• Kolom
  • SUARA SETARA: Sebelum Merayakan Hari Kemerdekaan, Refleksi terhadap Kasus Kekerasan Seksual di Zaman Jepang

SUARA SETARA: Sebelum Merayakan Hari Kemerdekaan, Refleksi terhadap Kasus Kekerasan Seksual di Zaman Jepang

Semua perempuan yang tertindas sebagai perempuan, bukanlah takdir sejarah. Individu yang sadar akan penindasan menjadi penting untuk berdiri di garis depan.

Azmi Mahatmanti

Mahasiswi UPI, aktif di Gender Research Student Center (Great) UPI, bisa dihubungi di Instagram @azmimahatmanti.

Sejumlah aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

16 Agustus 2022


BandungBergerak.id - “Kita tidak pernah benar-benar merdeka dalam merayakan hari kemerdekaan,” pikirku saat menyusuri gang sempit yang dihias dengan pernak-pernik khas tujuh belasan. Terbesitlah sebuah cerita dari masa lalu, tentang perempuan yang hidup dalam luka perang, ialah para penyintas perbudakan seks masa penjajahan Jepang yang terlupakan.

Perempuan dalam seremoni kemerdekaan sering kali dilupakan dalam pemaknaan. Padahal penindasan terhadap perempuan tidak pernah benar-benar hilang dari permukaan, sebab sudah menjadi sistem yang mengakar dalam keseharian sampai saat ini.

Mengingat kembali kisah dalam buku Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer – Naskah Catatan Pulau Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer memberikan gambaran kejamnya balatentara Jepang terhadap perempuan pada masa Perang Dunia II. Mereka memperlakukan perempuan sebagai budak seks. Diperkirakan, 200.000 perempuan dari negara-negara di Asia yang pernah diduduki Jepang, seperti Korea Selatan, Taiwan, Indonesia, Filipina, dan Burma, termasuk perempuan Jepang sendiri telah dijadikan budak seks.

Ironisnya pemerintahan Jepang sempat menolak bertanggung jawab secara hukum. Alasannya, para korban adalah jugun ianfu (perempuan penghibur) yang bekerja secara sukarela, bukan sebagai budak seks. Kemudian pada tahun 1996 pemerintahan Jepang mendirikan Asian Women Fund, lembaga swadaya masyarakat yang dibentuk bertujuan mengumpulkan dana masyarakat untuk membayar kompensasi para perempuan korban dari perbudakan seksual balatentara Jepang.

Perempuan Indonesia dan Tragedi Perbudakan Seks Penjajahan Jepang

Jepang melakukan sistem praktik perbudakan seksual di bawah kontrol militer pada masa penjajahan sekitar tahun 1942. Praktik tersebut dapat terjadi dengan memanipulasi para perempuan dari Jawa yang dibawa ke garis depan peperangan di daerah Kalimantan, Sulawesi, Maluku bahkan Pulau Buru. Mereka diimingi-imingi dapat meneruskan pendidikan, pekerjaan, dan sekolah. Namun, ekspektasi tersebut tidak menjadi kenyataan, justru memberikan duka mendalam sepanjang hidup perempuan garis depan peperangan tersebut. Mereka hanya mendapatkan pekerjaan domestik untuk melayani para tentara jepang. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh tentara Jepang menyisakan penderitaan hingga sekarang.

Pada tahun 2017 LBH Yogyakarta berhasil melacak dan mencatat korban perbudakan seks pada masa perang berjumlah 1.156 korban yang berasal dari Lampung, Jawa, serta Nusa Tenggara Timur.

Baca Juga: SUARA SETARA: Syarat Berlipat bagi Perempuan untuk Dicintai Laki-laki
SUARA SETARA: Merekayasa Budaya di Masyarakat dengan Sosiologi Keluarga dan Gender
Mengganti Budaya Patriarki dengan Kesetaraan Gender, Dimulai dari Keluarga dan Sekolah

Nasib Penyintas Perbudakan Seks Penjajahan Jepang

Pemerintah seharusnya tidak boleh menutup mata atas peristiwa yang terjadi di masa lalu, namun kenyataannya banyak kasus pelanggaran HAM yang ditangani dengan sangat lambat. Termasuk dalam menangani kasus kekerasan seksual dari dulu hingga sekarang. Para penyintas tragedi tersebut kini berusia sekitar 90 tahun ke atas, mereka hidup dengan luka fisik dan psikis yang belum hilang dalam tubuhnya. Penyintas perbudakan seks di masa penjajahan Jepang di Indonesia justru luput dari penanganan.

Asian Women Fund (AWF) tidak mengidentifikasi ianfu, sehingga pendanaan sebesar 380 juta yen atau sekitar 24 milliar rupiah dengan nilai kurs pada saat itu, diberikan kepada Kementerian Sosial secara bertahap selama 10 tahun untuk membangun 235 panti jompo di seluruh daerah. Namun pada praktiknya tidak semua penyintas ianfu tinggal dalam panti tersebut dan mendapatkan penanganan fisik maupun psikis dengan baik.

Refleksikan Penindasan terhadap Perempuan sebelum Merayakan Hari Kemerdekaan

Selama narasi “kodrat perempuan” masih ada dalam lingkaran masyarakat kita, selama itu pula kemerdekaan bagi perempuan hanya ilusi semata. Karena sejak dalam pikiran, masyarakat memandang tubuh perempuan sekadar berperan sebagai alat pemuas hasrat seksual, alat reproduksi, serta dasar relasi dari kepemilikan yang berpusat pada laki-laki dalam artian tubuh perempuan dijadikan sasaran tindakan, kontrol, dan objek kepemilikan.

Belum lagi di Indonesia masih ada undang-undang dan kebijakan yang melanggengkan penindasan terhadap perempuan, seperti UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Dalam pasal 4 ayat 2 “pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dalam hal ini, peraturan tersebut memandang bahwa tubuh perempuan hanya sebagai alat reproduksi semata. Ketika perempuan yang tidak bisa hamil karena berbagai faktor yang tidak dikehendaki oleh lelaki, maka perempuan tersebut dianggap tidak sempurna. Sehingga diperbolehkan seorang suami beristri lebih dari satu.

Selain itu pula perempuan kerap kali mendapatkan pembatasan atau pereduksian kerja hanya dalam lingkup reproduktif, pelayanan, dan pemeliharaan. Sehingga perempuan dibatasi dan dipusatkan pada ranah domestik dan pelaksana tugas rumah tangga semata. Sadarkah hal tersebut terjadi pada masyarakat kita?

Namun, semua perempuan yang tertindas sebagai perempuan bukanlah takdir sejarah. Karena itu, kita sebagai individu yang telah tersadar akan penindasan menjadi penting untuk berdiri di garis terdepan dalam membangun kekuatan perubahan sosial yang dapat memberikan ruang bagi semua orang dan merasakan kemerdekaan.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//