Kajian Kritis KUHAP di Kampus UPI Bandung, Terus Menuntut Instrumen Hukum yang Melindungi Hak Asasi Manusia Warga Negara
Mahasiswa UPI menggelar diskusi untuk memperkuat pemahaman bersama tentang KUHP. Rakyat membutuhkan KUHAP yang menjamin hak asasi manusia, bukan membungkamnya.
Penulis Tim Redaksi11 September 2025
BandungBergerak -Demonstrasi besar-besaran yang terjadi belakangan ini ditindak secara represif oleh aparat negara. Gejala ini menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan instrumen hukum yang melindungi hak asasi manusia (HAM) warga negaranya. Semangat pemenuhan HAM ini absen dalam pembahasan revisi Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dengan latar belakang tersebut, Himpunan Mahasiswa Satrasia FPBS Universitas Pendidikan Indonesia menggelar forum “Selasaan Bersama Satrasia” untuk membahas KUHAP bertajuk “Langkah Melawan Fasisme dan Bagaimana KUHAP Menghambatnya” di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Selasa, 9 September 2025.
Dalam forum yang dihadiri mahasiswa lintas kampus itu, Naufal Taqi, Ketua Umum UKSK UPI 2025, menerangkan bahwa diskusi ini sebagai bentuk respons atas situasi yang terjadi akhir-akhir ini terhadap gerakan rakyat yang banyak sekali direpresi oleh aparat negara.
“Forum ini kami adakan untuk melihat krisis ekonomi politik yang melanda di negara kita saat ini, yang mendorong gerakan rakyat, mahasiswa, dan buruh turun ke jalan sebagai bentuk aspirasi dan kemarahan. Tapi, justru gerakan ini menghadapi hambatan serius dari KUHAP yang digunakan aparat untuk mengkriminalisasi dan merepresi aktivis, khususnya pada para guru, petani, pemuda, dan mahasiswa tentunya,” ujar Naufal.
Dia menilai, bahwa KUHAP yang seharusnya melindungi hak-hak warga negara justru menjadi alat legitimasi penindasan dan penghalang suara rakyat, serta memperkuat dominasi elite penguasa melalui kekerasan hukum dan tindakan aparat.
“KUHAP ini bila disahkan, tidak menjamin keamanan sipil dan itu semakin menjurus kepada negara fasis. Karena negara fasis itu adalah negara yang sangat otoriter yang mengendalikan hak-hak sipilnya kemudian juga mengontrol demokrasi dan juga membungkam gerakan rakyat khususnya kelas guru, kaum tani, pemuda mahasiswa dengan adanya KUHAP itu,” jelasnya.
Naufal menambahkan, forum diskusi ini sebagai bentuk penolakan KUHAP yang cacat dan tidak melindungi hak asasi manusia.
Memahami KUHAP, Melindungi Diri Sendiri dan Orang lain
M. Rafi Saiful Islam, Kepala Divisi Advokasi LBH Bandung, sebagai narasumber dalam acara ini menjelaskan, KUHAP seharusnya melindungi hak asasi rakyat dari penyalahgunaan kekuasaan. Kini justru berubah menjadi instrumen represif penguasa. Alih-alih menjadi benteng keadilan, KUHAP sering diperalat untuk mengekang dan membungkam suara-suara kritis.
Menurut Rafi, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengawal pembahasan Revisi KUHAP oleh DPR dan pemerintah. Pertama, mendorong transparansi penuh dalam proses pembahasannya. Pemerintah dan DPR harus menyediakan informasi lengkap dan terbuka kepada masyarakat.
Ia menjelaskan, KUHAP menyangkut hak hidup orang banyak sehingga masyarakat berhak mendapatkan akses informasi yang layak.
Kedua, lanjut Rafi, mendorong adanya mekanisme check and balance khususnya pengawasan eksternal independen terhadap kewenangan aparat penegak hukum yang diatur KUHAP. Pengawasan internal seperti Propam dinilai sering tidak independen.
“Ketiga, terus mengkampanyekan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat yang harus diakui dan dilindungi secara jelas dalam KUHAP revisi,” katanya.
