SABTU SORE #29: Menulusuri Sejarah Cross Boys di Bandung Era 1950, Ada Kemiripan dengan Orang Muda Kiwari
Presiden Sukarno sempat menyinggung fenomena Cross Boys dalam pidatonya. Subklutur yang terus hidup sampai sekarang.
Penulis Alwi Anas1 September 2025
BandungBergerak - Bandung tahun 1950-an menunjukkan fenomena unik yang disebut "Cross Boys", sebuah subkultur anak muda yang menantang norma sosial dan politik saat itu. Munculnya Cross Boys bukanlah tanpa konteks. Mereka hadir di tengah perubahan besar Indonesia pascakemerdekaan, termasuk nasionalisasi perusahaan asing milik Belanda dan atmosfer antibarat yang kuat. Kondisi sosial-politik yang bergejolak ini turut membentuk dan mempengaruhi ekspresi subkultur tersebut.
Pada tahun tersebut Bandung ada dalam periode transisi. Bandung masih berstatus Kota Praja setara kecamatan, jauh berbeda dengan kota metropolitan yang kita kenal sekarang. Struktur sosialnya juga berbeda. “Bandung didominasi oleh kelompok-kelompok berhaluan kiri yang memegang peran penting dalam kehidupan politik,” ujar Yogi Esa Sukma Nugraha, guru dan pencinta sejarah, dalam diskusi Sabtu Sore: Menulusuri Sejarah Cross Boys di Bandung Era 1950-an, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 30 Agustus 2025.
Reaksi terhadap Cross Boys pun beragam. Ada yang menganggapnya sebagai bentuk penyimpangan sosial, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk ekspresi subversif. Bahkan Presiden Sukarno sendiri, menurut Yogi, menyinggung fenomena ini dalam pidatonya, mengatakan bahwa gaya berpakaian Cross Boys merupakan budaya yang mempunyai moral pejal.
Menurut Yogi, Cross Boys bukanlah kelompok yang homogen. Ada perbedaan gaya berpakaian antara Cross Boys di Bandung Utara dan Bandung Selatan. Perbedaan ini juga tercermin dalam lokasi berkumpulnya mereka.
"Yang sering ribut tuh di jalan barat, yang di alun-alun," ujar Yogi.
Ia juga mengemukakan beberapa faktor penyebab munculnya Cross Boy, di antaranya ekonomi, pencarian jati diri remaja, dan pengaruh budaya barat, khususnya Amerika Serikat.
Diskusi tersebut membahas tulisan-tulisan berseri Yogi di BandungBergerak. Penulis Ojel Sansan Yusandi menanggapi bahwa media massa saat itu berperan dalam membentuk persepsi negatif terhadap Cross Boys. Media yang sebagian besar mewakili partai politik dan lembaga kemasyarakatan, menjelek-jelekkan Cross Boys.
"Medianya sangat menjelek-jelekan," ungkap Ojel.
Lebih lanjut, Ojel yang juga novelis menjelaskan bahwa Cross Boys muncul sebagai bentuk perlawanan anak muda terhadap norma-norma sosial yang dianggap represif. Kelahiran subkultur sebetulnya berawal dari keresahan-keresahan pemuda. Mereka menggunakan tubuh mereka sebagai media ekspresi politik, sebuah bentuk perlawanan yang mirip dengan gerakan-gerakan pemuda di masa revolusi.
"Mereka pakai tubuh mereka untuk menggambarkan bahwa anak-anak muda siap berjuang, bahwa mereka berani mati untuk Indonesia," tambah Ojel.
Baca Juga: SABTU SORE #28: Ngawangkong Sunda Sambil Lalu, Membicarakan Proses Kreatif Penulisan Esai
SABTU SORE #27: Membaca Cerita Perempuan-perempuan yang Melawan di Buku Nyanyi Sunyi Para Puan

Benang Merah dengan Orang Muda Saat Ini
Ojel melihat benang merah antara Cross Boys dan subkultur anak muda saat ini, yaitu melakukan perlawanan dengan semangat kebebasan berpikir. Meskipun konteksnya berbeda, semangat perlawanan terhadap norma-norma dominan tetap menjadi ciri khas subkultur orang muda baik di masa lalu maupun sekarang. Perbedaannya terletak pada media dan bentuk perlawanan yang digunakan. Di era Cross Boys, tubuh menjadi medan politik yang signifikan, sementara saat ini, media digital dan bentuk ekspresi lainnya lebih dominan.
Tantangan dalam menulis sejarah Cross Boys, menurut Ojel, terletak pada keterbatasan sumber yang terbatas, yakni dari media massa. Namun, dengan menggali berbagai sumber, termasuk wawancara dengan saksi hidup dan penelusuran arsip, sejarah Cross Boys dapat direkonstruksi secara lebih akurat dan komprehensif.
Ojel melihat fenomena Cross Boys di Bandung tahun 1950-an merupakan cerminan kompleksitas sosial-politik dan budaya Indonesia pasca kemerdekaan. Mereka bukan sekadar kelompok anak muda yang menyimpang, melainkan representasi dari keresahan, perlawanan, dan pencarian jati diri di tengah perubahan yang besar.
Memahami Cross Boys berarti memahami konteks sejarah, sosial, dan politik yang membentuknya, serta peran media dalam membentuk persepsi publik. Dengan demikian, kata Ojel, kita dapat belajar dari masa lalu untuk membangun narasi yang lebih inklusif dan memahami ekspresi subkultur anak muda di masa kini.
"Semakin banyak kita menggali, semakin banyak kita menemukan,” kata Ojel.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB