata air ini. Mereka memasak, minum, mencuci, hingga menyiram tanaman dari mata air pegunungan.

Upacara 1 Sura yang salah satunya bentuk penghormatan terhadap air dilakukan oleh warga penghayat setiap tahunnya.

“Upacara 1 Sura ini bentuk syukur dan penghormatan kepada alam. Kami berterima kasih pada air yang menghidupi kami,” kata Mih Eros.

Baca Juga: Menyemai Generasi Perempuan Pemelihara Bumi di Aisyiyah Boarding School Bandung
Cerita Memilah Sampah di Kampung KB Aisyiyah, Mengurangi Dampak Perubahan Iklim dari Desa

Perempuan 78 tahun ini berharap generasi muda bisa meneruskan tradisi menjaga alam yang diwariskan sesepuh. Ia sendiri sejak kecil telah menyaksikan tradisi ini. Menurutnya, penghayat kepercayaan berprinsip memayu hayuning bawana atau memelihara harmoni alam. Prinsip itu bukan sekadar jargon, melainkan praktik hidup.

“Semua itu pasti ada guna juga manfaatnya untuk kehidupan,” ujar Mih Eros.

Salah satu orang muda penghayat, Intan, 21 tahun, mengamini pesan Mih Eros. Baginya, tradisi leluhur seperti upacara 1 Sura akan terus dijaga sebagai bagian dari menghormati alam semesta. Menurutnya, hubungan antara manusia dan alam merupakan prinsip yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Karena dalam penghayat kepercayaan, alam semesta merupakan kitab suci (tulisan maha suci) yang dapat dikaji dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” terang Intan.

Warga penghayat di Cicalung, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa, 1 Juli 2025. (Foto: Ida Rosida/BandungBergerak)
Warga penghayat di Cicalung, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa, 1 Juli 2025. (Foto: Ida Rosida/BandungBergerak)

Alam Lembang Memprihatinkan

Lembang yang selama ini terkenal sebagai kawasan wisata, menyimpan catatan kelam selama setahun terakhir. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, wilayah ini berkali-kali dilanda bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang, longsor, dan pergeseran tanah yang mengancam keselamatan warga dan memengaruhi ekosistem alami.

Jumat, 23 Mei 2025, wilayah Kampung Pojok Girang, Desa Cikahuripan, Lembang dilanda longsor dan banjir bandang. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan, banjir menyebabkan satu fasilitas umum rusak dan satu lansia bernama Endang, 70 tahun, hilang. Endang ditemukan dalam kondisi meninggal dunia sekitar 612 meter dari lokasi kejadian, setelah lima hari pencarian.

Para perempuan penghayat di Cicalung, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa, 1 Juli 2025. (Foto: Ida Rosida/BandungBergerak)
Para perempuan penghayat di Cicalung, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Selasa, 1 Juli 2025. (Foto: Ida Rosida/BandungBergerak)

Masih di kawasan Lembang, BNPB mencatat Desa Jambudipa terdapat tiga kepala keluarga dengan total 11 jiwa terdampak bencana (BNPB, diakses Rabu, 27 Agustus 2025. Sementara bencana longsor melanda Kampung Babakan Laksana, Desa Gudangkahuripan, dan Kampung Babakan Ampera, Desa Jayagiri yang merusak rumah warga dan menimpa sumber air. Satu unit rumah mengalami kerusakan ringan dan satu keluarga dengan tiga jiwa terdampak.

Kondisi banjir di Lembang dipicu oleh berbagai faktor: alam dan aktivitas manusia. Kawasan hulu yang seharusnya menjadi daerah resapan air banyak mengalami alih fungsi lahan yang menurunkan kemampuan tanah melakukan penyerapan air. Kontur tanah berbukit dan gembur membuat air hujan cepat mengalir ke daerah rendah. Saat curah hujan tinggi, aliran air meluap karena saluran drainase sempit dan sering tersumbat sampah. BNPB mengimbau masyarakat untuk meningkatkan mitigasi dan kesiapsiagaan.

Anak-anak memainkan layangan di pinggir Sungai Citarum, Cicukang, Margaasih, Kabupaten Bandung, 26 Agustus 2025. (Foto: Ida Rosida/BandungBergerak)
Anak-anak memainkan layangan di pinggir Sungai Citarum, Cicukang, Margaasih, Kabupaten Bandung, 26 Agustus 2025. (Foto: Ida Rosida/BandungBergerak)

Cemar di Citarum

Kawasan Bandung Utara merupakan bagian dari daerah aliran sungai (DAS) Citarum, sungai terpanjang di Jawa Barat. Sekitar 25 kilometer dari mata air Ciputri, Sungai Citarum menyimpan cerita muramnya sendiri. Sungai yang dulu disebut sumber kehidupan masyarakat Sunda kini mengalami pencemaran parah. Limbah rumah tangga, plastik, potongan kayu, hingga sampah pasar mengubah aliran sungai menjadi berwarna hitam.

Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2024, Citarum memuat sekitar 40.000 ton sampah. Hampir separuhnya berasal dari rumah tangga: sisa makanan 43,56 persemplastik 19,07 persen sisanya kertas, kayu, kain, logam, dan karet.

Sampah di Sungai Citarum, Cicukang, Margaasih, Kabupaten Bandung, 26 Agustus 2025. (Foto: Ida Rosida/BandungBergerak)
Sampah di Sungai Citarum, Cicukang, Margaasih, Kabupaten Bandung, 26 Agustus 2025. (Foto: Ida Rosida/BandungBergerak)

Salah satu titik pencemaran terjadi di tepian Sungai Citarum, kawasan Cikukang, Margaasih, Kabupaten Bandung, Selasa, 26 Agustus 2025. Kondisi air di daerah ini kontras dengan kesakralan mata air Ciputri di utara. Air di Cicukang berbau menyengat, gundukan sampah menumpuk, tapi anak-anak tetap bermain layangan di pinggiran kali itu.

“Sampah ini kiriman dari pasar dan kali kecil. Warga sini sudah ada larangan buang sampah,” kata Nandang, 58 tahun, Ketua RT.

Dulu, kenang Nandang, Sungai Citarum memiliki aliran air yang jernih. Warga bisa mandi dan mencuci dengan leluasa. “Sekarang mah sudah tercemar,” cetusnya.

Kontras antara Ciputri dan Citarum menunjukkan bahwa pilihan ada di manusia. Di satu sisi, seorang sesepuh merawat setetes air dengan tradisi dan kesadaran kolektif. Di sisi lain, sungai terbesar di Jawa Barat terus menanggung beban kelalaian. Kondisi ini menjadi simbol perlawanan sunyi di Lembang: menjaga sumber kecil tapi berarti. Mereka sadar bahwa alam punya batasan.

*Liputan ini dikerjakan Ida Rosida & Canisabagian dari program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism) yang diinisiasi Eco Bhinneka Muhammadiyah dan berkolaborasi dengan BandungBergerak

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//