Menemukan Kembali Zubaedah, yang Seorang Diri Ditinggalkan Kereta Sejarah
Nama Zubaedah dulu rutin disandingkan dengan mahasiswa Arief Rachman Hakim (ARH) sebagai pahlawan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kini dilupakan.

Zaki Fathurohman
Klub Membaca Salemba
15 September 2025
BandungBergerak - Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Namun ketika nyaris setiap bulan ada peringatan hari besar nasional yang asal-usulnya terkait kepahlawanan pada masa silam, bagaimana dengan seorang puan bernama Zubaedah? Agaknya bukan cuma kurang dihargai, malah mungkin dia tidak kita ingat lagi.
Ada ribuan mungkin berjuta Zubaedah di dunia, tetapi gadis yang raib setelah roboh rebah pada aksi demonstrasi 59 tahun silam, hanya satu. Namanya dulu rutin disandingkan dengan mahasiswa Arief Rachman Hakim (ARH) sebagai pahlawan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Tapi mengapa dia tak diperkenalkan sebagaimana kebanyakan kita kini mengetahui ARH? Apakah dia hadir samar di buku-buku pelajaran? Dan, diakah yang sempat dikenang tak berapa lama untuk dilupakan selama-lamanya?
Setengah abad terlewati, rezim berganti, pejabat daerah suksesi berkali-kali, idola tak lagi sama di televisi, sekolah dan perguruan tinggi sudah melahirkan sekian lapis generasi, tapi kereta sejarah negeri ini terus melaju sembari meninggalkan Zubaedah seorang diri. Dia bagai keping sejarah yang tercecer. Dialah sosok siswi, pahlawan yang tak terikuti, tak terperingati. Padahal keringat dan darahnya bersimbah pula di muka bumi Indonesia ini.
Kesaksian-kesaksian dari Lapangan
Basah peluh dan merah luka Zubaedah sungguhlah nyata. Dia bukanlah tokoh fiktif yang direka-reka. Namanya jelas direkam oleh para saksi sejarah. Aktivis 66 Christianto Wibisono dalam bukunya Aksi-aksi Tritura: Kisah Sebuah Partnership, 10 Djanuari-Maret 1966 (1970: 69) menyatakan, “dokumentasi dan kesaksian M. Husnie Thamrin tentang misteri Zubaedah merupakan fakta yang tak terbantah.” M.H. Thamrin yang dimaksud ialah ketua umum Pelajar Islam Indonesia (PII) pada tahun 1966. Thamrin juga pendiri KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang dibentuk di tengah gelombang perlawanan atas tirani Orde Lama. Betul, Zubaedah ialah anggota dari kedua organisasi pelajar tersebut. Sebagai anggota PII, Zubaedah juga tergabung di KAPPI. Ini tak lain karena KAPPI sendiri ditulangpunggungi oleh PII.
Sejumlah media masa kala itu juga memuat jelas nama Zubaedah. Minggu Pagi milik harian Kedaulatan Rakyat (KR) yang terbit di Yogyakarta tahun 1966, menyebut namanya sebagai pahlawan. Bahkan lebih jauh lagi, KR menyandingkannya dengan nama Cosmas Batubara dan nama pahlawan muda lain yang gugur saat itu. Cosmas sendiri ialah tokoh mahasiswa yang berpidato di depan Kampus Salemba Universitas Indonesia membacakan Tritura pada Januari 1966. Ia tampil di depan mikrofon sebagai Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Kelak ia dikenal sebagai menteri pada kabinet Orde Baru.
Majalah sastra Horison yang terbit pertama kali pada Juli 1966 pun memuat nama Zubaedah dalam edisi ketiganya pada bulan September. Nama gadis itu dicantumkan dalam suatu bagian promosi buku “himpunan puisi perjuangan Angkatan 66 yang bangkit melawan tirani yang merupakan karya sastra kebangkitan generasi muda meruntukan kezaliman, ketidakadilan dan kemaksiatan.” Itulah buku kumpulan sajak Tirani karya Taufiq Ismail yang diterbitkan Biro Penerangan KAMI Pusat. Buku itu dimaksudkan untuk merekam “kegemuruhan perlawanan angkatan ini, anekaragam emosi rakyat Indonesia yang adalah justru emosi generasi muda sendiri” termasuk “...panas terik demonstrasi yang dibayangi sangkur terbuka, tersungkurnya Arif, Zubaidah dan korban2 lainnya.”
