• Kolom
  • SUARA SETARA: Sayangnya, Bentuk-bentuk Bias Gender Sudah Ditanamkan sejak Sekolah Dasar

SUARA SETARA: Sayangnya, Bentuk-bentuk Bias Gender Sudah Ditanamkan sejak Sekolah Dasar

Siswi perempuan yang pandai olahraga akan mendapat pujian. Siswa laki-laki yang memilih seni tari justru mendapat cibiran, baik dari teman maupun gurunya.

Khalida Athaya Divariani

Mahasiswa PGSD - Great UPI

Situasi di SDN Patrakomala, Bandung, 13 Desember 2021. Penanaman nilai ramah gender perlu dilakukan sejak usia dini. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

5 Oktober 2022


BandungBergerak.idPada awalnya, anak hanya berinteraksi di lingkungan keluarga saja. Lingkungannya bertambah luas ketika ia masuk sekolah dasar. Di sekolah, anak berinteraksi dengan teman sebayanya (peer group), bersama guru-guru, warga sekolah, serta materi pembelajaran yang mereka dapatkan.

Dalam proses penyesuaian dengan lingkungannya itu tentu saja anak banyak mempelajari hal baru, salah satunya ia mempelajari perilaku di masyarakat (sekolah dan lingkungan sekitar). Anak juga akan menerima nilai-nilai yang dihidup di masyarakat, termasuk soal peran gender atau jenis kelamin, status sosial, dan masih banyak lagi.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, peran gender adalah perilaku yang dipelajari di dalam suatu masyarakat atau komunitas yang dikondisikan bahwa kegiatan, tugas-tugas atau tanggung jawab patut diterima baik oleh laki-laki maupun perempuan. Perempuan kerap mempunyai peran dalam mengatur reproduksi, produksi, dan kemasyarakatan. Laki-laki terfokus pada produksi dan politik kemasyarakatan.

Peran gender yang terbentuk menjadi persoalan sosial yang serius sebab mengkonstruksi adanya perbedaan peran, tanggung jawab, hak, dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan yang kemudian menimbulkan adanya bias gender. Bias gender merupakan suatu kondisi di mana kehidupan mengkategorikan salah satu jenis kelamin pada posisi superior dan jenis kelamin lainnya pada posisi inferior.

Sayangnya dunia pendidikan tidak lepas dari perealisasian hal tersebut. Saya sebagai mahasiswa yang mempelajari ilmu pendidikan guru sekolah dasar, menemui bias gender pada buku mata pelajaran yang diberikan kepada peserta didik.

Bentuk Bias Gender

Dalam Buku Tematik Siswa Kurikulum 2013, serta buku-buku pembelajaran lainnya  terdapat beberapa materi pembelajaran yang bias gender yaitu:

(1) Bias gender dalam peran kerja

Pada buku tematik siswa sering kali ditemukan adanya materi mengenai pembagian peran kerja di mana pilihan pekerjaan bagi laki-laki didominasi oleh pekerjaan publik seperti pegawai kantoran, pegawai kebun, teknisi, dan sebagainya. Sedangkan peran kerja perempuan dititikberatkan pada pekerjaan domestik seperti memasak, menyapu, mencuci.

Adanya pembagian peran kerja ini lagi-lagi tidak lepas dari konstruksi masyarakat yang meletakkan laki-laki sebagai sang superior. Laki-laki dikonstruksi lebih layak bekerja di luar rumah karena memiliki pribadi yang aktif. Perempuan sebagai sang inferior dinilai layak untuk berdiam diri di rumah sebab dinilai sebagai pribadi yang tidak produktif.

(2) Bias gender dalam kegemaran

Dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, seorang siswi perempuan sekolah dasar yang pandai dalam bidang olahraga akan mendapat pujian berlebihan dari teman-temannya maupun gurunya. Hal ini berkebalikan ketika seorang siswa laki-laki sekolah dasar menunjukkan keterkaitannya kepada kesenian khusunya seni tari. Dia bukannya dapat pujian dan dukungan, tetapi malah menerima ejekan dari teman sebaya dan guru-guru. Bahkan ia diminta untuk menekuni bidang lain yang ‘lebih laki’.

Begitulah realitasnya. Yang maskulin lebih lekat dengan superiorioritas atau yang diunggulkan, misalnya berbagai bidang olahraga. Yang feminin tak jadi unggulan karena diposisikan sebagai kegiatan inferior, seperti pada kegiatan kesenian tari.

(3) Bias gender dalam nilai sifat

Maskulinitas dan feminimitas yang melekat pada masing-masing diri laki-laki dan perempuan membatasi ruang gerak keduanya. Sifat maskulin yang identik dengan kuat, keras, dan sifat feminin yang identik dengan lemah lembut, lagi-lagi membuat salah satunya lebih diunggulkan.

Pembagian kelompok kerja di sekolah tidak lepas dari bias gender ini. Sifat maskulin yang melekat pada siswa laki-laki membuat mereka diutamakan dan lebih dipercaya oleh guru menjadi ketua kelompok. Ketika pemilihan petugas upacara hari Senin, siswa laki-laki diberikan tugas menjadi pemimpin upacara, pemimpin regu, ajudan, penggeret, dan pembentang bendera, karena sifat maskulinnya yang ‘bau keringat’. Perempuan selalu ditempatkan sebagai pembawa acara, pembaca doa, pembawa baki bendera, karena sifatnya femininnya yang ‘harum wewangian’.

Dari berbagai contoh realitas kehidupan di atas, sangat disayangkan bahwa seorang individu bahkan sejak ia masih menempuh jenjang pendidikan dasar sudah mengalami hal-hal seperti adanya bias gender, ketimpangan gender, konstruk peran gender, dan sebagainya.

Baca Juga: SUARA SETARA: Sebelum Merayakan Hari Kemerdekaan, Refleksi terhadap Kasus Kekerasan Seksual di Zaman Jepang
SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan
SUARA SETARA: Merekayasa Budaya di Masyarakat dengan Sosiologi Keluarga dan Gender

Menanamkan Pendidikan Ramah Gender sejak Dini

Upaya menanamkan pendidikan ramah gender bisa dimulai dari buku pelajaran di sekolah. Para penulis buku pelajaran agar menyertakan teks dan gambar yang merepresentasikan kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan secara adil. Penulis dapat menambahkan cerita inspiratif perempuan masa kini mengingat sudah begitu banyak perempuan di era modern ini yang berkiprah dalam dunia publik.

Penulis juga dapat menyertakan gambar-gambar ilustrasi yang menunjukkan kolaborasi antara laki-laki dan perempuan dalam menjalani peran mereka baik pada bidang publik maupun domestik. Guru pun sebagai sang praktisi yang paling dekat dengan siswa hendaknya tidak mengimani budaya-budaya bias gender yang sudah melekat dengan konstruk sosial masyarakat.

Sudah menjadi suatu keharusan bahwa dunia pendidikan seharusnya menjadi wadah seorang individu untuk berkembang tanpa adanya batasan, terutama terlepas dari apakah individu tersebut merupakan seorang laki-laki atau perempuan sesuai dengan poin Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 4 yang memastikan pendidikan inklusif dan berkualitas, setara, serta mendukung adanya kesemparan belajar seumur hidup bagi semua.

Namun, mari kita menilik kenyataan, apakah lembaga pendidikan di negeri kita sudah bergerak ke arah inkulusif, berkualitas, setara, dan membuka kesempatan seumur hidup bagi semua?

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//