• Opini
  • Bagaimana Proses Hukum Pidana bagi Anak yang Terlibat Kriminalitas?

Bagaimana Proses Hukum Pidana bagi Anak yang Terlibat Kriminalitas?

Seorang anak yang melakukan tindakan pidana di Indonesia tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum pidana, dengan kriteria khusus yang harus dipenuhi.

Muthia Nurkhalisha

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Pengadilan Negeri Bandung, Jalan Riau, Kota Bandung, 2022. Pengadilan sebagai tempat untuk mencari kebenaran hukum. (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

22 Juli 2022


BandungBergerak.idSeorang anak di dalam hidupnya tentunya memiliki keluarga yang membesarkan dirinya dari kecil hingga dewasa, yang membimbing dia hingga mencapai impiannya. Akan tetapi di dalam perjalanan itu seorang anak perlu mempunyai teman, karena sebagai seorang manusia tidak ditakdirkan hidup sendirian dan pada hakikatnya manusia adalah mahluk sosial.

Mahluk sosial di sini menurut pendapat Liturgis mengatakan, “Makhluk sosial merupakan makhluk yang saling berhubungan satu sama lain serta tidak dapat melepaskan diri dari hidup bersama”. Maka seorang anak, selain mempunyai keluarga, perlu mempunyai teman. Dengan mempunyai teman, anak akan merasakan ketenangan apabila dia sedang merasa kesusahan dan tempat dia membagi kebahagiaan dan juga tempat yang nyaman untuk bercerita hal-hal yang dirasakan olehnya dan pertemanan yang baik itu adalah teman yang selalu membimbing kita untuk berada di jalur yang tepat.

Akan tetapi ada juga teman yang dapat membawa kita kepada jalur yang tidak benar atau bisa disebut sebagai pergaulan bebas. Dalam artian, pergaulan bebas berupa perilaku menyimpang yang mana “bebas” yaitu perilaku yang melewati batas norma-norma [Yusuf Abdullah,” Bahaya Pergaulan Bebas” (Jakarta : Media Dakwah, 1990) halaman 142].

Penyebab seorang anak terjerumus pergaulan bebas menurut ahli patologi sosial, Kartini Kartolo, adalah kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi. Kemajuan ini memberikan kemudahan pada masyarakat, akan tetapi di lain sisi juga dapat menimbulkan kesulitan, yaitu sulit untuk melakukan proses adaptasi yang menyebabkan seseorang memiliki kecemasan dalam dirinya dan mengakibatkan dia berbuat nekat menciptakan konflik-konflik yang bersifat internal dengan batinnya sendiri.

Kemajuan teknologi juga menyebabkan konflik bersifat eksternal, di mana manusia cenderung melakukan tingkah laku yang menyimpang dari pola yang sudah diatur dan melakukan tindakan untuk kepentingannya sendiri. Parahnya, manusia bisa nekat melakukan perbuatan yang dapat merugikan masyarakat [Aisyah, “Dampak Negatif Pergaulan Bebas Terhadap Generasi Muda Menurut Tinjauan Pendidikan Islam”, Skripsi, (Makassar : UIN, 2013) halaman 42].

Perbuatan yang dapat merugikan masyarakat adalah perbuatan yang berujung melakukan tindak pidana, seperti membunuh, mencuri, melakukan penganiayaan, pemerkosaan, dan lain sebagainya.

Kita mengetahui jika seseorang melakukan tindak pidana atau perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian besar dalam masyarakat, maka akan diberikan sanksi pidana kepadanya. Apabila seseorang terbukti  melakukan tindak pidana, dia harus menerima konsekuensi dengan apa yang sudah diperbuat yaitu dengan menerima pertanggungjawaban.

Oleh karena itu, orang dikatakan mampu bertanggung jawab adalah orang yang dirinya tidak memiliki kecacatan dalam tubuh, atau jiwanya yang terganggu penyakit. Berdasarkan syarat yang tertera di atas, menurut saya apabila seseorang tidak mempunyai keduanya maka dianggap dapat bertanggung jawab. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan di sini adalah bagaimana jika seorang anak yang melakukan tindak pidana tersebut? Apakah dia akan tetap dimintakan pertanggungjawaban atau pertanggungjawaban itu akan hilang  karena dia masih seorang anak? Dan, bagaimana proses pemidanaannya?

Tindak Pidana Anak

Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan strafbaar feit adalah apabila seseorang melakukan perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum maka dia akan diancam dengan sanksi pidana [Nurul Irfan Muhammad “Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah”, (Jakarta:Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), halaman 31]. Diperkuat oleh pendapat Van Hattum yang mengatakan bahwa seseorang dapat diadili apabila dirinya telah memenuhi unsur-unsur pada delik [Van Hattum,Hand-en Leerboek I, halaman 112].

Syarat  pokok yang harus dipenuhi seseorang untuk bisa dikatakan bahwa dirinya melakukan tindak pidana adalah yang pertama terpenuhi semua unsur dari delik seperti yang sudah tertera pada rumusan delik, yang kedua pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah dia lakukan, ketiga tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut harus dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja, keempat apabila syarat-syarat yang sebelumnya ini semua terpenuhi oleh pelaku maka dia dapat dihukum dan dirinya dapat dikenai sanksi pidana [P.A.F Lamintang “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2013), halaman 187].

Maka apabila seseorang telah terbukti memenuhi semua syarat-syarat yang ada di atas, maka seseorang dapat dihukum meskipun dia masih berstatus seorang anak sekalipun. Apabila dia memenuhi syarat-syarat tindak pidana ini, maka dia harus tetap dijatuhi hukuman.

