• Berita
  • Tongkat Estapet Subkultur Bandung dalam Film Dokumenter Francis Of The Ripple Magazine

Tongkat Estapet Subkultur Bandung dalam Film Dokumenter Francis Of The Ripple Magazine

Film dokumenter berjudul “Francis Of The Ripple Magazine” digarap anak-anak SMK. Mengisahkan masa kejayaan musik bawah tanah.

Atap Class dan Studio Wanieun meluncurkan film dokumenter Francis Of The Ripple Magazine di Bragasky 1957, Jalan Suniaraja no.5 Braga, Selasa, 19 Desember 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah29 Desember 2023


BandungBergerak.id - Atap Class dan Studio Wanieun meluncurkan film dokumenter “Francis Of The Ripple Magazine”. Film yang dibikin siswa-siswi sekolah menengah kejuruan Negeri (SMKN) 10 Bandung ini menampilkan lahirnya media lokal orang-orang muda Kota Bandung yang menjadi referensi pertumbuhan kultur dan musik saat itu.

Screening film disaksikan langsung oleh pelaku sejarah di Ripple Magazine mulai dari Vokalis Pure Saturday Satria Nurbambang, jurnalis Ihdar Resmadi, dan Ex Vokalis Rocket Rockers Noor Al-Kautsar, yang ditayangkan di Bragasky 1957, Jalan Suniaraja no.5 Braga, Selasa, 19 Desember 2023.

Ripple Magazine lahir bagian dari brand fashion 37 Boardriders. Pada perkembangannya menjadi kuat serta menjelma menjadi ekosistem musik Indonesia. Ripple Magazine sekaligus menjadi tongkat estafet musik Kota Bandung dari era 1960-an hingga 2009. Tak hanya itu, media ini menjadi jembatan para musisi, jurnalis, serta subkultur Kota Bandung dan Indonesia.

Produser film Kimung menuturkan, film dokumenter “Francis Of The Ripple Magazine” mencoba merekonstruksi media-media musik di Kota Bandung pada era 1999-2009 dengan menghadirkan pelaku dan kenangan dari Ripple Magazine.

“Risetnya lebih ke sejarah, karena narasi yang kita hadirnya lebih pergerakan Ripple Magazine dari awal berdiri sampai akhirnya shutdown oleh Mang Iwo. Dari tahun 1999-2009, kita membagi menjadi beberapa chapther terutama chapter Satria, Idhar, dan Ucay,” ungkap Kimung, ditemui BandungBergerak.id, Selasa, 19 Desember 2023.

Film ini mengangkat minimnya narasi musik di kota yang memiliki sejarah panjang soal musik. “Salah satu kebutuhannya yang kita buat, pembangunan narasi di sini masih sangat kurang. Ranah musik lebiih dari tiga dekade tapi masih jarang. Jadi kita (Atap Class) memproduksi banyak narasi-narasi baik dari media, buku, sampai film,” tuturnya.

Di Atap Class para siswa-siswa yang melakukan praktik kerja lapangan (PKL) di bidang film didorong untuk membuat rumah produksi sendiri. “Mereka harus punya rumah produksi, dibuat belajar untuk mengelola perusahaan sendiri mandiri. Tahun ini ada 9 rumah produksi yang dibuat oleh anak-anak umur 16-19 tahun,” jelas Kimung.

Menurut Kimung, proses regenarasi dari kecil di Atap Class diarahkan langsung untuk memproduksi dan menggembangkan dalam hal media, seperti film. “Jadi semua yang datang ke saya udah mulai diarahkan ke sana, mudah-mudahan proses regenerasi bisa berjalan terutama di ranah media,” tandasnya.

Baca Juga: Rahasia Kekuatan Skena Musik Indie Bandung Menaklukkan Industri Musik
Musik dan Suara-suara yang Dibungkam
Agar Musik Klasik Indonesia tak Terpinggirkan

Atap Class dan Studio Wanieun meluncurkan film dokumenter Francis Of The Ripple Magazine di Bragasky 1957, Jalan Suniaraja no.5 Braga, Selasa, 19 Desember 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)
Atap Class dan Studio Wanieun meluncurkan film dokumenter Francis Of The Ripple Magazine di Bragasky 1957, Jalan Suniaraja no.5 Braga, Selasa, 19 Desember 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Di Balik Proses Produksi “Francis Of The Ripple Magazine”

Sutradara Muhammad Yassar mengungkap proses produksi film dokumenter “Francis Of The Ripple Magazine” memakan kurang lebih 3 bulan, mulai dari proses penggembangan gagasan, pengambilan tema, hingga produksi.

“Kami mengambil waktu 3 bulan, sebulan tahap produksi. Kendalannya karena narasumber, 2 minggu screening pertama di sekolah,” ujar Yassar.

Awalnya film yang diproduksi dari program PKL sekolah ini akan mengangkat fenomena skena dan punk. Namun dalam perkembangan produksi film ini akhirnya memilih fokus menggarap tumbuh dan lahirnya Ripple Magazine.

“Diskusi dengan pak Kimung kemudian disepakati Ripple Megazine sekalian juga membangun support-nya buku Bandung Bawah Tanah. Karena melihat majalahnya sendiri mempunyai idealis yang kuat,”kata Yassar.

Film dokumenter yang melibatkan anak-anak SMK ini menampilkan spirit orang muda Kota Bandung di era 90-an mulai dari idealisme dan perkembangan ekosistem indie.

“Pesan dari film ini itu ada dua poin yang pertama majalah bisa menyuarakan idealis dengan pasar, berbeda dengan lain masih diterima oleh komunitas. Spirit anak Bandung pada waktu, bagaimana di ekosistem indie bisa berkembang,” jelas Yassar.

Di balik proses produksi film dokumenter, para kru dari SMKN 10 Bandung termasuk Yassar mendapatkan pengalaman baru dan lebih kenal dengan budaya musik dan tren di Kota Bandung, mulai dari berkenalan dengan para narasumber, menelusuri sejarah musik underground Bandung, dan aspek-aspek subkultur lainnya yang pernah tumbuh di Kota Kembang.

*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan tentang musik bawah tanah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//