• Kolom
  • Kain Kasang Tukang #4: Praktik Menenun dalam Naskah Kuno

Kain Kasang Tukang #4: Praktik Menenun dalam Naskah Kuno

Tidak hanya dalam dongeng-dongeng Sunda, praktik menenun yang erat hubungannya antara manusia dengan Tuhannya dijelaskan dalam naskah kuno.

Merrina Listiandari

Penulis sejarah dan budaya. Bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo

Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian L 630 (dok. Aditia Gunawan). (Sumber Foto: kairaga.com)

9 September 2025


BandungBergerak – Budaya menenun bisa jadi kurang disadari oleh masyarakat Sunda sendiri, meskipun tradisi ini sering disebutkan dalam cerita-cerita rakyat seperti dongeng Nini Anteh dan Lutung Kasarung. Dongeng-dongeng ini merepresentasikan kehidupan para perempuan Sunda di masa lalu, alih-alih sekadar kisah pengantar tidur.

Aktivitas menenun para perempuan Sunda di masa lalu, yang telah di-spill dalam banyak cerita rakyat, ternyata secara eksplisit dituliskan oleh para karuhun Sunda dalam beberapa naskah kuno. Pada sebuah diskusi pendek dalam perjalanan dari Pangandaran ke Tasikmalaya, Riadi Darwis seorang ahli gastronomi kenamaan, memberitahu saya tentang dua naskah kuno yang dimaksud.

Yang pertama adalah naskah Kawih Pangeuyeukan, ditulis pada abad ke-17. Kawih Pangeuyeukan jika diterjemahkan secara bebas berarti Nyanyian Bertenun. Kawih ini memuat seluk beluk dan penjelasan pertenunan dari mulai bahan, alat tenun, hingga cara untuk menenunnya. Naskah lainnya yang lebih tua dari Kawih Pangeuyeukan adalah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, ditulis oleh Sri Baduga Maharaja pada tahun 1518 M atau awal abad ke-16.

Lontar Sunda Kuno Kawih Pangeuyeukan koleksi Perpusnas RI (dok. Aditia Gunawan). (Sumber Foto: kairaga.com)
Lontar Sunda Kuno Kawih Pangeuyeukan koleksi Perpusnas RI (dok. Aditia Gunawan). (Sumber Foto: kairaga.com)

Naskah Kawih Pangeuyeukan

Naskah kuno Kawih Pangeuyeukan mengisahkan tentang kesakralan praktik menenun (pikawiheun bwat ngeuyeuk) oleh perempuan. Secara implisit naskah ini berisi petuah atau petunjuk bagi perempuan, bagaimana dia harus menjalani hidupnya sebagai sosok yang diciptakan sebagai pendamping laki-laki. Perempuan selalu digambarkan sebagai sosok subaltern yang menghamba dan memohon petunjuk, bahkan menunggu perintah dalam menjalankan hidupnya pada laki-laki atau suami.

Naskah Kawih Pangeuyeukan banyak sekali menggambarkan tentang kisah atau ajaran tentang bakti seorang istri kepada suami. Gambaran tentang posisi seorang perempuan sebagai subaltern dan bagaimana ia harus berbakti pada sumi sangat jelas pada teks berikut:

"Sahur Deuwi Rasa Teuing Sakéan Adi Larangan “Guru lanceuking sumanger, Adi Rasa Jaya Keling, Samapun palalunkeuneun, manaing ceurik janari, midangdam sabuka siang, nyangeu teu beunang ning mateun, namikeun déwata eueyeuk, aing téh ménta dipapagahan”

(Berkata Deuwi Rasa Teuing Sakean Adi Larangan “Suami sekaligus guruku yang aku hormati sebagai hamba, Adi Rasa Jaya Keling, mohon maaf harap maklum karena saya menangis dini hari, menginginkan agar segera siang, menginginkan yang takmungkin, namanya dewata euyeuk, aku memohon dinasihati) (Fauziyah,2021 dari Ruhimat, Wartini, Gunawan, 2014).

Teks di atas mengisahkan sebuah kisah sederhana tentang seorang istri bernama Deuwi Rasa Teuing Sakean Adi Larangan. Dia terbangun tiba-tiba dalam tidurnya di tengah malam buta karena sebuah mimpi buruk. Ia lalu duduk dan menangis sembari melanjutkan kegiatan menenunnya. Dalam tangisnya sang suami Adi Rasa Jaya Keling terbangun. Lalu Deuwi Rasa Teuing Sakean Adi Larangan, sang istri, memohon maaf karena mengganggu sang suami sambil minta dinasihati.