Seperti telah disinggung, orang yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana hanya orang yang memiliki jiwa yang cacat dalam tubuhnya dan jiwanya terganggu. Penyakit di sini adalah haruslah benar-benar penyakit yang menyebabkan cacat dalam tubuhnya dan mengakibatkan jiwanya terganggu dan penyakit ini dapat dibuktikan kepada ahli dalam bidang psikologis [Moeljatno,”Asas-Asas Hukum Pidana”(Jakarta:Rineka Cipta,2017) halaman 178].

Contoh penyakit yang dimaksud yaitu seperti penyakit kleptomania yaitu penyakit yang di mana seseorang mempunyai kecenderungan untuk mencuri, akan tetapi barang yang dicuri oleh mereka adalah barang-barang yang tidak berharga tidak seperti pencurian kriminal yang mencuri barang berharga dan mempunyai bernilai tinggi dan penderita kleptomania ini tidak menggunakan barang curian itu [Yelvi Levani, Aldo Dwi Prastya.”Kleptomania: Manifestasi Klinis dan Pilihan Terapi”(Surabaya: Universitas Muhammadiyah Surabaya,2019) halaman 33].

Selanjutnya, ada claustrophobia adalah fobia apabila seseorang mengalaminya akan merasakan cemas dan khawatir jika berada di ruangan sempit seperti berada di dalam lift, kendaraan umum, mereka akan menghindari tempat-tempat berikut karena keresahan [Rizki Arif Darmawan,Dodi Pernadi,”Modeling Virtual Reality Menggunakan Blender Dan Unity Untuk Terapi Claustrophobia”(Depok: Universitas Gunadarma,2018) halaman 47].

Hakim pada saat itu juga pasti akan memerintahkan seseorang untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa tersebut sekalipun itu tidak diminta oleh terdakwa hakim akan tetap memerintahkannya.

Apabila hasilnya terbukti memiliki gangguan kejiwaan, maka seseorang tersebut dinyatakan tidak mampu bertanggung jawab sehingga kesalahan pada dirinya dihapuskan dan pidana tidak dapat dijatuhkan kepada dirinya.

Maka apabila seorang anak tidak terbukti memiliki penyakit yang mengganggu jiwanya dan ternyata dia dinyatakan sehat secara jiwanya, tidak memiliki kecacatan, dia akan dimintakan pertanggungjawaban.

Akan tetapi pertanggungjawaban yang diberikan untuk orang dewasa dan untuk seorang anak berbeda. Apabila pertanggungjawaban seorang anak diatur dalam Undang-Undang no 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di sana menjelaskan bahwa seorang anak akan tetap dimintakan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tindakannya. Namun karena status dia masih seorang anak maka akan disesuaikan dengan usianya..

Pasal 1 ayat 3 menjelaskan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, akan tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.[10]

Dijelaskan pada Pasal 3 UU ini menjelaskan jika setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak di antaranya:

  1. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
  2. Dipisahkan dari orang dewasa;
  3. Melakukan kegiatan rekreasional;
  4. Bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, dan juga (Aisyah, 2013) merendahkan derajat dan martabatnya;
  5. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; dan
  6. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya akhir dan penjara tersebut harus dalam waktu yang singkat.

Lalu dijelaskan pada Pasal 21, jika seorang anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka akan menyerahkan kembali anak itu kepada kedua orangtuanya atau walinya atau dengan cara memasukkannya ke dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintahan.

Diharapkan dengan mengikuti program-program tersebut seseorang dapat belajar dan menyesali perbuatan yang telah dia lakukan, karena seperti kita tahu bahwa masa depannya masih akan panjang. Program tersebut akan menjadi anak yang bisa membanggakan kedua orang tuanya dan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan negara.

Terakhir, untuk menjawab bagaimana proses pemidanaan pada seorang anak dapat kita lihat pada Pasal 71 yang menjelaskan jika pidana pokok bagi seorang anak terdiri atas: a. Pidana peringatan; b. Pidana dengan syarat; 1) Pembinaan di luar lembaga, 2) Pelayanan masyarakat; 3) Pengawasan; c. Pelatihan kerja; d. Pembinaan dalam lembaga; e. Penjara.

Baca Juga: Hukum Indonesia Memandang Sebelah Mata Hukum tidak Tertulis (Hukum Adat)
Belum Maksimalnya Perlindungan Hukum terhadap Korban Bullying
Mengapa Pengguna Jasa Prostitusi Online di Indonesia selalu Lolos dari Jerat Hukum?

Pidana Anak Berbeda dengan Dewasa

Seorang anak yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana mereka akan tetap dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dirinya lakukan. Jika seorang anak yang di bawah umur tersebut terbukti melakukan tindak pidana, maka ia akan diberikan ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

Terakhir, bentuk pertanggungjawaban yang diberikan kepada seorang anak jika mereka melakukan tindak pidana adalah selama masa peradilan, ia tidak akan sendiri menjalankannya sendiri karena akan ditemani kedua orangtua atau wali yang seorang anak itu percaya. Karena dia masih berstatus seorang anak, hukuman yang diberikan tidak boleh berupa pidana mati, pidana seumur hidup, dan untuk penjara haruslah  merupakan upaya paling terakhir dan harus dalam waktu singkat.

Dapat diambil kesimpulan bahwa hukum di negara kita tidak memandang bulu kepada siapa pun. Pelaku masih berstatus seorang anak sekali pun apabila terbukti melakukan tindakan pidana maka dia harus menerima pula pertanggungjawaban atas tindakan yang telah dia lakukan, yaitu dengan mendapatkan hukuman yang patut kepada dirinya. Meski demikian, seperti yang dijelaskan di atas, hukuman yang diberikan untuk anak akan berbeda dengan orang dewasa.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//