Memang terdapat beberapa penulisan nama Zubaedah yang berbeda. Ayatrohaedi, mendiang Guru Besar Sastra UI yang juga peserta aksi kala itu, menulisnya Jubaedah. Pusat Sedjarah Angkatan Bersendjata (1970) menyebutnya Zubaedah, seperti harian KR di atas. Sumber lain seperti majalah Horison menulisnya Zubaidah. Buya Hamka dalam Di Bawah Gema Takbir (1976:29) menuliskannya sebagai Siti Zubaedah. Penulisan terakhir ini diikuti pula oleh Tianlean dalam bukunya Bung Karno, antara Mitos dan Realita: Dana Revolusi (2002:155) dan Suryadi dalam bukunya Malioboro: Djokdja Itoe Loetjoe (2002:178).
Gadis Zubaedah rela keluar dari ruang kelas memenuhi panggilan zaman. Dia hadir ke pentas sejarah ketika Indonesia sedang mengalami krisis dan pergolakan. Rakyat menderita keterpurukan ekonomi, kediktatoran dalam bidang politik, serta corak kebudayaan yang mengintimidasi kepribadian bangsa. Seperti ditulis Thamrin (1998:247) dalam buku Pilar Dasar Gerakan PII: Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam Indonesia, angka inflasi pada September 1965 tak tanggung-tanggung, mencapai 986 persen. Keadaan diperparah dengan terjadinya pemberontakan G30S/PKI dan kegamangan penguasa menentukan sikap. Tak heran jika mahasiswa melalui KAMI menyuarakan tiga tuntutan rakyat yang biasa dikenal dengan Tritura, yaitu: bubarkan PKI, retool kabinet, dan turunkan harga.
Gelombang demonstrasi tak terelakkan lagi. Walaupun KAMI dibubarkan sepihak oleh rezim berkuasa, tapi pada 24 Februari 1966, ribuan mahasiswa dan puluhan ribu siswa sekolah menengah turun ke jalan di antaranya melalui wadah KAPPI. Mereka tumpah ruah di sekitar Istana dan bangunan gedung Sekretariat Negara di Harmoni (Suryadi, 2002:178). Gerakan rakyat pada hari itu bertujuan untuk menolak pelantikan Kabinet 100 Menteri yang dipandang masih diisi oleh para pejabat korup serta wajah-wajah lama terutama dari pihak PKI. Aksi penggembosan ban mobil pun dilakukan sehingga memacetkan jalanan di sekitar istana.
Aktivis-aktivis KAPPI Jakarta menuturkan bahwa kala itu mereka bergerak "seperti pasukan tempur yang berusaha menapaki wilayah itu 'semeter demi semeter penuh kewaspadaan karena laras-laras senapan, panser dan poor senjata siaga'" di hadapan mereka. Betapa perjuangan yang amat nyata mengancam nyawa. Derita rakyat menjadi amanat perjuangan yang mesti diselesaikan.
Hingga kemudian, terik Jakarta pun dipanaskan oleh rangsek maju dan desing peluru aparat. Tak sedikit yang menderita luka. Dan sejarah mencatat dua orang meninggal dunia, itulah ARH dan Zubaedah. Suryadi (2002:178) menyebut Zubaedah sebagai “remaja kecil aktivis KAPPI” yang seperti halnya ARH “membayar janji perjuangan itu dengan darah dan nyawa mereka, tunai!” Pada hari itu, mereka berpulang ke hadirat-Nya. Aktivis mahasiswa 1960-an Hasyrul Moechtar dalam buku Mereka dari Bandung (1998:159) menceritakan, “pelajar putri” Zubaedah gugur pada waktu hampir bersamaan dengan ARH, yakni pada pukul 12.45 wib, 24 Februari 1966.
