• Opini
  • Masih Adakah Kesetaraan bagi Lelaki Feminin?

Masih Adakah Kesetaraan bagi Lelaki Feminin?

Lingkungan sosial menuntut seseorang bersikap berdasarkan jenis kelamin (gender). Laki-laki dituntut maskulin. Perempuan harus feminin. Adakah ruang di luar itu?

Febrian

Alumni S-2 Ilmu Linguistik Universitas Sebelas Maret, aktif secara mandiri menulis tentang gender dan bias-bias gender

Sejumlah aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

3 Mei 2023


BandungBergerak.idSaat masih di jenjang sarjana, aku pernah bekerja paruh waktu di sebuah rumah makan. Pada saat itu, atasanku tanpa basa-basi pernah menuduhku telah menggoda seorang kustomer laki-laki. Dengan sikap santai tanpa mengatakan maaf. Setelah tuduhan kejamnya, ia menyuruhku untuk mengubah sikap dari cara berjalan hingga caraku berbicara yang dinilai terlalu sangat feminin baginya.

Tak sampai di situ, tuduhan-tuduhan bodoh sebagai pengikut pemikiran LGBTQ juga langsung mengarah padaku dalam ucapannya. Aku ingat betul setelah tuduhan tak berdasarnya, aku mengajukan resign karena merasa tertekan atas tuduhan yang sebenarnya tak pernah benar-benar aku lakukan.

Aku jadi teringat dalam beberapa budaya kerja di Eropa dan Amerika. Aku rasa kita tahu bahwa negara-negara di wilayah tersebut lebih mengedepankan loyalitas dan keandalan dalam bekerja daripada menilai penampilan seseorang. Bahkan dalam buku Habermas dikatakan bahwa di beberapa wilayah di Amerika mengedepankan paham kesetaraan gender dalam beberapa aspek kehidupan. Di sisi lain, wilayah di benua Eropa sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai suatu dasar dalam gerakan tentang kesetaraan gender (gender equality) yang terus digaungkan hingga saat ini. Jika boleh bertanya, apa hubungannya?

Kata gender dan equality memiliki makna yang berhubungan. Kata gender sendiri merupakan sifat dan karakteristik seseorang yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dari pakaian, sikap, kepribadian, dan tanggung jawab yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Namun, konstruksi sosial dan kultural terkait sikap feminin pada wanita dan maskulin pada pria ditentang oleh WHO karena hal tersebut tidak selalu beriringan. Dengan kata lain, maksud ini bisa diartikan bahwa terdapat wanita dengan sikap maskulin yang dominan dan begitu juga pada pria sebaliknya.

Lantas apa hubungan dunia kerja dengan kesetaraan gender dalam pembahasan ini? Istilah gender equality sendiri merupakan suatu gerakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Saya rasa jika boleh sedikit meluas, pemenuhan-pemenuhan itu mencakup akses yang sama dalam memanfaatkan sumber daya dan peluang yang ada tanpa melihat gender dan penampilan seseorang. Lantas bagaimana definisi itu tidak diterapkan pada dunia kerja? Apakah aku sebagai pria feminin ini tidak berhak menerima istilah gender equality?

Menurut beberapa data yang dilansir oleh BBC, permasalahan kesetaraan gender di benua Eropa hingga saat ini mengalami penurunan kasus. Seperti negara Islandia, yang dicatat sebagai negara dengan kasus paling sedikit perihal kesenjangan gender dalam hal kesetaraan. Khususnya pada bidang ekonomi, negara-negara tetangganya seperti Finlandia, Norwegia bahkan Swedia juga melakukan hal yang sama. Jika benar adanya, menurut saya hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa negara-negara tersebut menghormati hak asasi setiap orang dan juga menjunjung tinggi kesetaraan bagi warga negaranya.

