Menulis Orang Mati
Saya hanya kesal. Upah yang saya sisihkan itu mungkin menjadi bagian dari sesuatu yang penuh keburukan.

Muhamad Nizar
Buruh tulis harian.
11 September 2025
BandungBergerak - Beberapa hari ke depan saya harus menyisihkan upah bulanan yang masih jauh dari UMR ini untuk membayar pajak. Tepat tanggal 28 Agustus kemarin, upah itu cair. Saya langsung kepikiran untuk merincikan sejumlah pembayaran. Memang tidak seberapa besar nilai pajaknya, tetapi kali ini saya teramat berat hati membayarnya. Tanggal 28 bukan hanya menjadi penanda saya menerima gaji, melainkan juga pengingat ada orang mati dibunuh polisi. Lagi.
Saya tidak sedang mengeluh dan menyesal. Saya hanya kesal. Upah yang saya sisihkan itu mungkin menjadi bagian dari sesuatu yang penuh keburukan. Sesuatu yang bakal memaksa saya untuk terus mengulang kata ‘yang’ sebagai rasa kegamangan saya saat mencoba pelan-pelan menjelaskan. Serta memaksa saya mengulang kata ‘mungkin’ untuk mencari kemungkinan dalam ketidakmungkinan.
Saya mungkin saja secara tidak langsung menjadi bagian dari para tukang pukul, pemeras, pengambil hak orang payah lainnya, dan gerombolan pembunuh. Hasil jerih payah saya bekerja seharian terpotong untuk membiayai tunjangan-tunjangan mereka: anggota dewan beserta anjing-anjing penjaganya, kepala negara beserta hewan-hewan peliharaannya, dan aparat negara beserta mobil-mobilannya yang dapat melindas saya kapan saja.
Hasil keikhlasan saya bertahun-tahun menyumbang upah tak seberapa itu, sepertinya cuman sebatas untuk urunan membeli sempak aparat, atau membiayai lulusan SMA membeli seragam polisi. Padahal sebelum saya bayar pajak motor tahunan, setiap inti sari kehidupan sehari-hari sudah lebih dulu dikurangi pajak setiap pagi. Sesederhana untuk membeli keperluan mandi sampai segelas kopi.
Samin juga pasti dongkol melihat situasi menyedihkan tersebut. Ia pasti kepikiran buat menulis. Menulis buku berjudul Mati Ketawa A la Orang Indonesia 2025. Isinya tentang orang-orang payah yang rela menyisihkan duit untuk bayar pajak, menyumbang duit untuk foya-foya dewan dengan tunjangan harian yang melebihi upah bulanan rakyat kelas menengah kebanyakan.
Dalam bukunya itu, Samin mungkin juga menceritakan betapa payahnya hidup mereka. Beragam alasan yang membuat mereka pasrah keluarkan duit. Bisa jadi taat karena kewajiban, kendati orang yang dibayar tidak pernah melakukan hal serupa demikian. Bisa jadi pula atas dasar takut dipersulit segala urusan atau memang tidak punya pilihan.
Namun Samin Surosentiko yang menggagas ajaran Samin atau Saminisme itu pasti akan berusaha juga mengobarkan semangat orang-orang untuk menyalakan api perlawanan. Ia akan mengorganisasi pergerakan serupa semasa hidupnya. Samin, yang lahir dari keluarga priyayi pada 1859 di Desa Kediren, memilih meninggalkan kehidupan penuh privilese demi menjadi petani. Ia pun dikenal karena menyuarakan perlawanan tanpa kekerasan.
Semasa hidupnya, Samin dan pengikutnya yang dikenal dengan nama Sedulur Sikep menolak peraturan kolonial yang tidak adil. Salah satunya adalah persoalan pajak yang dianggap hanya menguntungkan penguasa. Bagi mereka, tanah adalah milik alam yang memberi kehidupan, bukan objek yang bisa seenaknya dipajaki oleh penguasa.
Baca Juga: Latihan Tinju dan Betapa Payahnya Ruang Aman Jurnalis
OBITUARI AFFAN KURNIAWAN: Berdiri Ditindas, Rubuh Dilindas
Cuman Menulis
Yang bisa saya kerjakan tentu jauh dari Samin. Cuman menulis ala kadarnya karena ingin meluapkan isi batok kepala. Karena kesal. Saya paham gusar tidak mampu mengubah keadaan, tetapi kegusaran ini harus dicurahkan. Sebelum batok kepala saya meletup dan isinya berceceran.
Dan setelahnya apa?
Balik kerja lagi. Saya mesti menahan emosi sambil meliput aksi demonstrasi. Balik jalani hidup lagi. Berusaha bangun sepagi mungkin dengan potongan tiap-tiap hal yang dikenai pajak menteri. Balik berhemat lagi. Menghitung sisa upah di tengah memenuhi keperluan hidup bulanan, segelas kopi, dan perlengkapan mandi.
Lalu balik menulis lagi. Menulis tentang orang mati. Lagi.