Moechtar juga menyebut “keduanya tewas sebagai pejuang Ampera”. Dalam biografi salah seorang tokoh Supersemar, Jenderal Basoeki Rachmat, Zubaedah pun ditulis di antara rincian nama “dua belas mahasiswa dan pelajar yang ditetapkan sebagai Pahlawan Ampera” melalui Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 (Djamaludin, 1998:68). Zubaedah ialah teladan bahwa pahlawan yang bergerak penuh kesadaran, tak mesti hadir sebagai sosok tua atau berusia puluhan tahun, melainkan belia belasan tahun punya kesempatan yang sama, sebagaimana kemudian dibuktikan berulang oleh para belia yang berkorban turun ke jalan selama satu dekade belakangan.
Cerita yang lebih detil dituturkan sejarawan Ayatrohaedi (65=67 Catatan Acak-acakan dan Catatan Apa Adanya, 2011), yang juga menjadi saksi sejarah dan melihat langsung bersimbah darahnya Arief Rachman Hakim di jalanan ibukota. Berbekal kesaksiannya, ia meyakini tokoh-tokoh pahlawan Ampera itu bukanlah tokoh fiktif, ia pun bertutur mengenai gugurnya Zubaedah seperti berikut ini:
Tapi korban belum cukup seorang itu. Beberapa waktu setelah tembakan berhenti, para unjukrasawan kembali bersemangat. Pasukan Cakrabirawa yang berjaga-jaga dengan sangkur terhunus pun terpancing lagi. Maka dalam kemelut yang terjadi di Jl. Merdeka Utara itu pun, seorang siswa perempuan tertusuk. Seperti korban yang tertembak, siswa itu pun diangkut entah ke mana. Ke rumahsakit atau entah ke mana. Baru kemudian aku tahu, mahasiswa berjaket kuning itu bernama Arif Rahman Hakim, mahasiswa FKUI tingkat terakhir. Siswa itu bernama Jubaedah, tercatat sebagai siswa di salah satu SMA di kota Bogor.
Kabar kematian Zubaedah dan ARH itu, seperti dikisahkan media Mingguan Sunda edisi tahun II no 60 (1966: 12), segera saja “sampai ke Bandung, hingga aktivis Bandung mengadakan shalat gaib secara spontan.” Kemudian pada malam harinya, sebanyak 79 civitas akademika dari IKIP, ITB, Unpad, Unpar dan perguruan tinggi lainnya, berkumpul melakukan konsolidasi.
Baca Juga: Ajar dan Shiksha, Bukan Hajar dan Siksa
Kisah Suka Cita Menyambut Bung Karno Keluar dari Penjara Sukamiskin
Hilang Disembunyikan
Peristiwa memilukan masih belum berhenti bagi almarhumah Zubaedah. Seperti diceritakan Wibisono (1980:94-95), ketika sudah diangkut ke RSPAD Gatot Subroto, serdadu-serdadu datang hendak “mengurus” jenazah Zubaedah. Mereka “kasarnya (memerintahkan) supaya (jenazah itu) ditanam begitu saja kedalam tanah, titik.” Tak cukup dengan itu, “serdadu-serdadu istimewa itu juga mengancam orangtua almarhumah supaya menutup mulut rapat-rapat tentang wafatnya putri mereka.” Intimidasi itu sedemikian brutal, “sampai orangtua tersebut masih gemetar ketakutan ketika simpatisan-simpatisan datang berkunjung untuk menyatakan belasungkawa.”
Pada malam Jumat itu pula, terjadi fragmen penting yang agaknya menjadikan memori kolektif bangsa kita sedemikian longgar soal Zubaedah: dia “diculik oleh serdadu-serdadu itu waktu Husnie Thamrin mencari dokter.” (Wibisono, 1980). Dalam penuturan Husnie Thamrin di buku Gerakan Eksponen '66: Sebuah Kesaksian (2003:24), malam itu “pimpinan KAPPI sibuk mencari jenazah Zubaidah yang hilang di RSPAD Gatot Subroto.” Menurut Wibisono, oleh para serdadu(?) itu, Zubaedah kemudian dikuburkan di suatu tempat di luar kota Jakarta. Penjelasan ini senada dengan keterangan aktivis 66 lainnya, Soemarno Dipodisastro, bahwa jenazah Zubaedah “diduga disembunyikan oleh Pasukan Cakrabirawa untuk dimakamkan secara rahasia.”
