• Kolom
  • Arteria Dahlan dan Posisi Bahasa Daerah yang sudah Tersudut

Arteria Dahlan dan Posisi Bahasa Daerah yang sudah Tersudut

Keberadaan bahasa daerah di Indonesia dijamin undang-undang yang dibikin pemerintah bersama DPR--tempa Arteria Dahlan bekerja sebagai wakil rakyat.

Iman Herdiana

Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Anak-anak SD membaca buku di mobil Ayo Membaca Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Bandung, Sabtu (4/12/2022). Pendidikan menjadi solusi untuk melestarikan bahasa daerah. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

21 Januari 2022


BandungBergerak.idArteria Dahlan, politikus yang kerap mencuri perhatian, kali ini kembali menjadi sorotan karena ucapan kontroversialnya tentang bahasa Sunda. Belakangan ia telah meminta maaf. Namun ucapannya terlanjur memicu beragam reaksi warga Jawa Barat, provinsi berpenduduk sekitar 50 juta jiwa yang selalu menjadi lumbung suara di setiap pemilu.

Bahkan tagar politis buntut dari pernyataan Arteria Dahlan sempat trending di Twitter. Tetapi tulisan ini tidak akan masuk ke ranah politik, apalagi mengulas sepak terjang Arteria Dahlan. Tentu tidak. Tulisan ini ingin memotret kondisi bahasa daerah sendiri yang setiap tahunnya merana dan mungkin tak satu pun partai politik yang peduli.

Sudah lama fakta bahwa bahasa-bahasa daerah berjatuhan menuju kepunahan. Tahun 2013, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengumumkan temuan memilukan bahwa dari 700 lebih bahasa daerah yang ada di Indonesia, tinggal sembilan saja yang bertahan dalam wujud lisan dan tulisan. 

Temuan ini menjadi lonceng peringatan akan kematian bahasa-bahasa daerah. Banyak kalangan merisaukannya, tak terkecuali pemerintah pusat sampai daerah, mungkin juga DPR—tempat politikus seperti Arteria Dahlan bekerja sebagai wakil rakyat. Namun setelah itu, sepi kembali. Sementara generasi yang lahir di bumi Indonesia terus tercerabut dari bahasa ibunya.

Menurut dosen bahasa daerah Universitas Pendidikan Indonesia, Dingding Haerudin, ramalan kematian bahasa daerah sebenarnya sudah muncul jauh sebelum penelitian LIPI. Solusinya pun sudah ada, yaitu memasukkan bahasa daerah ke dalam pendidikan formal. Selain pendidikan, tidak ada cara lain yang mampu menyelamatkan bahasa daerah. “Kalau tidak diajarkan di sekolah, di mana lagi anak-anak bisa belajar bahasa daerah?” kata Dingding (Majalah Gatra, 2013).

Bahasa daerah yang terancam punah lebih banyak berada di luar pulau Jawa mengingat jumlah penggunanya yang sedikit. Karena itu, Dinding berharap, bahasa daerah dijadikan muatan lokal di sekolah-sekolah di tiap pulau di Indonesia, di tiap kecamatan, bahkan kelurahan. Namun strategi ini tidak mudah. Sebab untuk menjadikan bahasa daerah sebagai muatan lokal membutuhkan dana sangat besar dan sumber daya manusia melimpah. Apakah pemerintah berani mengambil resiko biaya besar itu?

Faktanya, di Kurikulum 2013 bahasa daerah justru digabungkan dengan mata pelajaran seni-budaya, tidak dalam mata pelajaran tersendiri. Padahal seni-budaya dan bahasa memiliki disiplin dan materi berbeda yang tak bisa diajarkan dalam satu mata pelajaran yang lamanya paling banter dua jam seminggu. Guru seni belum tentu menguasai konsep bahasa, begitu juga sebaliknya. Jadinya, Kurikulum 2013 pun terkesan menganaktirikan bahasa daerah. 

Baca Juga: Unpad Telaah Fenomena Kata ‘Aing’ dalam Percakapan Bahasa Indonesia
Koalisi Masyarakat Penutur Bahasa Sunda: Pernyataan Arteria Dahlan Mencederai Kebebasan Berekspresi
Pergeseran Posisi Perempuan Sunda dalam Bahasa dan Mitologi

Kecelakaan Sejarah

Posisi bahasa daerah yang ironis itu juga menjadi catatan kritis budayawan Sunda, (almarhum) Ajip Rosidi. “Pelajaran bahasa – Indonesia dan daerah – di sekolah-sekolah sangat kurang memadai,” kata pendiri Yayasan Rancage yang saban tahun memberikan penghargaan kepada penulis-penulis bahasa daerah (bukan Sunda saja).

Ajip Rosidi pernah menyoroti minimnya jumlah guru yang cakap mengajarkan bahasa daerah, sampai kurangnya buku ajar maupun bacaan. Ia juga sepakat jika yang bertanggung jawab dan memiliki kuasa menyelamatkan bahasa daerah ialah negara melalui pemerintah sebagaimana ditegaskan Pasal 36 UUD, bahwa bahasa daerah “Merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.” Sedangkan di “Pasal 32 ditegaskan bahwa negara berkewajiban memajukan kebudayaan bangsa” (Pikiran dan Pandangan Ajip Rosidi, Pustaka Jaya, April 2016).

Perlu diketahui, bahwa undang-undang dibentuk pemerintah bersama DPR yang —lagi-lagi— tempat kerjanya para politikus dari berbagai partai politik, sehingga jika masih muncul pernyataan minor tentang bahasa daerah dari anggota wakil rakyat, sungguh bertentangan dengan regulasi yang mereka bikin sendiri.

Berkaca dari sejarah, bahasa daerah memiliki peran besar dalam membuka alam pikiran para pendahulu bangsa. Bung Karno yang gemar wayang kulit, di masa kecilnya tentu dibesarkan dengan bahasa ibu, bahasa Jawa, mengingat waktu itu bahasa Indonesia masih sebuah embrio. Lewat bahasa ibu pula, Sukarno dan rekan sezamannya mengetahui bahwa negerinya sedang dijajah.

Kelahiran bahasa Indonesia sendiri tak lepas dari dukungan bahasa-bahasa daerah. Menurut Remy Sylado, bahasa Indonesia banyak menyerap kosakata dari bahasa asing maupun daerah. Genom bahasa Indonesia, yaitu bahasa Melayu, pertama kali diperkenalkan VOC Belanda di Hindia Belanda pada abad ke-19. Varian dari bahasa Austronesia tersebut kemudian tumbuh menjadi bahasa pasar yang dipungut bangsa Indonesia menjadi bahasa persatuan. Lewat bahasa persatuan inilah Sumpah Pemuda mendefinisikan musuh bersama dalam istilah yang ringkas: kolonialisme, kata yang diserap dari kata asing, colony (Pikiran Rakyat, “Bahasa Kerancuan dan Keindonesiaan”, 21 Juli 2013).

Namun, sejarah tak berjalan lurus. Ajip Rosidi mencatat suatu “kecelakaan sejarah” yang membuat bahasa daerah terpojokkan. Ini terjadi di masa revolusi (1945-1950) di mana butir ketiga Sumpah Pemuda sering disampaikan salah kutip. Butir yang seharusnya berbunyi “Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” berubah menjadi “Mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia” (Pikiran dan Pandangan Ajip Rosidi, Pustaka Jaya, April 2016).

Kutipan ini bisa menimbulkan salah tafsir dan menomorduakan bahasa daerah. Bahkan “kecelakaan” sejarah itu membuat bahasa daerah dihinggapi prasangka, sebagai ancaman terhadap bahasa nasional. Namun Ajip menegaskan, anggapan demikian jelas keliru, karena sejak menyusun Sumpah Pemuda (1928) dan UUD’45 tak ada satu pun bahasa daerah di Indonesia yang berpotensi menjadi bahasa nasional menggantikan bahasa Indonesia. “Bahkan bahasa Jawa yang paling banyak penuturnya pun tidak.” (Pikiran dan Pandangan Ajip Rosidi, Pustaka Jaya, April 2016).

Akan tetapi sulit memperbaiki kesalahpahaman yang sudah tertanam kuat di kepala. Timbulnya berbagai pemberontakan di berbagai daerah di masa revolusi seakan menjadi pembenaran prasangka itu. Dalam perkembanganberikutnya, muncul anggapan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional lebih tinggi dari bahasa daerah—anggapan ini pula yang bisa jadi tertanam di benak para elit kita, sehingga muncul pernyataan kontroversial yang tidak menghormati keberagaman dan jasa bahasa daerah dalam membangun keindonesiaan ini.

Karena bukankah Indonesia ini dibentuk oleh orang-orang daerah? Bahkan sebelum ada nama “Indonesia”, orang-orang daerah inilah, dengan bahasa-bahasa mereka yang khas, berjuang membidani lahirnya Indonesia, berjuang membentuk persatuan Indonesia, dan sepakat memakai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.

Jadi, sudah jelas Indonesia ada karena (bahasa) daerah. Subjek manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa, kata filsuf postrukturalisme Jacques Lacan (Postrukturalisme dan Posmodernisme, Madan Sarup, 2008). Betapa terhormatnya peran bahasa sehingga Martin Heidegger mengatkaan bahwa bahasa adalah “sangkar ada”. Saya dan Arteria Dahlan ada di Indonesia karena para pejuang daerah di zaman dahulu. 

