• Nusantara
  • Anak di Tengah Pandemi Covid-19 Rentan Menjadi Korban dan Minim Mendapatkan Perlindungan

Anak di Tengah Pandemi Covid-19 Rentan Menjadi Korban dan Minim Mendapatkan Perlindungan

Kasus anak kehilangan orang tua yang meninggal karena Covid-19 sangat tinggi. Selain itu, kekerasan pada anak juga meningkat, termasuk di Bandung, Jawa Barat.

Anak-anak SD menanti giliran mendapat suntik vaksin Covid-19 di halaman Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, Bandung, Kamis (6/1/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Delpedro Marhaen26 Februari 2022


BandungBergerak.idDalam situasi pagebluk Covid-19 anak merupakan salah satu kelompok paling rentan yang menerima dampak cukup besar. Mulai dari perubahan sistem pendidikan, ancaman terpapar, hingga kehilangan orang tua yang meninggal karena Covid-19. Perlindungan pun minim mereka dapatkan.

Child Protection Advisor dari Save The Children, Zubedy Koteng mengatakan resiko sangat tinggi yang diterima anak di masa pandemi Covid-19 adalah kematian. Resiko tinggi selanjutnya potensi anak kehilangan orang tua. Kemudian resiko menengah berupa keterpisahan sementara anak dengan orang tua dan masalah psikososial yang dialami anak.

Zubedy mengatakan kasus anak kehilangan orang tua yang meninggal karena Covid-19 sangat tinggi. Data per 22 Februari 2022 mencatat lebih dari 35 ribu anak jadi yatim piatu karena Covid-19. Sebanyak 17.717 anak perempuan dan 18.213 anak laki-laki.

“Bahwa ada resiko tinggi yang terjadi pada kelompok anak yang menjadi yatim piatu. Mereka perlu mendapatkan perhatian khusus, apalagi terhadap anak-anak yang juga terpapar,” kata Zubedy dalam Forum Editor Meeting mengenai Tantangan Isu Perlindungan Anak selama Pandemi Covid-19 pada Kamis, (24/02/2022).

Pemantauan yang dilakukan Save The Children menemukan kasus di mana anak mengalami kecemasan yang meningkat, menyendiri, hingga pada depresi akibat terdampak Covid-19, sampai pada kehilangan orang tua. Kemudian dari layanan hotline yang disediakan Save The Children ditemukan kasus anak mengalami keresahan, kebingungan, kesulitan beradaptasi, kesedihan, hingga keinginan bunuh diri.

Sementara itu, Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar, mengatakan ada delapan isu mengenai perlindungan anak di masa pandemi Covid-19. Pertama, kata Nahar, mengenai isolasi sosial yang membuat anak memiliki waktu lebih lama di rumah karena sekolah ditutup. Hal ini kemudian memunculkan letupan masalah lain di dalam keluarga.

Kedua, peningkatan aktivitas online menjadi pintu masuk bagi kejahatan seksual secara digital terhadap anak, seperti grooming, sexting, dan bentuk daring lainnya. Ketiga, adanya bentuk ketakutan, kebingungan, dan kesulitan dalam beradaptasi terhadap situasi abnormal atau tidak stabil berkepanjangan. Keempat, peningkatan interaksi dengan kekerasan dalam relasi keluarga.

Kelima, terjadi hambatan terhadap pengasuhan yang disebabkan oleh kematian, karantina, atau isu-isu rumah tangga. Keenam, terkait kekhawatiran ekonomi dan kemiskinan. Ketujuh, gangguan pelayanan kesehatan, pendidikan, administrasi sipil dan pelayanan dasar lain.

Kedelapan, ketidakmampuan untuk menghindari kekerasan dalam rumah tangga. Pandemi Covid-19 telah membuat banyak anak korban kekerasan terjebak di rumah masing-masing dan tidak mendapat pertolongan.

