• Opini
  • Ajar dan Shiksha, Bukan Hajar dan Siksa

Ajar dan Shiksha, Bukan Hajar dan Siksa

Yang benar itu kurang ajar ataukah kurang hajar? Mengajar tentulah bukan dengan menghajar, memberi pelajaran tak sama dengan memberi penghajaran.

Zaki Fathurohman

Klub Membaca Salemba

Surat kabar De Locomotief edisi 24 Mei 1867, yang sejauh ini terlacak sebagai penggunaan frasa kurang ajar paling awal. (Foto Sumber: delpher.nl)

16 Juli 2025


BandungBergerak.id – Beragam kabar kasus kekurangajaran dan kekerasan seakan tak jemu mengisi ruang informasi sehari-hari. Kita seperti dipaksa menggelengkan kepala atau mengelus dada tanda prihatin dan dukacita, merapatkan geraham hingga menitikkan air mata, berkelindan dengan rasa geram, sedih, kesal, marah, hingga hampir putus asa membayangkan kesemuanya itu apakah nyata atau tidak nyata. Sambil tak memisahkan diri dari kenyataan yang ada di masyarakat, tulisan ini mencoba meneropong dua kata, hajar dan siksa, berharap ada sesuatu yang dapat diketemukan. Dimulai dengan mempertanyakan kembali sebuah frasa: kurang ajar.

Yang benar itu, kurang ajar ataukah kurang hajar? Jikalau yang kurang adalah ajarnya, mengapa tindak lanjut setelah kata itu diungkapkan, biasanya justru berupa (keinginan) menambahkan hajaran, bukan ajaran. Bahkan kalau orang berkata "Dia kudu dikasih pelajaran," tak jarang makna pel-ajar-an di sana berkonotasi dengan peng-hajar-an.

Tentu saja ini tak ada kaitannya dengan nama mantan Menteri Pengajaran kita: Ki Hajar Dewantara. Lagi pula penambahan h di sana dipandang sebatas pengaruh huruf Jawa ha untuk pelafalan a, seperti pada kata (h)ana, (h)embus, (h)asut, (h)empas. Sejumlah koran berbahasa Belanda (delpher.nl) di Hindia Belanda pra-proklamasi, memang pernah menulis nama tokoh Tiga Serangkai itu dengan Ki Adjar, tetapi lebih banyak lagi yang menuliskan Ki Hadjar.

Baca Juga: Bahasa Prokem dan Eksistensi Bahasa Indonesia
Fenomena Bahasa Jaksel Menggerus Cara Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar?
Bahasa Hukum dan Titik Balik Sebuah Keadilan

Ajar dan Hajar

Ajar dan hajar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merekam pengertian berbeda untuk kedua lema ini. Ajar dimaknai sebagai petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut). Sedangkan hajar dimaknai menghajar, (1) memukuli dsb supaya jera; memukuli sebagai hukuman, dan (2) membuat tidak berdaya.

Kata ajar sendiri, cenderung berisi dan dikelilingi muatan positif. Meskipun kata mendidik terasa lebih luas dan lebih luhur dibanding mengajar, tapi gerakan swadaya masyarakat berupa pengiriman guru muda ke pedalaman, dinamai Indonesia Mengajar, bukan Indonesia Mendidik. Sementara itu, kata hajar pun tak selamanya terkesan negatif. Kalau seorang ragu mengikuti aktivitas positif atau peluang baik, tak jarang teman-temannya meyakinkan, “sikat! hajar aja!”

Sembari bersepakat bahwa karya sastra adalah refleksi kenyataan sosial (Kartodirjo dalam Perspektif baru penulisan sejarah Indonesia karangan Nordholt et al., 2008), kita dapat menyimak beberapa contoh penggunaan frasa kurang ajar dalam sejumlah novel. Peristiwa berlatar Betawi tempo doeloe dalam "Si Pitung" (Soekanto SA, 2011) misalnya. Walaupun sudah disapa “assalaamu'alaikum “dan “apa kabar” oleh Ji'ih, tapi Raisan menjawab marah "Kurang ajar, kau sudah bosan hidup?" Itu cuma karena Ji'ih mempertanyakan “Kenapa menyebut-nyebut Bang Pitung?”

Dalam "Cinta cuma sepenggal dusta" (Mira W, 1985), salah satu halamannya berisi adegan guru menampar seorang siswi, gara-gara Si Siswi tadi tidur ketika pelajaran berlangsung. Pak Guru menjelaskan "Anak ini terlalu kurang ajar!" Di karya lainnya, dakwaan kekurangajaran juga menjadi bagian dari fragmen kekerasan dalam rumah tangga, seperti ditulis di novel "Perawan remaja dalam cengkeraman militer" (Pramoedya Ananta Toer, 2007). "Fina kurangajar. Jadi..." "Kau pukul dia sampai hampir mati. Kau hajar dia seperti babi. Apa kesalahannya? Kan dia istrimu sendiri? Kau harus kasihan padanya."

Kasusnya lain lagi ketika "Senja jatuh di Pajajaran" (A.M. Permana, 2009) memuat tokoh bernama Seta yang melerai dan menegur temannya. "Madi, mengapa engkau hendak menganiaya pemuda itu?" "Dia brengsek, dia kurang ajar Seta!"  Rupanya Si Pemuda yang disebut kurang ajar itu "mandi di pancuran wanita."

Baik itu dalam Si Pitung, Cinta, Perawan, maupun Senja, jelaslah tindak lanjut setelah tudingan kekurangajaran adalah tamparan, pukulan, hajaran, bahkan sabetan golok. Secara kebetulan, frasa kurang ajar sama-sama termuat 4-5 kali pada satu halaman yang sama di masing-masing novel tadi. Sedemikian rapatnya! Frekuensi sebanyak itu seolah sengaja buat menyokong ketegangan cerita yang ingin dicipta.

Agaknya cerita fiksi tak jauh berbeda dengan dunia nyata, di mana ketegangan, kekurangajaran, dan risiko penghajaran, makin ke sini seolah makin mudah tercipta di mana-mana. Di sela-sela kesumpekan kota, orang mudah tersulut oleh hal-hal kecil yang dianggap kurang ajar. Di ruangan-ruangan berpendingin udara, kerap tak lebih baik juga. Beragam transaksi kurang ajar dilakoni sejumlah abdi negara maupun pekerja partikelir. Guru-murid, sesama kawan, sesama “pendekar”, hingga dalam rumah tangga, bentuk kekurangajaran muncul dan penghajaran pun ikut-ikutan timbul menampilkan kekasarannya.

Seorang Wakil Menteri Agama RI lebih dari satu dekade silam, pernah mengkritik fenomena mahasiswa ber-IP tinggi, “tapi kurang ajar!” Ketika dulu pernah ramai berita anak muda menaiki patung pahlawan di kota Medan, seorang menteri sampai angkat bicara, “Itu kurang ajar!” Di sisi lain, rakyat mengecam politisi yang korupsi sebagai kurang ajar, tapi rupanya pada saat yang sama, ada juga yang diam-diam berharap dapat amplop, lalu memilih karena amplop, saban pemilu dan pemilukada. Klop! Bukankah itu artinya mau enaknya saja dan sama-sama kurang ajarnya.

Di dunia pendidikan yang mengajarkan pelajaran, kekurangajaran juga seperti ada saja, tak benar-benar tiada. Tawuran pelajar seakan rutin mengisi kolom berita. Geng-geng siswa merisak siswa lainnya. Ada siswi terekam nekat berlaku kurang ajar kepada seorang polwan. Lebih ada lagi aparat yang kurang ajar kepada warga. Ada pula guru melakukan tindak pelecehan atau tindak kekerasan kepada anak didiknya. Lantas juga ada mahasiswa yang tega menjagal dosennya. Tak kalah mengerikan, bermunculan berita gadis belia jadi mangsa pencabulan. Frekuensinya seperti semakin rapat saja. Dunia nyata, tampak kian tegang dan mencekam.

KBBI sendiri sebenarnya merekam makna “kurang ajar” ialah tidak sopan; tidak tahu sopan santun. Dapat dipahami bahwa maksud awalnya, barangkali orang (dianggap) kurang mendapat (pel/peng)ajar(an) yang benar, sehingga ia berlaku sesuatu yang (dianggap) keliru, kurang ajar. Persoalan makin runyam, jika kekurangajaran itu menyerempet bahkan melabrak ragam rambu aturan, tetapi supremasi hukum malah dipecundangi oleh para pihak yang semestinya menjadi penegaknya itu sendiri.

Frasa Kurang Ajar

Sebuah contoh menarik dapat kita simak dalam surat kabar De Locomotief edisi 24 Mei 1867, yang sejauh ini terlacak sebagai penggunaan frasa “kurang ajar” paling awal di media massa terbitan nusantara. “Saija harep begitoe banjak, njak toean boleh kassie massok ienie soerat di dalem toean poenja soerat kabar, kapan trada nantie toean toean dan njonja njonja di negrie Samarang bielang: Asta koerang adjar diea piegie trada kassie tabeh; temtoe Asta tra dapat edoekasie."