Teks tersebut menggambarkan seorang perempuan yang selalu meminta perlindungan serta nasihat. Apa pun yang dirasakan oleh perempuan maka pelariannya tetap pada suami dan pada pekerjaan menenun. Naskah kuno tersebut menyampaikan bahwa menenun tidak hanya dianggap sangat sakral, ia juga dijadikan sebagai syarat bahwa seorang perempuan dianggap layak untuk dijadikan seorang istri, seperti terdapat dalam bagian terakhir Kawih Pangeuyeukan:

Angen mo diajaran. Bisa meubeur malem-malem. Bisa nyongkét poék-poék. Ngantéh tuwar nyangkuduan. Ngajingga ngabeureum ngora, ngadadu deung ngembang gadung. Cuuk ragi hideung neuleum. Ngadeuleu tangan katuhu. Mangka nyantepét di haté. Mangka nyurup di hamperu. Mangka sidéngdang di bayah. Nangtung di tungtungning hérang.

(Terampil tanpa harus diajari. Pandai mencelup malam-malam. Pandai menyongket di saat gelap. Memintal benang kuning dan merah. Memintal benang jingga dan merah muda, merah tua, dan putih bagai bunga gadung. Cerah warna kainnya, pekat warna nilanya. Pantas dijadikan sebagai tangan kanan. Sehingga melekat di hati. Sehingga masuk ke dalam empedu. Sehingga berdiam di paru-paru. Berdiri di puncak kegemilangan)(Fauziyah,2021 dari Ruhimat, Wartini, Gunawan, 2014).

Selain mengisahkan tentang sosok perempuan dan posisinya yang tidak berdaya tanpa petunjuk dan perintah laki-laki, di sisi lain kawih ini menempatkan perempuan pada posisi tinggi dengan mitos feminin tentang penciptaan alam semesta. Dalam setiap hakikat penciptaan, awal dan akhir segala sesuatu termasuk praktik menenun, digambarkan terjadi karena sesosok perempuan langitan yaitu Sang Hyang Sri. Ia yang tinggal di kahyangan bernama Bungawari, tempat teratas dalam kosmologi para dewi (Aditia Gunawan,2017).

Baca Juga: Kain Kasang Tukang #2: Wastra Sunda yang Sarat Nilai Filosofis
Kain Kasang Tukang #3: Kesakralan Budaya Menenun dalam Mitologi Sunda

Mendiang Raden Ayu dari Cianjur dengan alat pemintal. (Foto Sumber: Buku De inlandsche Nijverheid in West Java als Sociaal- ethnologisch Verschijnsel karya C. M. Pleyte terbitan tahun 1912)
Mendiang Raden Ayu dari Cianjur dengan alat pemintal. (Foto Sumber: Buku De inlandsche Nijverheid in West Java als Sociaal- ethnologisch Verschijnsel karya C. M. Pleyte terbitan tahun 1912)

Naskah Siksa Kandang Karesian

Naskah Siksa Kandang Karesian berisi tentang pedoman hidup, moral, etika untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Naskah yang ditulis oleh Sri Baduga Maharaja pada tahun 1518 M ini bisa diartikan setara dengan kitab suci yang menjadi petunjuk bagaimana setiap manusia sebaiknya berperilaku, termasuk perempuan.

Tentang tenun sendiri sebenarnya tidak dijelaskan secara khusus. Tradisi ini disinggung dalam hubungannya dengan perilaku perempuan. Sama seperti yang disebutkan dalam naskah-naskah kuno lainnya yang menyebutkan bahwa perempuan yang layak menikah salah satunya bila sudah memiliki kemampuan menenun.

Naskah ini juga menyebutkan adanya kelompok khusus perempuan yang mahir menenun, yang berkaitan erat dengan etika berpakaian dalam masyarakat Sunda Kuno. Selain itu, naskah ini secara jelas menguraikan berbagai motif dan corak tenun yang dikenal dalam budaya Sunda.

Kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, papara-nakan, mangin haris, siliganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jayanti, hujan riris, laris, boeh alus, dan ragen panganten (Ria Intani. T, 2010).

Berdasarkan sumber-sumber kuno, terlihat bahwa budaya Sunda memiliki warisan tradisi menenun. Tradisi ini tidak sekadar proses menganyam benang menjadi kain, melainkan sarat akan nilai-nilai filosofis dan kearifan lokal. Dalam konteks Sunda Kuno, menenun bahkan dianggap sebagai bagian dari laku tapa atau pertapaan di nagara, yang merefleksikan hubungan spiritual antara manusia dan Tuhannya.

Sayangnya, warisan ini tidak sepenuhnya tersampaikan kepada generasi masa kini. Hanya segelintir masyarakat yang masih mempertahankan produksi wastra asli Sunda. Kain tenun dan budaya menenun pun tampaknya telah kehilangan perannya sebagai identitas masyarakat Sunda modern.

Saat ini, hanya masyarakat adat Badui di Kanekes yang masih menjaga dan menghayati filosofi menenun sebagaimana diwariskan leluhur. Semoga kenyataan ini dapat menjadi perhatian bagi pihak-pihak terkait di masa mendatang.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//