Baca Juga: Suatu Sore Bersama Jihan dan Ziddan
Ruang-ruang Sunyi Pasien Isolasi Mandiri
Kekerasan Seksual Menimpa 12 Santriwati Anak di Bandung

Jadi Korban Kekerasan hingga Terpaksa Bekerja

Persoalan lainnya, kata Zubedy, ada lebih dari 50 persen orang tua yang mengalami penurunan pendapatan atau bahkan kehilangan pekerjaan. Tekanan tersebut kemudian mempengaruhi pola asuh orang tua kepada anak cenderung menjadi negatif. Hal ini berdampak pada meningkatnya risiko kekerasan terhadap anak di masa pandemi Covid-19.

“Ada praktik-praktik negatif pengasuhan yang dilakukan orang tua akibat tekanan-tekanan ekonomi yang dialami selama pandemi Covid-19 ini,” ujar Zubedy.

Menurut data Kemen PPPA, jumlah kekerasan terhadap anak pada 2019 sebanyak 11.057 kasus terdiri dari kekerasan fisik 3.401 kasus; kekerasan psikis 2.527 kasus; seksual 6.454; eksploitasi 106 kasus; tindak pidana perdagangan orang (TPPO) 111 kasus; penelantaran 850 kasus; dan kasus kekerasan lainnya 1.065 kasus.

Di tahun 2020, tahun pertama pandemi Covid-19, jumlah kekerasan terhadap anak meningkat menjadi 11.278 kasus. Di antaranya kekerasan fisik 2.900 kasus; psikis 2.737 kasus; kekerasan seksual 6.980 kasus; eksploitasi 133 kasus; TPPO 213 kasus; penelantaran 864 kasus; dan kasus kekerasan lainnya sebanyak 1.121.

Terbaru pada Januari 2021-Februari 2022, jumlah kekerasan pada anak sebanyak 14.517 kasus. Di antaranya terdapat 15.971 anak yang jadi korban. Khusus di masa Covid-19, terdapat 2 dari 10 anak laki-laki berusia 13-17 tahun mengalami satu jenis kekerasan atau lebih pada masa Covid-19. Kemudian 3 dari 10 anak perempuan berusia 13-17 tahun mengalami hal yang serupa.

Kondisi tersebut juga memaksa anak-anak kehilangan masa pendidikan. Tuntutan ekonomi mengharuskan mereka bekerja atau ikut bersama orang tua. Data Save The Children mencatat sebanyak 40 persen anak yang berstatus sekolah diajak ke kebun untuk bekerja ketika jam belajar mengajar berlangsung.

“Anak juga berisiko terpapar Covid-19 atau dampak penyakit lain karena bekerja di kebun. Pekerjaan tersebut juga dikategorikan berbahaya untuk anak menurut konvensi ILO. Ada resiko terhadap kesehatan anak, seperti penyemprotan tanaman menggunakan pestisida tanpa pelindung, mencuci alat-alat yang berpotensi membuat mereka terpapar, dan menggunakan alat tajam membuat jadi cedera. Dan ada juga yang melebih ketentuan bekerja lebih dari 3 jam, itu di atas batas kemampuan anak-anak,” ujar Zubedy.

Zubedy juga menegaskan agar anak-anak jangan dilihat ketika sudah menjadi korban, tetapi masyarakat diminta memahami risiko dan indikasi yang akan mengarah ke bahaya. Hal ini, katanya, yang menjadi fokus perhatian dalam upaya pencegahan dan penangan terhadap perlindungan anak.

Kekerasan pada Anak di Bandung, Jawa Barat

Di Kota Bandung, tercatat di sepanjang tahun 2020 ada 431 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bandung. Artinya, di tahun pagebluk ini terjadi penambahan 181 kasus dari jumlah total kasus di tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 250 kasus.

Ke-431 kasus kekerasan terhadap anak di sepanjang 2020 itu di antaranya terdiri dari 155 kasus kekerasan psikis, 69 kasus pelecehan sosial, dan 55 kasus kekerasan fisik. Di bidang pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat merilis ada sekitar 4 juta anak sekolah di Jawa Barat pada tahun 2020. Angka putus sekolahnya mencapai 6.030 anak pada tahun yang sama. Sebanyak 5.157 di antaranya terjadi di sekolah negeri, 873 anak dari sekolah swasta.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//