Sementara pada saat yang sama, di lokasi berbeda, di kompleks Taman Pemakaman Umum (TPU) Blok P Kebayoran Baru, liang kubur di sebelah calon kubur ARH, tetap lowong setelah jenazah Pahlawan Ampera tersebut dikuburkan, sebab liang kubur itu disediakan untuk Zubaedah. Para Pahlawan Ampera memang dikebumikan di TPU tersebut, sebelum kemudian dipindahkan ke TPU Tanah Kusir pada tahun 1977 (Tempo, 1977). Menurut Nirwana Joga dalam Komedi lenong: satire ruang terbuka hijau (2007), TPU Blok P Kebayoran Baru sendiri akhirnya digusur total pada tahun 1997 untuk pembangunan kompleks Walikota Jakarta Selatan dan kawasan hutan kota, serta hanya menyisakan makam Ade Irma Suryani putrinya Jenderal A.H. Nasution.
Mengenai identitas pelajar Zubaedah, historiografi yang muncul masih menyajikan data berbeda. Wibisono yang pernah jadi redaktur buletin KAMI, dalam Aksi-aksi Tritura (1970:70) menyatakan Zubaedah ialah gadis pelajar SMP yang baru berumur belasan tahun. Sedangkan Soemarno Dipodisastro menulis bahwa Zubaedah ialah siswi SMA kelas 1 berusia 17 tahun (Tritura dan hanura: perjuangan menumbangkan Orde Lama dan menegakkan Orde Baru, 1997:87). Alamat tinggal Zubaedah diceritakan ada di dua tempat berbeda. Sejarawan UI Ayatrohaedi menulis ia berasal dari Bogor (2011). Sumber lain menyebut ia tinggal di Jatinegara (Dipodisastro, 1997:87).
Bogor sendiri pada tahun-tahun itu, memang tak hanya menyuplai tenaga aksi ke ibukota, tapi juga menjadi sentra aksi didatangi mahasiswa dan pelajar dari berbagai kota, demi menyuarakan aspirasi rakyat langsung di hadapan penguasa di istana negara di kawasan Kebun Raya. Namun yang agak aneh, kendati hal ini bisa dikoreksi, bahwa sejauh penelusuran penulis, baik di Bogor, Jawa Barat, maupun di Jatinegara, DKI Jakarta, tak ditemukan nama jalan Zubaedah untuk mengenang namanya. Hal ini berbeda dengan nama pahlawan Ampera lainnya yang rata-rata diabadikan sebagai nama jalan. Nama ARH bahkan dijadikan sebagai nama laskar Resimen Mahasiswa dan masjid kampus Universitas Indonesia di Salemba. Pahlawan Ampera lainnya juga diabadikan dalam nama ruas jalan di Jakarta dan di daerahnya masing-masing.
Dalam budaya populer, detik-detik gugurnya Zubaedah sebenarnya hadir dan beredar, meski mungkin tak banyak disadari. Momen gugurnya Zubaidah ditampilkan tak kurang dalam dua film dari dua zaman berbeda, yaitu film Djakarta 66 (1982) dan Gie (2005). Kendati tidak dijelaskan secara khusus, adegan robohnya seorang perempuan demonstran setelah ada yang melepaskan tembakan, jelas menunjukkan satu-satunya korban perempuan yang gugur kala itu, yang tak lain adalah Zubaedah. Pada film Djakarta 66, adegan itu muncul sekitar detik 1:16:40 – 1:16:42. Sedangkan dalam Gie, kira-kira pada detik ke 1:23:48 – 1:23:52.
Relevansi Hari Ini
Upaya menemukan kembali Zubaedah dapat dipotret dari berbagai jenis lensa. Dari lensa sejarah perempuan, ia tak hanya menambah daftar nama yang berkorban nyawa dalam perjuangan menegakkan misi perbaikan. Ia juga menjadi penanda perempuan terpelajar di zaman modern yang tak lepas dari denyut keprihatinan rakyat. Dilihat dari lensa sejarah global, Zubaedah menjadi pelajaran kritis tentang bagaimana pembelahan struktur masyarakat pasca-kolonial dan pertempuran ideologi di luar sana, ternyata turut merembet dan ter-impor sedemikian rupa sehingga mengakibatkan pertumpahan darah di masyarakat bawah. Sedangkan dari lensa sejarah kekuasaan, Zubaedah menjadi martir yang berusaha mengoreksi berbagai ketidakadilan. Sebagaimana orang bijak berkata: kekuasaan tidak akan tetap bertahan dengan kezaliman.
