• Berita
  • Skate and Sound: Kolaborasi Lintas Generasi antara Skater dan Seniman Bandung

Skate and Sound: Kolaborasi Lintas Generasi antara Skater dan Seniman Bandung

Subkultur skater di Bandung hidup di jalanan, taman, dan ruang-ruang komunitas. Menemukan ekosistemnya di Skate and Sound.

Permainan skateboard di Skate and Sound, Laswi Heritage, Bandung, Sabtu, 23 Agustus 2025. (Foto: Akmal Thoriq/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam28 Agustus 2025


BandungBergerakSuara papan skate yang beradu dengan lantai tembok terdengar nyaring di bekas gudang tua yang disulap menjadi skatepark mini. Di Laswi Heritage, Bandung, Sabtu, 23 Agustus 2025, para skater unjuk kebolehan berselancar di atas papan beroda. Mereka melompat dari satu trek ke trek lainnya.

Sementara di panggung band Teenage Death Star membawakan lagu The Death of Disco Rabbit dengan tempo kencang. Para pengunjung melakukan pogo, gerakan sporadis yang menabrakkan badan satu sama lain. Di luar, puluhan orang muda dan tua mengantre untuk mengikuti unjuk skill skateboard. Sejumlah stand makanan dari mobil tua yang dimodifikasi berjajar memajang makanan ringan dan berat.

Skate and Sound, demikian nama acara di Laswi Heritage, merupakan kolaborasi puluhan komunitas skate dan perdana diadakan di Bandung. Skate and Sound tidak hanya melibatkan komunitas skaters saja, melainkan menggandeng puluhan seniman ilustrator, musisi, dan pelaku UMKM.

Adymar Haryo, salah satu panitia sekaligus skater menjelaskan, Skate and Sound digelar untuk menghidupkan ruang berkesenian dan berkolaborasi.

“Latar belakang acara ini sih penginnya menyatukan spirit yang belum tercapat dari dulu,” ujar Adymar, kepada BandungBergerak, di sela-sela perhelatan acara.

Acara ini menjadi silaturahmi lintas komunitas, antara para skaters, seniman, dan dunia usaha (UMKM) di Kota Bandung. Adymar menyebut, selain ruang yang inklusif, Skate and Sound juga wadah kolaborasi dengan seniman. Menurutnya, dari dulu Kota Bandung tak pernah habis melahirkan seniman-seniman baru.

“Bandung tuh kota produksi semua kreator,” ujarnya.

Stand komunitas di Skate and Sound, Laswi Heritage, Bandung, Sabtu, 23 Agustus 2025. (Foto: Akmal Thoriq/BandungBergerak)
Stand komunitas di Skate and Sound, Laswi Heritage, Bandung, Sabtu, 23 Agustus 2025. (Foto: Akmal Thoriq/BandungBergerak)

Ajang Menambah Teman

Skate and Sound dimeriahkan juga fun game antarskater. Ada sejumlah obstacle yang tersedia di sana, seperti flat rails berliku, quarter, hingga stair set w atau handrail and hubba. Peserta saling bergantian melakukan atraksi. Jika mereka berhasil melawati handril and hubba sembari bergaya, mereka akan mendapat berbagai hadiah.

Ada berbagai jenama dagang yang turut berkontribusi memberikan hadiah kepada peserta, seperti baju, jaket, aksesoris skateboard, hingga papan skate.

Rahma Mustafa adalah salah satu skaters yang turut memeriahkan fun game. Sudah berulang kali dia mencoba trik dengan melewati handril and hubba tapi selalu gagal. Walau begitu, dia tetap kebagian hadiah berupa baju dari brand asal Kota Bandung.

“Kalau nyobain sih banyak banget ya, enggak keitung kayaknya,” ujar Rahma, seraya menambahkan bahwa dirinya puas ikut acara ini.

Bagi laki-laki berumur 25 tahun ini, acara Skate and Sound menjadi ajang menambah teman. Rama sudah 7 tahun bermain skate. Dia berharap acara seperti ini sering diadakan.

Kalau bisa mah sering gitu. Sama kalau bisa lebih digedein lagi tempat buat main skate-nya sama alat-alat yang uniknya lagi ditambahin,” harap Rama.

Seniman menggambar di Skate and Sound, Laswi Heritage, Bandung, Sabtu, 23 Agustus 2025. (Foto: Akmal Thoriq/BandungBergerak)
Seniman menggambar di Skate and Sound, Laswi Heritage, Bandung, Sabtu, 23 Agustus 2025. (Foto: Akmal Thoriq/BandungBergerak)

Merawat Jejaring Subkultur

Kolaborasi di Skate and Sound terlihat dengan hadirnya puluhan karya para seniman. Sejumlah seniman melakukan live painting di atas papan dan partisan. Wulandari, salah satu seniman yang melakukan live painting, memilih melukis papan skate dengan menggambar gozila.

Dia menggambar dengan kuas kecil. Gambar godzilla yang dikenal seram diubah menjadi lucu, kepalanya gede dengan badan kecil. Menurutnya, acara bertema subkultur seperti Skate and Sound mesti dirawat.

“Bikin acara gini disereng-serengin aja karena kita semua jadi kumpul kan di sini, terus jadi yang enggak tahu jadi tahu kaya,” terang Wulandari, perempuan 23 tahun yang mulai belajar melukis dan menggambar sejak SD secara otodidak.