Baca Juga: SUARA SETARA: Mendefinisikan Ulang Konsep Perempuan Cantik
Menanamkan Nilai Sensitivitas Gender pada Laki-Laki
SUARA SETARA: Mempertanyakan Identitas Gender Seseorang, Merendahkan Kemanusiaannya

Jika ingat, ketika bekerja aku sudah mau mentoleransi syarat-syarat yang pernah mereka tulis dan dengungkan saat pertama kali melakukan wawancara kerja. Dari mulai memotong rambut gondrongku yang sudah lama kurawat karena merupakan simbol sifat wanita, katanya. Lalu, cara berjalanku pun tak luput dari tuntutan mereka, mereka ingin aku berjalan tegap dan tampak loyalitas dalam melayani kustomer ketika mereka memesan makanan. Bahkan syarat mereka pun membuat aku mengubah fashion-ku terbalik 180 derajat agar bisa bekerja mendapatkan uang. Tentu saja, pengorbananku pada akhirnya tetap memberikan stigma negatif bagi mereka yang tak cukup puas melihat perubahan penampilan dan sikapku yang aku rasa sudah membatasi ruang bagiku untuk bereskpresi.

Tak hanya itu, jika berbicara data kita bisa melihat fenomena-fenomena di sekitar kita. Dalam suatu perkumpulan yang mereka katakan dengan gender normal. Ketika seorang laki-laki feminin lewat di depan mereka. Tanpa banyak kata, mereka akan mengubah pola diskusi dengan menimbulkan narasi-narasi verbal tanpa suara lantang dengan mengucapkan, “eh lihat ada bencong atau banci lewat”, “aduh kenapa penampilannya seperti cewek”, “lihat deh rambutnya panjang banget”. Saya rasa narasi verbal itu akan muncul ketika saya juga lewat di depan mereka. Terlebih jika melihat penampilanku yang tak biasa, bagi orang dengan gender normal, saya rasa saya akan didiskriminasi karena telah menyimpang dari norma—berpakaian—yang berlaku.

Lantas apa yang saya harus saya lakukan lagi, jika hal itu tidak bisa memuaskan penilaian mereka terhadap perubahan penampilanku. Apakah ini bagian dari tujuan mereka untuk mengolok-ngolok aku? Atau merupakan tujuan mereka untuk membatasiku dalam berekspresi? Toleransi apalagi yang harus aku lakukan untuk memenuhi standar mereka tentang indikator kejantanan seorang pria. Jika pria dengan dominasi sifat feminin ini tetap harus menerima tuduhan-tuduhan tak berdasar pada dirinya?  

Ada sebuah adagium yang mengatakan “please don’t judge a book by its cover”. Saya rasa hal itu tidak berlaku pada saya. Dalam kajian terjemahan, aku rasa secara lazim kalimat itu bermakna kita tidak boleh menilai seseorang dari penampilannya. Namun ternyata aku salah besar dan orang-orang tidak mempraktikkan adagium bijak itu secara nyata, ketika aku berusaha bertoleransi dengan standar tinggi mereka tentang kejantanan. Setiap hari, aku harus mengusap air mata dan mengelus dada karena bagaimana aku harus terus memenuhi standar bodoh mereka. Nyatanya, merubah penampilan dan cara bersikapku yang dominan feminin ini tidak cukup bagi mereka untuk memenuhi standar kejantanan mereka pada saat itu. Aku jadi bertanya-tanya, lantas usaha apa lagi yang harus kulakukan ketika semua pengorbananku akhirnya menjadi sia-sia?

Seorang teman pernah berkata padaku. Pernahkah kamu berfikir, jika tulisanmu ini akan melukai perjuangan para penganut paham feminis nantinya? Kita semua tahu bahwa perjuangan itu muncul atas dasar penindasan dan hilangnya kebebasan kita sebagai manusia. Jujur, jika terus-terusan memikirkan orang lain, lantas siapa nanti yang akan memikirkan hak dan kebebasanku yang selalu dibungkam. Sedangkan faktanya asas gender equality masih terus digaungkan dengan lantang hingga saat ini. 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//