• Opini
  • Latihan Tinju dan Betapa Payahnya Ruang Aman Jurnalis

Latihan Tinju dan Betapa Payahnya Ruang Aman Jurnalis

Seharusnya jurnalis mendapatkan hak untuk dilindungi karena kebebasan pers sebagai hak fundamental individu sekaligus penjaga demokrasi.

Muhamad Nizar

Buruh tulis harian.

Ilustrasi kebebasan pers dan kebebasan sipil, 2023. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

11 Februari 2024


BandungBergerak.id – Perlindungan pers hanya ilusi. Sulit dibuktikan keberadaannya. Melihat lemahnya payung hukum ini, memunculkan niatku untuk belajar tinju. Kapan hari, kolega kerja saya dikeroyok simpatisan kepala desa (kades). Nasibnya mudah ditebak: babak belur. Pelaku? Santai, lur. Penyebab baku hantam bisa terjadi, tentu, karena kerja-kerja jurnalistik. 

Seorang kades tidak terima dengan pemberitaan. Dia malah curhat kepada para simpatisan. Curhatan berujung perkelahian. Jadi kalau ditanya menyoal perlindungan pers, rasanya, basa-basi. Saya lebih percaya Adolf Hitler mati di Garut dan membuka bisnis dodol, ketimbang meyakini nasib seorang jurnalis saat meliput itu memang betulan dilindungi dan baik-baik saja. 

Beruntung kolega kerja saya jago dalam urusan adu jotos. Saat dikeroyok tiga orang, dirinya masih bisa membalas dan mempertahankan badan untuk tidak terlalu dapatkan luka lebam. Bagaimana dengan saya yang tidak pandai berkelahi ini? Ringkih dan tidak terlalu doyan sama kekerasan. Jawabannya, ya, itu tadi. Berlatih di atas ring tinju. 

Lalu melihat lagi ke bulan-bulan sebelum kolega kerja saya ditumbuk simpatisan kades. Pada pertengahan Agustus 2023 silam, dua kawan dari media massa yang berbeda, lebih dulu merasakan bogem, dikeroyok, dijambak dan menerima intimidasi dari polisi. 

Hal itu terjadi saat pecahnya sikap represif polisi di Kota Bandung, kala membubarkan aksi unjuk rasa warga Dago Elos. Celaka, kedua kawan saya itu terjebak di tengah massa. Mengaku sebagai wartawan pun tidak digubris. Polisi hanya menjawabnya dengan satu, dua, tiga, dan sekian pukulan. 

Padahal jika kita melihat soal fungsi dari Hukum Pers itu, seharusnya jurnalis mendapatkan hak untuk dilindungi. Karena kebebasan pers sebagai hak fundamental individu sekaligus penjaga demokrasi. Ada payung yang melindungi kami para jurnalis. 

Baca Juga: Komite Keselamatan Jurnalis dan Jaringan CekFakta: Peretasan Akun Ketua AJI sebagai Teror terhadap Demokrasi
Komite Keselamatan Jurnalis Mendesak Polisi Mengusut Teror Bom pada Jurnalis Papua
Indeks Kebebasan Pers 2023 Turun: Kesejahteraan Jurnalis Bermasalah, Media Belum Ramah Disabilitas

“Jurnalis dalam Bayang-bayang Kekerasan”

Saya sepakat dengan laporan Tempo.co beberapa tahun terakhir. Dalam liputan Interaktif Tempo.co yang berjudul "Jurnalis Dalam Bayang-bayang Kekerasan". Kalimat pembuka yang disuguhkan, ternyata masih sama saja dengan nasib para buruh tulis tersebut pada masa sekarang. "Meski mendapatkan perlindungan dari UU Pers sejak 1999, wartawan masih saja dihalang-halangi dalam bekerja. Mereka diancam, diperlakukan secara buruk, bahkan menjadi korban kekerasan fisik."

Sementara berdasarkan laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pada kurun waktu ketiga rekan saya itu dipukuli, sepanjang tahun 2023, ada sebanyak 18 kasus kekerasan fisik yang diterima jurnalis. Itu adalah bentuk kekerasan paling banyak. Diikuti dengan jenis serangan digital (14 kasus), teror dan intimidasi (12), ancaman (12), pelarangan liputan (10), penghapusan liputan (6), perusakan/perampasan alat (5), kekerasan seksual/berbasis gender (5), penuntutan hukum (4), dan pelecehan (1 kasus).

Angka tahun kemarin tersebut, lebih brutal dari rentang waktu beberapa tahun ke belakang. Total ada 87 kasus kekerasan untuk sepanjang tahun 2023. Masih berdasarkan sumber serupa, pada tahun 2021 tercatat ada 41 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Ada penurunan. Lebih sedikit ketimbang tahun 2020 yang mencatatkan sebanyak 84 kasus.  Namun jumlah kekerasan terhadap jurnalis ini kembali mengalami kenaikan pada dua tahun selanjutnya, 2022, dengan catatan ada sebanyak 61 kasus kekerasan. 

Adapun untuk tahun ini, AJI mencatat berdasarkan hasil rekapitulasi, sudah ada sembilan laporan terkait kekerasan terhadap jurnalis. Dengan tiga laporan ancaman, dua upaya pelarangan peliputan, dua kasus kekerasan fisik, satu kasus kekerasan seksual/berbasis gender, dan satu kasus berkaitan dengan teror serta intimidasi. Tidak ada itu happy new year.

Melihat itu, tampak betapa payahnya payung hukum bagi jurnalis. Payung sudah bocor. Tidak berguna lagi untuk dipakai dan cuman bikin basah badan. Ibaratnya, ada ironi di atas ironi. Bahkan ironi tersebut berlipat-lipat. Di tengah lipatan ironi itu meninggalkan dua pertanyaan dan satu jawaban bagi saya. Pertama, bagaimana untuk menjaga demokrasi apabila nyawa terancam setiap hari? Kedua, bagaimana dengan saya yang tidak pandai berkelahi ini? 

Ya, latihan tinju.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//