Seniman lain yang turut memamerkan karyanya adalah Adit, seorang ilustrator sekaligus skater. Di balik papan skate miliknya, ia menggambar kaktus bermata dan bermulut, sementara di bagian tengah papan tertulis Slotc — nama julukannya dalam berkarya.

Gambar itu mencerminkan transformasi gaya Adit dari realisme ke surealisme. Perubahan ini dipengaruhi kebiasaannya berkesenian di jalanan.

“Senang turun ke jalan, dulu ikut kru Preman Urban,” tuturnya.

Preman Urban adalah komunitas seniman jalanan di Bandung yang aktif berkarya di ruang publik, termasuk aksi menggambar mural di dinding Stasiun Bandung pada 2012.

Adit belajar menggambar secara otodidak. Ia juga terlibat dalam aksi live painting bersama lima seniman lainnya, melukis di atas panel berukuran sekitar 5x2 meter. Menurut Adit, hubungan antara skateboard, graffiti, dan musik sangat erat.

“Kadang ada yang awalnya main skate, lalu berkesenian juga. Atau sebaliknya, dari musik ke skate,” ujarnya.

Baca Juga: Tongkat Estapet Subkultur Bandung dalam Film Dokumenter Francis Of The Ripple Magazine
Tentang Punk, Dentangan Keras dengan Kontribusi Luas

Stand  komunitas di Skate and Sound, Laswi Heritage, Bandung, Sabtu, 23 Agustus 2025. (Foto: Akmal Thoriq/BandungBergerak)
Stand komunitas di Skate and Sound, Laswi Heritage, Bandung, Sabtu, 23 Agustus 2025. (Foto: Akmal Thoriq/BandungBergerak)

Sejarah Skateboard di Bandung

Skateboard mulai masuk ke Bandung sejak pertengahan 1970-an. Kehadirannya tidak lepas dari sejarah panjang perkembangan olahraga ini di Amerika Serikat, yang bermula pada 1950-an.

Awalnya, skateboard dibuat menyerupai papan selancar yang dipasangi roda dari sepatu roda dan tongkat kemudi, mirip otoped.

Pada 1960-an, perusahaan seperti Roller Derby dan Makaha mulai memproduksi skateboard secara massal. Melihat popularitasnya yang kian meningkat, pada 1967 Larry Stevenson menerbitkan Surf Guide, majalah pertama yang mengulas dunia skateboard.

Meski sempat dilarang di Amerika pada tahun 1970-an karena tingginya angka cedera anak-anak, di Bandung, skateboard mulai dikenal sekitar tahun 1976.

Dalam tulisannya berjudul "Gelombang Pertama Skateboard di Bandung 1976–1981" yang dimuat di majalah Golosor Times, Reka Nugraha menuturkan bahwa perkembangan skateboard di Bandung dipelopori oleh remaja-remaja masa itu.

Mereka biasa bermain di Jalan Cilaki karena permukaan aspalnya yang halus dan kontur jalannya yang menurun, cocok untuk slalom. Mereka tergabung dalam komunitas Geleseur, kelompok skate pertama di Bandung yang cukup disegani.

Pada 1978, kompetisi skateboard pertama di Bandung diadakan di pelataran Institut Teknologi Bandung (ITB), Jalan Ganesa. Kategori lombanya sederhana: slalom, hippy jump, dan freestyle. Kompetisi ini bahkan disebut-sebut sebagai yang pertama di Indonesia.

Memasuki era 1980-an, perkembangan skate kian pesat. Di Taman Lalu Lintas dibangun skatepark pertama di Bandung, dengan desain dari Lerri, mahasiswa arsitektur Universitas Katolik Parahyangan. Skatepark ini diresmikan pada 1981 oleh Surya Sumantri, Ketua Yayasan Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution.

Kini, komunitas skateboard di Bandung terus berkembang. Muncul skatepark-skatepark baru, salah satunya di Taman Pramuka, yang dikenal sebagai Tampra Youth Space. Tempat ini bisa diakses gratis, lengkap dengan fasilitas quarter dan bowl.

Tampra menghadirkan nostalgia bagi para skater angkatan 80–90-an. Salah satunya adalah Erwin Darrel, skater sekaligus fotografer. Kehadiran skatepark ini membuatnya kembali berkumpul dengan teman-teman lamanya.

“Rasanya seperti mengulang memori urang baheula. Jadi pada main lagi,” kata, kepada BandungBergerak.

Skatepark ini dirancang oleh Inong, teman lama Erwin saat masih sering bermain di Taman Lalu Lintas.

Bersamaan dengan kehadiran Tampra, Erwin dan teman-temannya mendirikan komunitas Tampra Kelas Pagi (TKP), yang terdiri dari para skater era 80–90-an.

“Jadi, habis nganterin anak sekolah, sebelum kerja kami ngumpul dan main dulu di Tampra,” katanya sambil tertawa.

Perkembangan skateboard di Bandung terus tumbuh. Kini, banyak anak-anak yang mulai bermain skateboard sejak dini. Bahkan, orang tua tak sekadar mengantar, tapi ikut nongkrong dan menikmati suasana bersama komunitas.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//