Dari lensa sejarah umat Islam, sebagai anggota Pelajar Islam Indonesia, Zubaedah adalah penyambung benang halus sejarah bangsanya pasca-proklamasi. Sosoknya membuktikan lagi-lagi, bahwa keberislaman atau keberagamaan tak sepatutnya dan memang tak boleh dipertentangkan dengan kesadaran berbangsa dan bertanah air. Rindu dan cinta tanah kelahiran bukanlah nilai-nilai baru bagi muslim muslimah. Akarnya tersambung pula pada perjuangan ulama dan pemimpin kerajaan Islam nusantara yang berupaya mempertahankan kedaulatan negerinya. Organisasi penanda kebangkitan nasional, Sarekat Islam misalnya, meletakkan “cinta kepada bangsa” di nomor pertama dari tujuh kewajiban lid (anggota) yang harus diperhatikan, seperti ditulis Engelenberg dalam Alcohol-enquete 1915 (1916:131).
Kesadaran semacam itu relevan di tengah tudingan yang kadang timbul tenggelam, seolah aspirasi umat Islam membahayakan bagi NKRI. Hadirnya kembali Zubaedah adalah garis sederhana yang membuktikan bahwa fitnah itu selain keji, juga ahistoris. Apatah lagi yang mesti dibuktikan padahal nyawa pun sudah pula dikorbankan. Padahal setiap aspirasi warga untuk kehidupan yang lebih baik, sepatutnya diasuh dan diasah dalam ruang-ruang demokrasi yang dipenuhi oksigen kebebasan berpikir.
Partisipasi Zubaedah selaku anggota pelajar Islam, juga jelas menunjukkan bahwa siswa yang aktif di kerohanian Islam bukanlah anak kemarin sore. Sejak dulu, “kakak-kakak rohis” mereka sudah berjuang mempersembahkan nyawa untuk keadilan dan kemakmuran Ibu Pertiwi. Atau seperti ditegaskan dalam pertimbangan Tap MPRS No XXIX tahun 1966, bahwa “memperjuangkan terlaksananya Amanat Penderitaan Rakyat merupakan perjuangan yang universil dalam menyuarakan budi hati nurani Rakyat, yaitu Kemerdekaan dan Keadilan.”
Relevansinya juga menguat ketika membandingkan keadaan sebagian pelajar sekolah hari ini yang disergap bahaya dari peristiwa dan paham seperti tawuran, konsumerisme, perisakan, hedonisme, kecurangan, liberalisme, dekadensi moral, dan lainnya. Tak pernah terlambat untuk terus mengukuhkan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang akrab dengan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, penegakkan adab dan ketinggian cita-cita, tak sekadar berpuas diri sebagai penyuplai bakal calon tenaga kerja di tengah sempitnya lapangan kerja.
Bagaimana rupa wajah Zubaedah, di manakah dia pastinya dikubur, tidak diketahui. Siapa pula gerangan kedua orangtua dan sanak saudara, kerabat keluarganya, tak lagi muncul ke permukaan. Apakah sunyi ini semacam ironi. Sebab Zubaedah seolah telah menjadi pahlawan tak dikenal. Tapi apapun namanya, melati tetap kan harum. Sedangkan untuk kasus Zubaedah sebagai seorang anak manusia di zaman modern yang memiliki hak asasi, bukankah selalu terbuka kemungkinan untuk menyelidiki kembali. Diakah pendahulu Wiji Thukul dan orang-orang hilang lainnya?
Seperti sudah disinggung di atas, tak seperti kebanyakan pahlawan lainnya, nama Zubaedah pun tak disematkan pada satupun ruas jalan, baik di Bogor atau di Jakarta. Tak juga namanya dilekatkan secara sadar sebagai nama bangunan atau perpustakaan, misalnya. Padahal ini upaya sederhana yang mestinya tak makan banyak biaya. Apalagi kalau pemberian nama tersebut diniatkan sebagai bagian kecil dari ikhtiar untuk menjadi bangsa yang besar, yang menghargai jasa para pahlawannya, dengan diiringi upaya untuk terus membaca dan menyegarkan ulang inspirasi kepahlawanan yang diwariskan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB