• HAM
  • Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Berhak Mendapat Perlindungan dan tidak Didiskriminasi

Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Berhak Mendapat Perlindungan dan tidak Didiskriminasi

Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) bukan semata-mata karena kesalahan dia sendiri, melainkan ada peran sistem yang gagal.

Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) di LPKA Kelas II Bandung sedang mengikuti pelatihan musik dan menikmati penampilan musik, Sabtu (8/4/2023). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

Penulis Dini Putri10 April 2023


BandungBergerak.idAnak berhadapan dengan hukum (ABH) mesti mendapatkan perlindungan khusus. Hak-hak mereka di bidang pendidikan, kesehatan, rehabilitasi sosial, dan terutama dalam sistem peradilan anak harus terpenuhi.

Mengutip dari laman Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), upaya-upaya perlindungan ABH harus berprinsip pada keadilan restoratif (restorative justice) yag menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan bagi pelaku tindak pidana dan korban.

Pengadilan anak yang menonjolkan penghukuman (retributif) dengan berparadigma penangkapan, penahaman, dan penghukuman penjara terhadap anak berpotensi merenggut kebebasan dan kemerdekaan anak yang akan berdampak bagi masa depan anak.

Untuk mengatasi problematika tersebut, Indonesia sudah memiliki UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) sebagai pengganti UU No.3 Tahun 1997. Namun, dalam implementasinya di lapangan, UU SPPA ini masih mengalami banyak kendala, belum semua perkara yang ditangani menggunakan pendekatan restoratif.

Keterbatasan sarana dan prasarana seperti jumlah LPKA, LPKS, LPAS, dan Bapas, juga UU SPPA yang belum dipahami secara komprehensif dan terpadu oleh para pemangku kepentingan masyarakat menjadi faktor penghambat.

Berangkat dari hal tersebut, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Barat yang sedang menjalankan Program Inklusi berkolaborasi dengan Geoff Max melakukan kegiatan pelatihan keterampilan ABH dan buka puasa bersama di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandung, Sabtu (8/4/2023).

Ajeng Komala dari PKBI Jawa Barat menerangkan, Program Inklusi ini sebagai bentuk upaya pemenuhan hak-hak dasar kaum marjinal terutama ABH yang sering kali terpinggirkan.

“Apa yang kami lakukan di program inklusi, kami melakukan pemenuhan hak-hak dasar yang selama ini tidak didapatkan oleh kaum-kaum marjinal, salah satunya anak-anak di LPKA Kelas II Bandung, atau anak-anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku,” terang Ajeng kepada BandungBergerak.id.

Ajeng melanjutkan, alasan PKBI memberikan perhatian dan kepedulian pada ABH (pelaku) karena sejatinya anak yang berposisi sebagai pelaku juga merupakan korban dari gagalnya sistem di dalam masyarakat.

“Karena pada dasarnya kami meyakini anak (sebagai) pelaku adalah korban, yang di mana selama ini mungkin banyak yang kita tidak ketahui mengapa anak bisa menjadi pelaku karena mereka adalah korban dari ketidakpedulian atau bobroknya sebuah sistem di dalam masyarakat, baik itu sistem pendidikan, sistem kebijakan, tidak adanya kepedulian masyarakat terhadap anak, lalainya orang tua untuk mengawasi anak,” katanya.

ABH masih sering kali mendapatkan stigma dan perlakuan diskriminatif dari masyarakat, yang pada akhirnya berdampak buruk bagi kelangsungan hidup mereka di masa mendatang. Upaya edukasi, sosialisasi, dan advokasi terhadap masyarakat terutama keluarga ABH perlu dilakukan.

Denisa selaku ketua program inklusi PKBI Jawa Barat menjelaskan, sejak 2017 pihaknya telah bekerja sama dengan DP3AB, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, dan lembaga-lembaga dan instansi terkait lainnya untuk memberi pemahaman kepada masyarakat tentang hak-hak ABH.

Baca Juga: MASALAH SAMPAH DI KOTA BANDUNG: Dibakar dengan Insinerator, Dikelola Perusahaan Terafiliasi Ormas
Sebelum Pagebluk, Ada Ratusan Ruang Kelas di Kota Bandung yang Rusak Berat
Bandung Membutuhkan 1 Juta Pohon agar Bisa Kembali Sejuk seperti Dulu

“Jadi kita pendampingan nantinya tidak hanya untuk anak-anak yang ada di sini, tapi kita juga mendampingi dan mengadvokasi anak-anak yang mejadi korban di luar sana. Makannya kenapa ada kolaborasi lintas stakeholder. Kenapa pada akhirnya kita juga ada pertemuan forum keluarga, forum lintas stakeholder gitu untuk kita mengadvokasikan, kita mendorong pemerintah untuk mensahkan (juga) membuat regulasi yang inklusif, terutama tidak meninggalkan dan mendiskriminasi teman-teman yang termarjinalkan,” kata Denisa.

Program ini dijalankan agar anak-anak yang selesai menjalani masalah hukum bisa berbaur dan diteruma di ranah sosial.

Ardi selaku Kepala Sub Seksi (Kasubsi) Pendidikan dan Bimbingan Kemasyarakatan (Bimkemas) LPKA Kelas II Bandung menjelaskan, LPKA memfokuskan pada kegiatan pendidikan, keagamaan, dan pelatihan keterampilan sebagai bentuk program pembinaan terhadap ABH. Hal tersebut guna membentuk perubahan perilaku dan bekal ketika anak sudah bebas dari LPKA dan diharapkan bisa memberikan kontribusi baik untuk masyarakat.

Ardi menghimbau agar tidak seharusnya ABH yang telah bergabung kembali dengan masyarakat mendapatkan perlakuan diskriminatif. Sebaliknya mereka harus mendapat dukungan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Ardi juga menerangkan, ABH yang sudah melewati masa rehabilitasi di LPKA berhak untuk melanjutkan pendidikan yang layak seperti anak-anak lainnya.

Gak masalah, yang penting kan syarat bisa dipenuhi. Apalagi sekarang kalau tidak salah sih tidak ada perbedaan dalam penerbitan SKCK, asal sudah ada rekomendasi sudah bisa dikeluarkan SKCK, inshaallah aman bisa melanjutkan (pendidikan). Jadi intinya tidak ada lagi perbedaan baik dia bekas narapidana, bekas anak binaan, dengan orang yang tidak pernah melakukan tindak pidana,” tuturnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//