Nongkrong Champion Bareng Lingkar Sastra Utara di Perpustakaan Bunga di Tembok: Membicarakan Puisi dan Penggusuran
Melalui pembacaan puisi dan diskusi bertema Displaced People di Perpustakaan Bunga di Tembok, Lingkar Sastra Utara menyoroti pengalaman orang-orang yang tergusur.
Penulis Salma Nur Fauziyah8 September 2025
BandungBergerak - Isu penggusuran menjadi luka terbuka yang tak hanya menyisakan reruntuhan fisik, tetapi juga trauma sosial dan kehilangan identitas. Di Bandung, para penyair dan pegiat sastra menjadikan penggusuran sebagai tema utama dalam gelaran Nongkrong Champion #4 yang diselenggarakan oleh Lingkar Sastra Utara (LSU), Sabtu, 6 September 2025, di Perpustakaan Bunga Di Tembok.
Bertajuk “Displaced People”, acara ini menggabungkan pembacaan puisi dan diskusi untuk menggali pengalaman tergusur dari berbagai sudut pandang, baik penggusuran secara paksa, perlahan, maupun secara batiniah.
Acara yang dimoderatori Dinda, dibuka dengan kutipan penyair asal Amerika Serikat, Joy Harjo: “I am singing a song that can only be born after losing a country.”
Kutipan dari penyair berdarah Muscogee (suku asli Amerika Serikat) ini menggema kuat di antara peserta, menggambarkan rasa kehilangan dan keterasingan yang dialami mereka yang tergusur.
“Betapa mereka menjadi lebih lantang bersuara ketika kehilangan rumahnya,” ujar Dinda.
Puisi-Puisi Penggusuran: Suara dari Empat Penyair
Selain penyair Joy Harjo, diskusi “Displaced People” menyinggung sejumlah nama penyair dari mancanegara yang menyuarakan rasa kerinduannya terhadap identitas dirinya dan harus sirna karena praktik ‘penggusuran’. Mereka antara lain Mahmoud Darwish (Palestina), Hanna Fransisca (Indonesia–Tionghoa), dan Saini K. M. (Indonesia).
Puisi mereka dibacakan bergantian oleh para peserta. Beberapa puisi yang dibacakan antara lain: "Who Am I, without Exile?" (Mahmoud Darwish), "Remember" (Joy Harjo), "Air Mata Tanah Air: Untuk Abdurrahman Wahid" (Hanna Fransisca), "Bandung" Saini K. M.
Masing-masing puisi menghadirkan perspektif berbeda tentang penggusuran dan keterasingan. Darwish menulis dari pengalaman diaspora Palestina, sementara Hanna Fransisca menggambarkan bagaimana tubuh dan identitasnya menjadi ruang trauma akibat sejarah panjang diskriminasi.
“Tanah air adalah tempat aku lahir, tapi di manakah tanah airku kini berada?” tulis Hanna, menggambarkan kehilangan yang lebih dari sekadar fisik: kehilangan tempat dalam masyarakat.
Membaca Displacement Lewat Kacamata Affect
Usai pembacaan puisi, Ariel dari LSU memperkenalkan pendekatan teoritis baru: melihat "displacement" lewat konsep affect (mempengaruhi atau berdampak), bagaimana pengalaman penggusuran berdampak secara emosional, sosial, dan fisik.
Mengacu pada sebuah paper oleh Hirsh dkk., Ariel mengajak peserta untuk tidak hanya fokus pada penyebab penggusuran, tetapi juga pada dampak terhadap mereka yang tergusur.
Menurutnya, displacement bukan saja soal bangunan yang digusur, tapi soal tubuh dan identitas yang dipaksa pindah, berubah, atau hilang. Ia menyoroti lima aspek utama dari penggusuran: power (kekuasaan), positionality (posisi sosial), eligibility (legalitas), temporality (durasi), dan resistance (perlawanan).
Ariel mengungkapkan, dalam analisis wacana kritis penggusuran lebih sering dilihat dari sisi ketimpangan kuasa ataupun kebrutalitas yang dilakukan aparat.
“Jarang sekali si affect tadi ini teh digunakan untuk mengangkat orang-orang yang perlu didengar gitu,” tuturnya.
Affect, dalam konteks ini, dijelaskan sebagai daya yang mempengaruhi manusia baik secara alami, struktural, maupun melalui kekerasan. Dalam karya sastra, menurut Ariel, affect inilah yang membentuk banyak narasi. Apa yang ditulis penulis bukan sekadar orisinal, tapi hasil dari pengaruh sekitarnya.
Baca Juga: Perkara Sastra di Ruang Pendidikan Kita
Sastra Palestina, Kolonialisme, dan Pemanusiaan
LSU dan Upaya Membumikan Sastra
Lingkar Sastra Utara (LSU) merupakan komunitas yang berdiri sejak 2020, di tengah pandemi COVID-19. Anggotanya mayoritas alumni Pendidikan dan Sastra Bahasa Inggris UPI. Ariel menjelaskan, kegiatan seperti Nongkrong Champion adalah upaya memperluas jangkauan komunitas dan menjadikan sastra sebagai alat berpikir kritis.
“Salah satu konsen kita sekarang, penggusuran-penggusuran sudah tidak tahu malu. Dan itu terjadi bukan hanya di Bandung,” ujar Ariel.
Diketahui, Bandung merupakan salah satu kota yang marak penggusuran. Banyak kampung kota yang dicap kumuh kemudian digusur, mulai dari Kampung Kolase, Tamansari, Anyer Dalam, dan laini-lain. Sejumlah kampung kota hingga kini juga dalam sengketa, seperti Sukahaji dan Dago Elos.
Anggota LSU mayoritas merupakan alumni Pendidikan dan Sastra Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Namun sastra yang mereka bahas bersifat lintas bahasa. Ariel Ia berharap lewat sastra suara-suara dari mereka yang terdampak bisa terdengar lebih luas.
Baginya, sastra tidak boleh dianggap karya agung dan jauh. Karya sastra harus dekat dengan kehidupan sehari-hari. Mengutip penyair Aan Mansyur, Ariel menutup diskusi:
“Sastra itu enggak bisa mengubah dunia, tapi bisa banget untuk nyuruh kita mikir,” katanya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB