• Opini
  • Bahasa Hukum dan Titik Balik Sebuah Keadilan

Bahasa Hukum dan Titik Balik Sebuah Keadilan

Pemilihan verba dalam undang-undang seharusnya tidak mengandung ambiguitas dan kerancuan demi mewujudkan keadilan pada korban, terutama pada kasus melibatkan anak.

Zulfiana Amaliana MZ

Mahasiswa S-3 Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung

Ilustrasi pengadilan. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

15 Juni 2024


BandungBergerak.id – Beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan secara signifikan atas jumlah kasus anak berkonflik dengan hukum, dan ini menjadi isu yang semakin mendesak di Indonesia. Pada tahun 2023 saja, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 3.547 laporan kasus kekerasan pada anak yang didominasi oleh kasus kekerasan seksual. Angka ini merupakan angka yang begitu besar, mengingat pelaku maupun korban masih dalam batas usia anak di bawah umur. Ini menunjukkan bahwa berbagai jenis kejahatan “seolah” akrab dan terlalu dekat dengan kehidupan anak-anak. Hal ini tentu menimbulkan perdebatan yang cukup kompleks, sehingga memunculkan berbagai pertanyaan sebagai respons masyarakat terhadap fenomena ini. Salah satunya adalah perdebatan mengenai sejauh mana undang-undang perlindungan dan peradilan Anak berdampak terhadap pembentukan karakter anak untuk lebih bermoral dan manusiawi.  

Berkaca dari kasus-kasus yang sering kali kita lihat dan baca di media massa, misalnya, kasus kekerasan seksual, membuncah kesadaran kita mengenai kenyataan pahit ini. Fenomena ini seolah menguji kekuatan hukum dari undang-undang perlindungan dan peradilan anak di Indonesia. Pada satu sisi, kedua undang-undang tersebut tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, yang menyatakan kewajiban negara dan pemerintah untuk menjamin hak setiap orang atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang. Di sisi lain, kedua undang-undang ini ingin berdampak signifikan bagi pelaku dan juga korban. Meskipun sebagian besar masyarakat menginginkan hukuman yang lebih tegas untuk membuat jera terdakwa, sehingga kejadian-kejadian serupa dapat menjadi pembelajaran dan peringatan keras.

Kenyataan ini memunculkan rasa khawatir dan sangsi atas konsep adil menurut undang-undang bagi korban dan pelaku anak, termasuk pula di dalamnya kesangsian atas hukuman yang setimpal bagi pelaku dengan usia di atas 18 tahun. Lebih jelasnya pada korban anak yang telah kehilangan hak untuk merasa aman dan nyaman, harus dihadapkan pada kenyataan bahwa hukuman bagi pelaku anak juga harus mempertimbangkan hak tumbuh dan kembangnya. Atau hukuman bagi pelaku dewasa yang dirasa tidak sepadan dengan penderitaan korban, baik penderitaan psikis maupun fisiknya.

Tentu hal ini menjadi sebuah dilema, di mana korban anak yang kemungkinan besar akan merasa tidak berdaya dan tidak diperjuangkan, akan melakukan perbuatan serupa sehingga merugikan dirinya dan orang lain. Sedangkan di sisi lain bagi pelaku anak bentuk keadilan itu dianggap berterima berdasarkan keputusan hakim yang dinilai telah layak dan sesuai dengan haknya untuk meneruskan masa depannya. Kondisi dilematis ini dipandang sebagai landasan untuk merancang kembali batasan dan kategorisasi yang tepat untuk memperoleh konsep adil yang sepadan antara korban dan pelaku anak.

Baca Juga: Bagaimana Proses Hukum Pidana bagi Anak yang Terlibat Kriminalitas?
Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Berhak Mendapat Perlindungan dan tidak Didiskriminasi
Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Bandung Meningkat, Penegakan Hukum masih Lemah

Pilihan Verba

Melihat fenomena dilematis tersebut, kita dapat mempelajari kembali, misalnya, Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 81 terkait jenis-jenis hukuman bagi terpidana kekerasan seksual. Di mana pada Pasal 81 Ayat (1) sampai Ayat (8) menjelaskan berbagai jenis hukuman bagi terdakwa kekerasan seksual, yaitu hukuman penjara, hukuman mati, hukuman pengumuman identitas, hukuman kebiri dan pemasangan alat detektor pada tubuh pelaku. Namun semua hukuman tersebut dikecualikan bagi pelaku anak, sebagaimana bunyi Pasal 81 Ayat (9). Hal ini menunjukkan bahwa hukuman disesuaikan dengan kondisi psikis, fisik, usia, dan hak untuk bertumbuh juga berkembang, sehingga seluruh jenis hukuman itu tidak diberlakukan bagi pelaku anak. Ini juga menjadi penegas, bahwa sesuai dengan Undang-undang Peradilan Anak Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 1 disebutkan ada pilihan berupa keadilan restoratif dan diversi. Begitu pula pada Pasal 2 dan Pasal 3 menyebutkan berbagai macam pertimbangan hukuman yang diambil untuk kasus pidana yang melibatkan korban dan pelaku anak.