Menurut Ajip Rosidi, bahasa Indonesia, terutama dialek Jakarta, sangat dipopulerkan media massa cetak-elektronik. Di sisi lain, bahasa daerah kian langka terdengar atau terbaca. Jarang siaran rado ataupun televisi yang berbahasa daerah demikian juga majalah dan buku, apalagi surat kabar. Kondisi tersebut terus berjalan di era kekinian, di mana para pelaku zaman cenderung menyisihkan bahasa daerah. Kita melihat, jarang (bukan tidak ada) situs internet yang memakai bahasa daerah. Begitu pun percakapan di media sosial lebih sering memakai bahasa Indonesia ataupun Inggris. Bahasa daerah hampir tak dapat tempat.

Kecelakaan sejarah lainnya ialah program pembangunan sendiri yang secara langsung maupun tidak turut mengikis keberadaan bahasa daerah. Dingding Haerudin mengatakan, perpindahan penduduk menjadi faktor utama dalam “membinasakan” bahasa daerah. Istilah perpindahan penduduk ini bisa dilihat dari dimensi yang jauh lebih kompleks sehingga proses “pemusnahan” bahasa daerah bisa dibilang terstruktur, sistematis, dan masif—kayak istilah kecurangan di pemilu saja.

Setidaknya ada dua proses perpindahan penduduk yang terjadi secara massal, yaitu transmigrasi dan urbanisasi. Kedua program ini tak lepas dari motif ekonomi. Sudah lama pulau Jawa menjadi pusat pembangunan yang sentralistik terutama selama 32 tahun Suharto berkuasa. Pulau Jawa menjadi tujuan pencari kerja sekaligus sebagai pulau yang menjanjikan peluang dan harapan di mana Jakarta jadi sumbu utamanya.

Orang dari berbagai daerah di Indonesia berbondong-bondong menuju tanah harapan itu. Untuk menandingi arus urbanisasi, pemerintah menggulirkan program transmigrasi. Tapi laju urbanisasi tetap tak terbendung. Bagi bahasa daerah, kedua laju perpindahan penduduk ini sama-sama menimbulkan efek samping: penduduk yang pindah tempat bisa dipastikan tidak lagi memakai bahasa daerahnya. Perpindahan penduduk akhirnya memicu pernikahan antarsuku. Penduduk yang menikah ini akhirnya mengambil jalan tengah jalan tengah dalam berkomunikasi dengan anak-anak mereka, yaitu memakai bahasa Indonesia. Artinya anak-anak itu putus dengan bahasa ibunya.

Memang idealnya anak-anak hasil pernikahan antarsuku dibekali dua bahasa daerah orangtuanya. Namun praktik ini tak mudah dilakukan. Ada pula fenomena keluarga yang sehari-harinya berkomunikasi memakai bahasa Indonesia kepada anak-anak mereka, walaupun mereka berangkat dari suku yang sama. Fenomena ini banyak terjadi di masyarakat Sunda sendiri, di mana ayah dan ibu Sunda, tetapi anaknya tidak bisa bahasa Sunda.

Berbahasa adalah Pilihan

Ada pandangan menarik dari Hawe Setiawan, dosen sastra yang juga konsisten menulis dalam bahasa Sunda (juga bahasa Indonesia dan Inggris). Menurutnya, memakai bahasa daerah adalah sebuah pilihan. Orang dari etnis tertentu belum tentu menjalankan tradisi di etnisnya, termasuk penggunaan bahasa. Mereka bisa saja menolak dan memilih tradisi lain.

“Hidup, bicara, dan berpikir sesuai yang ada di lingkungan Sunda itu pilihan, sebetulanya. Kita mau bergabung dengan tradisi mana pun bebas. Orang yang lahir sebagai Sunda bisa berpikir seperti orang Eropa,” kata Hawe (Diskusi peluncuran buku “Tanah dan Air Sunda” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Minggu 5 Februari 2017).

Tradisi berbeda dengan identitas etnis yang tak bisa ditawar-tawar, orang Sunda yang lahir di Jawa Barat tidak bisa minta dilahirkan di Meksiko, misalnya. Hanya saja Hawe mengaku tak bisa lepas dari tradisi berbahasa Sunda. Sebagaimana Ajip Rosidi, Hawe Setiawan banyak menulis dalam bahasa Sunda maupun bahasa lainnya. Ia sadar, lewat bahasa daerahlah dirinya pertama kali terhubung dengan dunia.

Sikap yang dipilih Hawe pastinya tak gampang. Dan, upaya mengembalikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu tampaknya selalu terbentur dinding tebal realitas. Meski upaya ini bukan misi mustahil mengingat metode atau strateginya sudah ada, yaitu pendidikan.

Tinggal pemerintah, dan tentunya DPR, mengeksekusi lewat regulasi dan kebijakannya agar bahasa daerah tetap lestari meramaikan keberagaman, kebhinekaan, Indonesia. Kalaupun tidak, tidak perlulah melontarkan pernyataan konyol yang menyudutkan bahasa daerah yang posisinya sudah tersudut.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//