• Foto
  • Sebelum Kepak Sayap Blekok Hilang dari Kampung Rancabayawak

Sebelum Kepak Sayap Blekok Hilang dari Kampung Rancabayawak

Kelestarian blekok dan kuntul di Rancabayawak jadi indikator tingkat kewarasan para pemangku kebijakan, terutama pemerintah, dalam mengelola tata ruang wilayahnya.

Fotografer Prima Mulia25 Desember 2021

BandungBergerak.id - Suara burung blekok sawah (Ardeola speciosa), kuntul kecil (Egretta garzetta), dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis) yang bersarang di rumpun-rumpun bambu dan pepohonan di sekitar Kampung Rancabayawak, Kelurahan Cisaranten Kidul, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, tak lagi seriuh dulu. Bau bacin kotoran burung penguasa lahan basah di sungai, kolam-kolam ikan, rawa-rawa, dan pesawahan di wilayah timur dan selatan Bandung itu juga tak lagi terlalu menyengat.

Bulan November dan Desember 2021 merupakan musim berbiak bagi burung-burung jenis kuntul. Mereka terlihat lebih aktif dan mendominasi koloni. Jenis kuntul kecil dan kuntul kerbau tak henti datang dan pergi. Kawanan burung-burung air itu menjaga sarangnya masing-masing secara bergantian. Burung jantan dan betina keluar bergantian mencari makan dan ranting-ranting pohon untuk membuat sarang yang lebih hangat dan kering bagi anak-anak mereka.

Tapi entah kenapa tak seekor pun blekok abu atau kowak malam (Nycticorax nycticorax) terlihat di lahan-lahan basah dari Gedebage sampai ke wilayah Bandung selatan. Koloni kecil kowak malam malah ada di daerah pusat kota Bandung, yakni di pepohonan besar hutan kota sekitar kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) di Tamansari.

Di Kampung Rancabayawak, sarang kuntul kerbau dan kuntul kecil sedikit lebih terbuka dan terekspos sinar matahari di kanopi pepohonan dan rumpun bambu yang menjulang setinggi lebih dari 15 meter, sementara sarang burung blekok sawah tersembunyi di antara rapatnya cabang rumpun bambu. Di bulan Desember, anak-anak burung masih belum bisa terbang. Bulu-bulu mereka belum terbentuk sempurna.

Kampung Rancabayawak menjadi pertahanan terakhir koloni burung-burung air dan satu-satunya habitat kuntul serta blekok di wilayah Kota Bandung. Kedua jenis burung ini dilindungi dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pada pertengahan tahun 2011, komunitas Bird Conservation Society (Bicons) mengadakan kajian mengenai populasi dan ekologi burung blekok sawah dan kuntul kerbau di Kampung Rancabayawak. Hasil empat kali penghitungan terhadap anggota koloni menyimpulkan jumlah individu rata-rata burung blekok sawah sebanyak 291 ekor dan burung kuntul kerbau sebanyak 782 ekor. Belum ada lagi kajian setelah itu.

Namun dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, dari 2019 sampai 2021, terlihat betul bagaimana populasi burung di Rancabayawak terus menyusut. Masifnya alih fungsi lahan jadi ancaman paling nyata di sekitar Gedebage, kawasan yang jadi dasar dari cekungan Bandung. Bekas-bekas rawa yang lama difungsikan sebagai persawahan kini berubah jadi permukiman, stadion megah, bakal kawasan Bandung Teknopolis, serta jadi bagian dari pembangunan ruas jalan tol Purbaleunyi dan rel kereta cepat Jakarta Bandung, termasuk area stasiun depo dan stasiun kereta cepat Tegalluar yang memanjang dari perbatasan Gedebage-Bojongsoang sampai ke Cileunyi-Rancaekek. Kawasan mahaluas ini dulunya adalah area pertanian.

Hilangnya ladang perburuan di sekitar Gedebage dan Tegalluar, terutama saat kemarau, memaksa blekok dan kuntul berkelana lebih jauh. Mereka mendatangi kawasan basah yang masih ada di Rancaekek, Cileunyi, Majalaya, Solokanjeruk, Baleendah, Bojongsoang, serta hampir semua Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum di wilayah Kabupaten Bandung. Di musim kemarau, sebagian besar burung tak pulang ke Kampung Rancabayawak. Baru di awal musim hujan, mereka mudik untuk berbiak.

Rancabayawak, kampung seluas 2,1 hektare berpenduduk sekitar 238 jiwa, sudah puluhan tahun jadi habitat alami burung-burung air saat musim berbiak tiba di awal musim hujan pada bulan November dan Desember. Warga sekitar menyebutnya dengan nama Kampung Blekok, merujuk pada salah satu jenis burung yang sudah puluhan tahun jadi bagian dari dinamika kampung.

[baca_juga]

Data menunjukkan, luas sawah di Kota Bandung terus menyusut secara signifikan dari tahun ke tahun. Hampir 100 hektare sawah hilang setiap tahunnya. Pada 2019, luas sawah yang tersisa 623 hektare.

Kawasan Gedebage dan sekitarnya tidak luput dari masalah ini. Tidak ada lagi rumpun-rumpun bambu luas atau hutan-hutan dengan kanopi pepohonan rapat dan tinggi. Para petani saat ini banyak menggarap sawah-sawah tersisa yang sudah dimiliki oleh pengembang. Rancabayawak jadi satu-satunya area konservasi  alami burung air di wilayah Bandung Timur.

Ujang Safaat (45 tahun), salah seorang tokoh masyarakat Kampung Rancabayawak, mengatakan koloni burung blekok dan kuntul sudah mendiami kampung mereka sejak tahun 1970-an. Sejak itu, mereka menjadi bagian dari hidup keseharian warga. Desakan pembangunan membuat keberadaan koloni burung kian terancam.

“Kami tak lagi berharap banyak dari kebijakan pemerintah, biar alam yang menunjukkan keajaibannya saja,” katanya.

Koloni burung air di Kampung Rancabayawak pernah hilang selama satu bulan di awal musim hujan. Mereka tak kembali ke sarang, membuat telur-telur busuk dan sebagian anak-anak burung yang baru menetas mati. Sumber masalahnya sepele. Ketika itu ada peserta lomba foto yang memotret kawanan burung menggunakan drone yang terus terbang bermanuver di atas koloni burung-burung. Konon, aktivitas mengganggu itu memperoleh izin dari pemerintah.

“Jadi sekarang ini jika sampai ada lagi kejadian seperti itu kami tak mau lagi main-main, lebih baik ditembak saja itu drone yang berani melayang-layang diatas koloni burung,” kata Agus, salah seorang warga Rancabayawak.

Keberadaan burung-burung air di Kampung Rancabayawak bukan sekadar atraksi wisata konservasi yang dibanggakan di setiap kunjungan pejabat saja. Mereka menjadi indikator alami untuk menilai kualitas lingkungan suatu kawasan, terutama kualitas perairannya. Kelestarian burung-burung ini adalah juga indikator tingkat kewarasan para pemangku kebijakan, terutama pemerintah, dalam mengelola tata ruang wilayahnya.

Untuk menyadari peran penting koloni burung itu, tidak perlu kita menunggu kepak sayap mereka hilang dari Kampung Rancabayawak.

Foto dan teks: Prima Mulia

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//