Pada Undang-undang Peradilan Anak Nomor 11 Tahun 2012 ditemukan beberapa pilihan kata kerja yang digunakan sebagai landasan penghukuman, seperti verba /diupayakan/; /mengutamakan/; /melakukan/; [mendapatkan persetujuan]; [dapat melibatkan tokoh masyarakat]; [dapat berbentuk]; /dilanjutkan/; /dilaksanakan/; /mengusahakan/; [wajib memperhatikan]; /diajukan/, dan lain sebagainya. Pemilihan semua verba tersebut mengarah pada satu tujuan bahwa jenis hukuman berupa pendekatan keadilan restoratif dan diversi sebagai pilihan utama yang perlu dicapai terlebih dahulu, sebelum memunculkan pelbagai opsi lain yang mungkin akan muncul dari ketidaksepahaman antara pihak korban anak dan pelaku anak. Oleh karenanya, dapat memutuskan bentuk hukuman bagi pelaku anak membutuhkan pelibatan seluruh elemen, baik pihak pengadilan, jaksa, penyidik kepolisian, keluarga, bahkan tokoh masyarakat. Hal ini bertujuan agar pelaku anak mendapatkan keringanan hukuman mengingat pelaku anak juga perlu memperoleh haknya untuk menata masa depan. Tindakan ini hanya berlaku jika tindak pidananya termasuk dalam kategori tindak pidana ringan, dan jika tindak pidana berat akan diputuskan sesuai dengan pertimbangan hakim sesuai alat bukti, dan jaksa, maupun pihak pembela.

Pemilihan kata verba di atas tentu berbeda dengan verba yang digunakan pada Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016 yang ditujukan bagi pelaku pidana kekerasan seksual dengan korban anak, maka dapat dilihat melalui Pasal 81 Ayat (1) dan (5) jelas bunyi ayatnya menggunakan verba /dipidana/; Pasal 81 Ayat (3) terdapat verba [pidananya ditambah]; dan Pasal 82 Ayat (3) terdapat verba [pidana juga dikenakan kepada pelaku].

Ketiga jenis verba ini menunjukkan bahwa jenis hukuman berupa hukuman penjara ditetapkan secara pasti tanpa ada pertimbangan lain, yakni berupa pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara dengan denda paling banyak sebesar 5 miliar rupiah. Meskipun pada Pasal 81 Ayat (1) ini terdapat pertimbangan lama masa tahanan dan besaran denda, tetapi penggunaan kata verba /dipidana/ merujuk pada kepastian jenis hukuman. Begitu pula dengan pemilihan verba /ditambah/ secara jelas putusan tersebut tidak dapat dipertimbangkan lagi. Bahwa masa hukuman ditambah 1/3 dari ancaman pidana sebagaimana pada Ayat (1) jika pelaku kekerasan seksual adalah bagian anggota keluarga korban anak.

Keadilan untuk Korban Anak

Keberadaan Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016 ini tentu menjadi bentuk keadilan yang diharapkan oleh pihak korban, bahkan pada Pasal 81 Ayat (5) disebutkan pelaku dipidana mati atau seumur hidup jika tindakan kekerasan seksual itu hingga mengakibatkan cacat, luka berat, hilangnya fungsi reproduksi, gangguan jiwa, atau meninggal dunia. Ini menunjukkan bahwa bentuk keseriusan pemerintah untuk memperjuangkan hak keadilan bagi korban anak, meski bagaimanapun kondisi psikis dan fisik korban tidak akan bisa dikembalikan seperti sebelumnya. Namun, jenis hukuman ini cukup menjadi harapan bagi keberlanjutan hidup korban anak.

Selain jenis hukuman penjara, hukuman mati atau hukuman seumur hidup, pada Pasal 81 juga terdapat beberapa jenis hukuman lain yang akan ditetapkan bagi pelaku kekerasan seksual, yakni berupa 1) pengumuman identitas pelaku; 2) kebiri kimia; dan 3) pemasangan alat pendeteksi elektronik pada bagian tubuh pelaku. Ketiga jenis hukuman tambahan ini hanya berlaku jika pelaku memenuhi beberapa kriteria yang telah dipaparkan pada Pasal 81 Ayat (1), (3), (4), dan Ayat (5). Hal ini diperkuat oleh penggunaan verba [dapat dikenai pidana] yang muncul pada Pasal 81 Ayat (6) dan (7), bahwa pemilihan kata /dapat/ + /dikenai/ dalam merujuk pada bentuk keputusan hakim dan tuntutan jaksa, jika kriteria-kriteria pada ayat-ayat sebelumnya terpenuhi. Misalnya saja, hukuman tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi elektronik hanya diberikan jika korban anak lebih dari satu orang (pelaku pedofilia). Inipun disesuaikan kembali dengan hasil penyidikan, hasil tes fisik dan psikis, dan pertimbangan hakim., jika hasil tes kesehatan dimungkinkan untuk diberlakukan hukuman tambahan, maka hakim akan menjatuhkan hukuman tambahan itu setelah pelaku selesai menjalani pidana pokok. Begitu pula sebaliknya, jika hasil tes tidak memungkinkan untuk diterapkan, maka hukuman tambahan itu dapat diabaikan atau tidak termasuk dalam putusan akhir hukuman.

Apakah putusan-putusan demikian itu didasari oleh hak untuk hidup? Jika demikian, maka sejauh mana keadilan bagi korban anak? Lalu jika pun bunyi-bunyi pasal pada Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016 ini diberlakukan, kriteria dan kategori seperti apa yang dianggap memenuhi pengategorian tersebut sehingga hukuman tambahan berupa kebiri kimia, pengumuman identitas, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik benar-benar dapat diberlakukan tanpa pandang bulu, tanpa melihat status sosial, dan lain-lain? Bukankah hal inilah yang juga harus ditetapkan dan dipaparkan secara jelas agar setiap orang memahami hukum secara penuh demi keadilan yang diinginkan. Bahwa bahasa hukum seharusnya tidak mengandung ambiguitas dan kerancuan sebatas apa pasal A dapat diberlakukan atau tidak diberlakukan. Semua itu demi satu kata yang ingin diperoleh korban, yakni keadilan.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain bertema bahasa

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//