• Narasi
  • Berbagi Kisah Mengamati Burung di Habitatnya di Bandung Timur

Berbagi Kisah Mengamati Burung di Habitatnya di Bandung Timur

Pada kegiatan pengamatan burung (birdwatching) di kawasan Bandung Timur, penulis mencatat tidak kurang dari 39 jenis burung yang umum ditemukan.

Johan Iskandar

Penggiat Birdwatching di Unpad dan Penulis buku Kisah Birdwatching, ITB Press (2025)

Sejak berpuluh tahun lalu, koloni burung kuntul kerbau dan blekok sawah menghuni rumpun-rumpun bambu di Kampung Rancabayawak dan menjadi bagian dari hidup keseharian warga.

8 September 2025


BandungBergerak.id – Kala itu di pagi hari sekali, di hari Minggu, penulis keluar rumah di dekat kawasan Kampus UIN Cibiru. Tujuannya untuk melakukan kegiatan pengamatan burung (birdwatching) di pagi hari libur. Beberapa alat birdwatching, seperti teropong atau kekeran, buku mengenal jenis-jenis burung di alam, buku catatan lapangan, dan kamera dibawa serta dimasukkan dalam ransel. 

Pagi itu, udara pagi hari terasa masih cukup dingin. Suasana kendaraan bermotor di lintasan jalan raya di depan kampus UIN Cibiru sudah cukup ramai. Maklum jalan raya itu merupakan jalan penghubung utama antara Kota Bandung menuju kawasan Timur, seperti Cileunyi, Sumedang, Garut dan lainnya.

Penulis berjalan kaki melintasi jalan raya di depan Kampus UIN Cibiru menuju taman eks Patal Cipadung. Taman tersebut cukup luas dengan banyak pepohonan rindang, dan kawasan pinggirannya yang setengah liar belum dibangun, ditumbuhi oleh semak-semak belukar, dengan didominasi oleh tumbuhan putri malu/jukut garut dan kaso.

Sesampainya di kawasan taman eks Patal Cipadung, penulis berjalan berkeliling untuk mengamati burung yang ada di kawasan tersebut. Pada pagi yang cukup cerah ini, dapat diamati aneka ragam jenis burung liar yang mulai aktif di pagi hari untuk mencari pakan. Misalnya, burung-burung kapinis (Collocalia linchi) atau di buku panduan burung diganti namanya dengan nama Inggris yang di Indonesia disebut  walet linci, sering terlihat terbang sendirian, berpasangan atau dalam kelompokan kecil. Walet linci mempunyai ciri khas pada ujung ekornya yang terlihat tidak bercagak dalam, serta pada bagian perutnya warna pucat putih. Burung lainnya yang juga kerap kelihatan beterbangan di udara adalah burung walet atau di buku disebutnya layang-layang batu (Hirundo tahitica) dan walet lainnya yang di buku disebut layang-layang gua (Hirundo daurica). Secara sepintas ke dua jenis burung walet tersebut terlihat hampir serupa, keduanya memiliki ekor bercagak dalam. Namun, kalau dicermati dengan lebih seksama, burung walet (Hirundo tahitica) memiliki diagnostik khas seperti bulu pada dahi, tenggorokan, dan dada memiliki warna kecokelat-cokelatan, dan di perutnya warna putih ke abu-abuan. Sementara burung dodono (Hirundo daurica) pada bagian punggungnya terlihat berwarna merah bata, dan pada tunggingnya terdapat tambal merah bata.

Pada halaman mesjid, pinggiran eks Patal Cipadung, penulis dapat menyaksikan  kelompokan burung galejra atau di buku biasa disebut burung gereja erasia (Passer montanus). Burung gereja biasa terbang berpindah-pindah tempat, sambil mengeluarkan suaranya yang sangat khas, terdengar seperti criet-criet-criet atau treitreit-trietrieit-trietreit. Burung-burung tersebut biasa pula hinggap di atas genting dan kadang-kadang turun dan berjalan-jalan di permukaan tanah di depan mesjid. 

Sementara jenis burung lainnya, burung kutilang atau manuk cangkurileung, di buku disebutnya cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), terlihat berpasangan sedang hinggap di pepohonan mahoni yang tumbuh berjejer di pinggiran ruang terbuka hijau taman eks Patal Cipadung.  Pada waktu bersamaan, di daerah semak-semak pohon kaso dan jukut garut, terlihat pula beberapa ekor burung jog-jog atau di buku dinamakannya sebagai merbah cerucuk (Pycnonotus goiavier). Burung jog-jog mirip burung kutilang, tetapi memiliki kekhasan, di antaranya  di alis matanya terdapat codet warna putih. Burung tersebut sering bersuara riuh, terdengar seperti cokcorokcok cokcorocok-cokcorokcok, jog, jog, jog, berulang-ulang.

Pada habitat semak-semak belukar yang rimbun dengan tumbuhan semak jukut garut , terlihat pula aneka ragam burung-burung yang sedang bertengger. Misalnya, kelompokan burung piit atau pipit, atau di buku biasa disebut dengan nama yang agak jauh dengan nama lokalnya yakni bondol jawa (Lonchura leucogastroides) dan burung peking atau bondol peking (Lonchura punctulata). Kedua jenis burung tersebut selain jelas terlihat dengan teropong atau kekeran, dan keduanya juga dapat dibedakan dengan suaranya masing-masing yang sangat khas. Burung piit atau pipit biasanya terdengar bersuara, seperti: priieet-priieet-priieet dan burung peking terdengar, seperti:  peekiiing-peekiiing-peekiiing. Memang nama lokalnya oleh penduduk, diberi nama sesuai dengan kekhasan suaranya  yakni sebagai manuk piit dan manuk peking.

Masih di taman eks Patal Cipadung, pada habitat semak-semak belukar, penulis juga dapat mengamati pasangan burung pacikrak atau perenjak jawa (Prinia familiaris), oleh para pemelihara burung biasa dinamakan sebagai ciblek, yang sedang bertengger di atas pohon perdu seuseureuhan (Piper adumcum). Burung tersebut kadang-kadang terdengar juga bernyanyi atau berkicau, dengan suaranya sangat khas dan keras seperti: ciekraak-ciekraak-ciekraak atau kadang-kadang diselingi pula oleh suara lainnya, terdengar seperti: cienienien-cienienien-cienienien. Burung tersebut dapat diamati dengan jelas, memiliki tanda khas seperti pada sayap mempunyai tambal dua garis berwarna putih. Ekor di ujung agak lebar dengan warna di ujung ekor hitam dan putih. Tidak hanya itu, terdengar pula suara burung sejenis pacikrak lainnya, yakni burung wayu atau perenjak padi (Prinia inornata/P. subflava). Burung tersebut terlihat sedang bertengger soliter di puncak pohon kaso, dengan sekali-kali mengeluarkan suaranya yang keras dan sangat khas, yang terdengar seperti: ciek-ciek-ciek, mirip suara anak ayam. Tanda diagnostik burung tersebut, pada bagian alis mata terdapat codet warna putih, dan ekornya lebih panjang.

Perjalanan penulis dilanjutkan menuju pinggiran kolam bagian selatan ruang terbuka hijau eks Patal Cipadung. Tetapi, saat ini kolam tersebut sepertinya telah musnah diganti menjadi pelataran luas bersemen, biasa digunakan untuk berbagai acara pertunjukan musik dan lainnya. Di tengah kolam terlihat oleh penulis seekor manuk hurang atau di buku disebut cekakak jawa (Halcyon cyanoventris) sedang bertengger di patok bambu di tengah kolam. Penulis berupaya untuk  mendekati burung  tersebut untuk dapat mengamatinya lebih seksama dan untuk diabadikan fotonya. Namun, sayangnya burung tersebut sepertinya ketakutan, dan terbang ke arah timur dan hinggap di pohon cemara yang tinggi. Dari kejauhan, dari arah timur terlihat pula terbang individu lainnya mendatangi pohon tersebut, sambil bersuara keras, terdengar seperti: kriekkriek-kriekkriek-kriek atau cekriet-cekriet-cekriet berulang-ulang.

Pada tempat yang sama, di selatan taman eks Patal Cipadung, penulis juga dapat mengamati  jenis burung lainnya dari famili yang sama, Famili Alcedinidae, yaitu burung manintin atau raja udang biru (Alcedo caerulescens). Burung tersebut terbang melintas di atas kolam sambil bersuara khas yang terdengar seperti mencicit: tsriet-tsriet-tsriet. Dari arah sawah, dari arah barat, penulis juga melihat burung cekahkeh atau cekakak sungai (Todiramphis chloris) terbang soliter melintasi kawasam eks Patal Cipadung. Suranya terdengar sangat khas, terdengar seperti: kaakeekkaakeek-kaakeek atau gasngek-gasngek-gasngek sangat keras. Sejati memang nama lokal burung tersebut oleh penduduk disebutnya sebagai gasngek, sesuai dengan suaranya.   