Demikian cuplikan penutup surat pengunduran diri dari pekerjaan yang dikirim oleh Asta, seorang pribumi. Kalau dibahasakan sekarang, surat itu berisi suara hati Asta sebagai orang yang dapat edukasi, mengundurkan diri baik-baik dengan berpamitan memberi salam (tabik) agar tak dianggap kurang ajar. Surat kabar yang di kemudian hari menjadi pendukung Politik Etis itu, segera memuji tindakan Asta, sebagai galanterie (sopan, beradab). Penggunaan frasa kurang ajar paling awal dalam media massa yang terbit di Indonesia tersebut, jelas menunjukkan bahwa ajar terkait dengan edukasi, pendidikan, dan salah satu buahnya adalah keberadaban. Malahan sebenarnya, secara terang dimaktubkan pula dalam Pancasila bahwa kemanusiaan kita mestinya diisi oleh keadilan dan keberadaban.

Kata-kata, sikap, dan tindakan kurang ajar, tentu tidak untuk dibudayakan atau dibudidayakan. Bukankah itu pula yang jadi tujuan didirikannya lembaga-lembaga pendidikan. Tak hanya di lembaga pendidikan, beragam profesi pun memiliki standar “keajarannya” sendiri. Majalah nasional Tempo yang sempat dua kali dibredel misalnya, sampai pernah menerbitkan edisi khusus (tahun 1979) dengan judul sampul “Bagaimana Kalau Wartawan Kurang Ajar?”. Lembaga dan komisi pengawas juga dibentuk agar institusi-institusi kenegaraan tidak berlaku kurang ajar. Bahkan ajang pemungutan suara sejatinya sarana untuk menghukum wakil rakyat dan para pemimpin yang kurang ajar.

Tapi selain itu, jangan sampai disalahpami pula, karena tuduhan kurang ajar pun bisa jadi tak serta merta dan tak selamanya mutlak benar. Bang Ji'ih yang melawan kezaliman, dipandang kurang ajar oleh si zalim antek kumpeni. Taufiq Ismail dan Widji Thukul yang berpuisi, dicap kurang ajar oleh antek penguasa. Bahkan Ki Hajar sendiri juga dianggap kurang ajar oleh penjajah Belanda hingga mengalami hukuman pembuangan.

Kembali ke pertanyaan awal, kalau yang kurang adalah ajarnya, mengapa yang ditambahkan justru penghajaran, mengapa yang diberikan adalah siksaan. Di sini kita dapat sejenak menengok ke masa lalu. Ada satu kata yang agaknya luput dari perhatian, padahal termaktub dalam naskah kuno nusantara. Itulah “shiksha” yang berasal dari bahasa Sansekerta. Kata ini dapat kita temukan misalnya dalam naskah Sanghyang Shiksha Kanda ng Karesian dari tahun 1518 M dan kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Naskah berbahasa Sunda kuno yang bersama naskah Syair-syair Hamzah Fansuri meraih pengakuan Memory of the World dari UNESCO tahun 2025 ini, merupakan naskah didaktik, yang memberikan aturan, tuntunan serta ajaran hidup dan moralitas kepada pembacanya.

Menurut kamus Sansekerta-Inggris terbitan Oxford University Press yang disusun Sir Monier Monier-Williams (1960), siksha sendiri memiliki arti “tuntunan 'instruction', nasihat 'lesson', pelajaran 'study', pengetahuan 'knowledge', pembelajaran 'learning', studi mengenai berbagai kecakapan 'study of skill', dan pelatihan dalam suatu kesenian 'training in an art'”. Pengertian shiksha seperti ini nyaris bertepatan dengan arti kata “ajaran” dalam KBBI, yakni segala sesuatu yang diajarkan; nasihat; petuah; petunjuk. Sebaliknya, pengertian shiksha semacam itu, ternyata tidak tercakup dalam dalam kata “siksa” di KBBI kini, yakni (1) penderitaan (kesengsaraan dsb) sebagai hukuman; (2) hukuman dengan cara disengsarakan (disakiti). Mungkinkah dari sini kesalah(h)ajaran itu bermula? Bahwa dahulu orang berpesan, agar yang kurang ajar itu diberi shiksha. Seiring waktu, makna shiksha berganti, mengalami reduksi dan peyorasi, sedangkan orang-orang masih saja menyiksa si kurang ajar, semaunya sendiri.

Bagaimanapun, mengajar tentulah bukan dengan menghajar, memberi pelajaran tak sama dengan memberi penghajaran. Barangkali ada benarnya shiksha-an Pak Kepala Sekolah kepada Pak Guru yang kurang ajar kepada Si Siswi yang dianggap kurang ajar oleh Pak Guru dalam novel Mira W yang disebut di atas: "Bukan begitu caranya mendidik, Pak. Murid-murid ini bukan anak kecil lagi. Kita tidak dapat memakai kekerasan fisik untuk mendidik mereka. Apalagi memukul seorang gadis. Sungguh perbuatan tercela. Biarpun mereka anak didik kita, tidak boleh kita berlaku sewenang-wenang terhadap mereka."

 

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//