• Opini
  • Fenomena Bahasa Jaksel Menggerus Cara Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar?

Fenomena Bahasa Jaksel Menggerus Cara Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar?

Jujurly dan semua kata slang lainnya akrab dituturkan anak-anak muda. Fenomena campur kode ini dapat menggerus cara berbahasa Indonesia.

Febrian

Alumni S-2 Ilmu Linguistik Universitas Sebelas Maret, aktif secara mandiri menulis tentang gender dan bias-bias gender

Zulfa Nasrulloh membacakan pidato Sukarno berjudul Ilmu dan Anak Zaman dalam acara Jalan Hidup di depan Toko Buku Bandung, Selasa (6/6/2023). (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

14 Juli 2023


BandungBergerak.idPernahkah anda mendengar kata Jujurly, FOMO, hidden gem, basically,dan semua kata-kata yang berakhiran imbuhan –ly dalam bahasa Indonesia. Semua tahu bahwa slang-slang dengan susunan kata yang mirip seperti bahasa asing ini sering sekali digunakan pada saat bertutur. Faktanya, kata-kata ini sebenarnya menjadi hal yang sangat familiar di telinga kalangan anak muda. Lantas mengapa? Jika boleh bertanya, bisakah fenomena ini dapat mengganggu eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu? Atau jika boleh lebih serius, bisakah fenomena ini dapat menggerus cara berbahasa Indonesia yang baik di kalangan generasi muda?

Bahasa Jaksel adalah sebuah fenomena campur kode bahasa yang sering terjadi dalam sebuah percakapan dalam peristiwa tutur. Dalam penggunaannya, bahasa Jaksel biasanya mencampur dua bahasa berbeda antara bahasa asing dan bahasa Indonesia dalam bentuk tulisan maupun tuturan. Tak jarang, biasanya muncul beberapa kata yang digunakan berdasarkan susunan dari bahasa asing itu sendiri. Seperti kata jujurly yang berasal dari kata honestly dengan mengganti morfem honest menjadi jujur lalu ditambah imbuhan –ly di belakangnya. Sampai di sini apa yang menjadi permasalahan mendesaknya?

Fenomena campur kode atau yang sering dikenal dengan istilah code mixing dalam kajian bahasa merupakan suatu fenomena yang lazim terjadi. Pakar sosiolinguistik (Wijana: 2019) mendefinisikan campur kode sebagai penggunaan dua jenis kode bahasa atau lebih dalam satu tuturan dengan fungsi peralihan yang tidak jelas. Bisa digarisbawahi bahwa fungsi peralihan yang tidak jelas di sini memiliki beberapa arti. Biasanya penutur secara sadar tidak mengetahui fungsi masing-masing pencampuran kode yang dilatarbelakangi oleh beberapa alasan seperti penghormatan kepada orang lain, berkelakar, hadirnya orang ketiga dalam percakapan, atau hanya sekadar bergaya, gengsi, dan haus validasi.

Jika memang faktor dari fenomena tersebut dilatarbelakangi oleh rasa gengsi, maka saya katakan itu merupakan suatu alasan bodoh dalam menggunakan bahasa pada peristiwa tutur yang tepat? Mengapa demikian? Ketika suatu komunitas dalam peristiwa tutur semuanya menggunakan bahasa Indonesia, saya rasa tanpa basa-basi kita wajib menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar pula. Dengan kata lain, tidak terjadinya pencampuran bahasa dalam peristiwa tutur tersebut dengan menggunakan istilah asing yang sulit dipahami oleh mitra tutur kita.  

Tahun lalu, saya pernah mengikuti sebuah kegiatan kuliah pakar. Seorang profesor dari Jerman, saat itu membahas sebuah materi tentang kesantunan berbahasa. Saya terkejut saat dia lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dari awal hingga acara tersebut selesai. Saya kagum, mengapa profesor tersebut memilih menggunakan bahasa Indonesia yang saya rasa untuk ukuran seorang penutur bahasa asing, bahasa Indonesia yang ia gunakan cukup baik. Tak sampai di situ, bahasa Inggris sebagai bahasa universal pun jarang saya dengar ketika ia memperesentasikan materinya.

Kita tahu bahwa perbedaan kebudayaan terkait kesantunan antara Indonesia dan Jerman menjadikan saya sedikit bertanya-tanya, bagaimana bisa orang Jerman asli lebih memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar diskusi. Sementara itu, kita tahu bahwa sedikit banyak orang-orang merasa cool ketika menggunakan bahasa asing. Persepsi ini membuat saya yakin bahwa profesor tersebut lebih memilih menghormati audiens sesuai yang diajarkan dalam pragmatik dan sosiolinguistik bahwa peralihan penggunaan bahasa disesuaikan dengan kemampuan bahasa yang dimiliki oleh mitra tutur dalam masyarakat tutur secara mayoritas.

Saat itu, ada sebuah pertanyaan yang mengharuskan ia menjawab tentang keheranan saya padanya. Alasannya, ia ingin melatih bahasa Indonesianya dan seluruh audiens dalam seminar tersebut adalah orang-orang yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama guna menghormati bahasa mereka. Namun, hal tersebut berlaku jika memang penutur memahami bahasa yang digunakan secara mayoritas dalam komunitas tersebut. Lantas pesan apa yang bisa diambil?

Saya rasa sudah jelas bahwa fenomena campur dan alih kode merupakan dua hal yang sangat berbeda baik dari fungsi dan definisinya. Secara tersirat profesor tersebut menyampaikan bahwa identitas bahasa sangat melekat dalam diri penggunanya, dan bagaimana kita secara bijak menggunakan bahasa itu dalam situasi yang tepat pula.

Baca Juga: Masih Adakah Kesetaraan bagi Lelaki Feminin?
Pendidikan dan Politik Bahasa, Sekolah sebagai Mitos Juru Selamat?
Bahasa Prokem dan Eksistensi Bahasa Indonesia

Merusak secara tidak Langsung

Bisakah saya mengatakan bahwa fenomena bahasa Jaksel dapat menggerus cara berbahasa Indonesia yang baik di kalangan anak muda? Saya rasa iya, hal tersebut juga dijelaskan dalam buku (Wijana: 2019) bahwa campur kode dalam suatu percakapan dapat menyebabkan terjadinya interferensi bahasa yang diakibatkan oleh penguasaan dua bahasa pada waktu yang bersamaan karena pengaruh struktur bahasa pertamanya. Meskipun efeknya tidak dirasakan langsung, namun pernahkah kita berfikir bahwa hal tersebut dapat menggerus cara berbahasa Indonesia yang baik di kalangan generasi muda nantinya.

Selain itu, hal tersebut juga dapat berpengaruh terhadap kesantunan berbahasa seseorang. Dalam beberapa peristiwa, penggunaannya dapat memberikan kesan tidak santun ketika berbicara dengan lawan tuturnya. Hal tersebut dikarenakan penggunaan campur kode dalam tujuan dan waktu yang tidak tepat dapat memberikan kesan penilaian yang negatif dari lawan bicaranya.

Sebenarnya, undang-undang nomor 63 tahun 2019 telah menetapkan secara hukum perihal penggunaan bahasa Indonesia. Undang-undang tersebut mengatur kewajiban bagi setiap warga negaranya untuk menggunakan bahasa Indonesia sesuai tata bahasa dan kaidah yang benar. Seperti pada lembaga institusi, pendidikan, saat pidato nasional, dan internasional bahkan acara non-formal sekalipun.

Lantas setelah tahu bahwa penggunaan campur kode bahasa dapat memberikan dampak negatif pada seseorang, akankah hal tersebut dapat mengubah cara berbahasa kita secara benar? Tentu tidak, bahkan dalam beberapa platform media sosial, fenomena ini dijadikan sebagai bahan materi pembelajaran. Materi tersebut membahas tentang bagaimana kita bisa beradaptasi dan merasa gaul ketika berkomunikasi dengan menggunakan istilah asing dalam campur kode bahasa. Tentunya platform tersebut tidak mencantumkan bagaimana sebenarnya fungsi slang atau campur kode bahasa ini digunakan dalam kondisi dan waktu yang tepat.

Tulisan ini bukan secara mentah melarang kita untuk menggunakan bahasa asing dalam sebuah komunikasi dan percakapan. Tapi lebih tepatnya, bisakah kita menggunakan bahasa asing atau istilah gaul dengan porsi dan waktu yang tepat untuk menampilkan identitas kita melalui penggunaan bahasa yang baik dan benar. Perlu kita garisbawahi dengan teliti bahwa definisi secara umum tentang alih kode dan campur kode adalah dua hal yang sangat berbeda dari jenis, bentuk dan fungsinya.  

Jujur, sebagai mahasiswa bahasa saya tidak bisa memberikan banyak kontribusi untuk mengubah pandangan seseorang agar ia menjadi pengguna bahasa Indonesia yang baik. Namun, tulisan ini mengingatkan kita pada isi sumpah pemuda baris ketiga yang berbunyi “KAMI PUTRA-PUTRI INDONESIA MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN BAHASA INDONESIA”. Secara mutlak, kita berjanji untuk mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sebagai bahasa persatuan kita.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//