Kenyataannya, kata Rafi, masukan-masukan dari rakyat tentang revisi KUHP sering kali tidak terdengar. Maka, diperlukan solidaritas kolektif dari mahasiswa dan masyarakat luas untuk mengawal proses ini dan mendorong gagasan progresif lainnya.
Kriminalisasi
Rafi mengingatkan bahwa ancaman KUHAP sudah menjadi kenyataan. KUHAP yang lama sudah sering dijadikan alat pukul oleh kekuasaan. Di RUU KUHAP yang baru kewenangan aparat hukum untuk melakukan kriminalisasi semakin terbuka lebar.
“Maka dari itu dorongannya terus awasi, terus dorong negara kita melalui pemerintah dan DPR untuk mendorong terus transparansi dan akuntabilitas proses KUHAP ini dan mendorong terus pemenuhan hak-hak asasi manusia untuk menjadi hak yang diatur secara spesifik di KUHAP yang baru,” katanya.
Ia menegaskan, seluruh proses penyusunan RUU KUHAP harus melibatkan partisipasi bermakna dari seluruh lapisan masyarakat sipil.
“Partisipasi bermakna berarti keterlibatan aktif yang memungkinkan masukan dan aspirasi masyarakat tersampaikan dengan baik agar rancangan aturan mencerminkan kebutuhan semua pihak, terutama karena KUHAP mengatur hal-hal krusial seperti perampasan hak asasi, kebebasan, dan privasi seseorang secara legal,” terangnya
Menurutnya, KUHAP berlaku mengikat bagi semua warga Indonesia. Regulasi ini terkait erat dengan hajat hidup orang banyak.
“Makanya, kita sebagai mahasiswa, kita sebagai masyarakat sipil harus terus aware terkait permasalahan KUHAP baik itu, transparansi dan akuntabilitas proses penyusunannya maupun isi dari KUHAP sendiri,” tegasnya.
Baca Juga: YLBHI dan LBH Seluruh Indonesia: Revisi KUHAP Dibahas Kilat, tidak Sejalan dengan Konstitusi dan Penegakan HAM
Revisi KUHAP, Tameng Rakyat yang Justru Dijadikan Benteng Aparat
Hukum untuk Melindungi Masyarakat
Forum diskusi dengan moderator Suyadi Badar dari Himpunan Satrasia FPBS UPI, menghimpun suara-suara kritis terkait revisi KUHAP. Badar sendiri menyoroti soal tanggung jawab negara terhadap perlindungan anak, khususnya mereka yang tersangkut masalah pidana. Menurutnya, kriminalitas yang dilakukan anak tidak lepas dari lemahnya sistem pendidikan di negeri ini.
Sementara itu, Baskara, salah satu mahasiswa UPI, menyatakan sejumlah undang-undang yang digodok pemerintah dan DPR dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Contohnya, RUU KUHAP yang ia sebut sebagai fasisme terselubung.
“Rezim ini dianggap mencoba melegalkan kekuasaannya melalui rancangan hukum yang memberi aparat kewenangan besar untuk mengontrol dan menekan rakyat,” ujar Baskara.
Baskara melihat ada pergeseran negara menuju fasisme di mana hukum dibuat bukan untuk melindungi masyarakat, tetapi menjaga dominasi elite politik. Tanpa partisipasi rakyat dan kontrol ketat terhadap pembuat undang-undang, regulasi yang dihasilkan akan terus merugikan rakyat dan memperkuat kekuasaan rezim.
Mahasiswa lainnya dari Prodi Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI Ridho Sudharamadjan berharap gagasan yang muncul dalam diskusi ini bisa menyebar luas, sehingga muncul pemahaman bersama tentang pentingnya negara yang menjunjung demokrasi.
“Yang nggak kayak negara kita, yang katanya demokrasi, tapi bohong nyatanya,” ujarnya.
Menurut Ridho, rakyat mesti terus bersuara untuk menuntut sistem yang adil, termasuk menciptakan akses pendidikan yang murah dan selama ini tidak bisa dijangkau orang miskin.
*Reportase ini ditulis reporter BandungBergerak Nabilah Ayu Lestari dengan sokongan data lapangan dari Iklima Syaira