Bukan hanya itu, pada kawasan ruang terbuka hijau eks Patal Cipadung, penulis juga dapat menyaksikan aneka ragam burung lainnya, seperti burung pepeko/puyuh batu (Coturnix chinensis), cipeuw/cipoh kacat (Aegithina tiphia), burung kacamata atau pleci/kacamata biasa (Zostertops palpebrosus), manuk seupah/cabai jawa (Dicaeum trochileum), burung uncuing/wikwik kelabu (Cacomantis merulinus), prenjak/cinenen kelabu (Orthotomus rificeps), cilak-cilak/cinenen pisang (Orthotomus sutorius), caladi tikotok/caladi ulam (Dendrocopos macei), tikukur/tekukur biasa (Streptopelia chinensis), dan sriganti/burung madu sriganti (Cinnyris jugularis). Biasanya berbagai burung tersebut terlihat sedang hinggap di pepohonan taman yang cukup rimbun, atau terbang pindah-pindah pohon.

Baca Juga: Data Populasi Burung Blekok Sawah dan Kuntul Kerbau di Rancabayawak, Gedebage, Kota Bandung 2011
Sebelum Kepak Sayap Blekok Hilang dari Kampung Rancabayawak

Habitat Menyusut dan Ancaman Punah

Usai mengamati aneka ragam jenis burung di lahan terbuka hijau eks Patal Cipadung, penulis melanjutkan perjalanan birdwatching menuju arah selatan, menyusuri kawasan sawah-sawah di belakang Polda Jabar hingga jalan tol, pinggiran kawasan  Rancabayawak. Pada lingkungan persawahan tersebut, penulis dapat  mengamati beberapa jenis burung sawah. Misalnya, burung  tengtengan/cici padi (Cisticola juncidis), yang sering terlihat sedang terbang pindah-pindah tempat di kawasan sawah, sendirian atau berpasangan. Burung tersebut biasanya sambil terbang mengeluarkan kicauannya dengan suaranya yang khas, terdengar suaranya seperti: trik-trik-trik-trik.  

Burung lainnya, burung kokondangan atau kokokan/bambangan merah (Ixobrychus cinnamomeus),  juga sering terlihat terbang soliter berpindah-pindah tempat di kawasan sawah. Bukan hanya itu,  penulis sering pula menyaksikan burung belekok/blekok sawah (Ardeola speciosa), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul kecil (Egretta garzetta)  yang sedang terbang soliter atau kelompokan pindah-pindah tempat di atas kawasan persawahan. Bahkan, hal yang sungguh menarik, meskipun habitat sawah  telah sempit terdesak oleh berbagai bangunan. Tiga jenis burung kuntul  tersebut, malah juga ditambah satu jenis lagi, kuntul kowak malam (Nyticorax nyticorax)  masih dapat bertahan biasa mencari pakan di sawah. Bahkan mereka biasa beristirahat dan bersarang dalam jumlah cukup banyak, sampai ribuan,  di rumpun-rumpun bambu haur, milik seorang warga di Rancabayawak, pinggiran kawasan Summarecon. Memang pohon-pohon bambu dan kawasan kampung tersebut, pada masa Wali Kota Dada Rosada, telah dijadikan kawasan konservasi untuk burung blekok. Oleh karena itu, tak heran bahwa sejak tahun 2017, Kampung Rancabayawak diubah namanya menjadi Kampung Kreatif Blekok atau lebih populernya sebagai Kampung Blekok (Iskandar & Iskandar 2025).   

Pada kegiatan  birdwatching di kawasan Bandung Timur ini, penulis telah dapat mencatat tidak kurang dari 39 jenis burung yang umum ditemukan. Jumlah jenis burung tersebut rasanya masih lumayan cukup tinggi. Namun, untuk di masa datang, rasanya jenis-jenis burung tersebut sangat sulit untuk terus dapat bertahan di alam. Pasalnya, kini habitatnya, berupa lahan-lahan sawah di kawasan Badung Timur, sedang marak beralih fungsi menjadi lahan terbangun, seperti pusat bisnis, permukiman baru, dan lainnya, sehingga luasnya makin menyusut dan bahkan punah sama sekali. Maka, hilangnya suatu jenis burung dapat pula menyebabkan hilangnya praktik budaya dan nama lokal (linguistik) burung di masyarakat. Mengingat ada hubungan sangat kuat antara praktik budaya, linguistik, dan  keanekaragaman hayati di alam, seperti beragam jenis burung, dalam sistem biokultur (biocultural system). Maka, sudah sepantasnya kini keanekaragaman jenis burung di alam untuk dapat dipertahankan keberadaannya, serta untuk dapat dinikmati dan dipantau lewat kegiatan rekreasi di alam yang menyehatkan yaitu lewat birdwatching. Ayo mari kita tumbuh kembang birdwatching ini di Kota Bandung dan tempat-tempat lainnya.. 

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//