• Kolom
  • SUARA SETARA: Syarat Berlipat bagi Perempuan untuk Dicintai Laki-laki

SUARA SETARA: Syarat Berlipat bagi Perempuan untuk Dicintai Laki-laki

Dunia yang diciptakan patriarki menuntut banyak syarat kepada perempuan agar layak dicintai oleh laki-laki. Mulai dari cantik, dan kriteria fisik lainnya.

Nida Nurhamidah

Gender Research Student Center.

Seorang perempuan melintas di antara lukisan Jalan Braga, Bandung, Jawa Barat, 5 Desember 2022. Perempuan banyak menghadapi tuntutan di dunia yang didominasi kuasa laki-laki. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

9 Agustus 2022


BandungBergerak.idBeberapa hari yang lalu temanku bercerita, bahwa ia merasa tidak layak dicintai karena segudang kekurangan yang ia miliki. Ia tidak cantik, tubuhnya tidak ramping, ia bukan seseorang yang manis dan ekspresif, ia gagap dalam mengungkap perasaannya, topik obrolannya membosankan, tampilannya pun tidak rapi, ia tidak mengerti style yang sedang trend akhir-akhir ini. Ia tidak pernah terlihat, tidak seperti teman-temannya yang memang memiliki kriteria loveable person.

Singkatnya, ia selalu berkutat dengan rasa rendah dirinya. Ia pun menyimpulkan bahwa ia akan layak dicintai ketika ia sudah memenuhi kriteria cewek idaman para lelaki.

Cerita lain kutemukan di Twitter, cerita ibu-ibu yang termotivasi untuk olahraga karena suaminya bilang gendut dan mengancam akan dicerai jika badannya masih seperti itu. Suaminya merasa tidak puas di ranjang karena badan istrinya yang gemuk. Selain itu, terdapat cerita suami yang akan meninggalkan istrinya jika badan istrinya tetap gemuk selepas melahirkan.

Belum lagi berita yang kubaca, mengenai operasi penyempitan vagina, kebanyakan perempuan yang melakukan itu karena tidak percaya diri. Mereka ingin membahagiakan suaminya, dan ada juga perempuan yang takut jika suaminya berpaling ke perempuan lain.

Perempuan sering diidentikan dengan makhluk yang tidak percaya diri. Perempuan memiliki segudang tuntutan agar dirinya dapat diterima dan dicintai di dunia ini. Beberapa cerita temanku dan yang kutemukan di Twitter merupakan bukti bahwa perempuan harus tetap tampil prima agar dirinya bisa dicintai dan mempertahankan cinta orang lain. Namun, apakah benar cinta tanpa syarat itu merupakan hal mustahil? Dan perempuan harus berjuang memenuhi standar yang dilayangkan masyarakat agar dicintai?

Insekuritas Perempuan

Perasaan memandang diri sendiri rendah, tidak berharga, gelisah, dan tidak aman terhadap penilaian diri sendiri sering kali disebut dengan istilah insecure. Ketika saya melakukan pencarian di google, kerap kali perempuan diidentikan dengan perasaan insecure ini. Semua yang terjadi pada perempuan seakan-akan murni karena kesalahan dirinya, rasa insecurities seakan-akan muncul dari ketidakmampuan perempuan untuk menilai dirinya dengan positif. Perempuan seakan dianggap tidak memiliki harga diri dan menggantungkan segala penilaiannya kepada orang lain.

Dalam cinta-mencintai, perempuan sering kali diidentikan sebagai orang yang pasif, harus menunggu, dan memendam perasaannya. Perempuan tidak memilih, seperti laki-laki. Ia hanya dapat dipilih dan menunggu cintanya datang. Konstruk gender yang menganggap perempuan adalah seseorang yang pasif, seseorang yang dapat memenuhi seluruh standarlah yang berhak dicintai.

Saya mewawancarai beberapa teman perempuan tentang tidak pantas dicintai.

Apa yang membuat anda berpikir anda tidak pantas dicintai?

A: Aku tidak tahu, yang jelas aku merasa aku kurang cantik dan tidak bisa memenuhi ekspektasinya.

B: Aku tidak pantas dicintai karena aku adalah orang yang paling bodoh dan tidak berdaya di sekitarku.

C: Aku tidak cukup baik untuk dicintai.

Tak bisa dipungkiri, ketika perempuan dilahirkan, segudang tuntutan secara otomatis melekat padanya. Misal, perkara kecantikan. Perempuan dikenal lebih memperhatikan penampilan dibandingkan laki-laki, perempuan pun dituntut untuk memenuhi segala standar kecantikan. Definisi cantik dipersempit dengan kulit putih, hidung mancung, bibir merah, badan langsing, dan lainnya oleh masyarakat.

Definisi tersebut harus terpenuhi untuk memenuhi standar masyarakat meskipun melalui hal-hal yang kiranya membahayakan dirinya. Hal tersebut bukan tanpa sebab, patriarki tidak memandang perempuan sebagai subjek yang berdaya untuk mencintai dan dicintai. Seluruh tuntutan didasarkan pada sudut pandang laki-laki. Pandangan patriarki membuat perempuan seakan-akan hidup untuk memenuhi seluruh ekspektasi laki-laki, perempuan seakan dilarang untuk merealisasikan dirinya.

Baca Juga: SUARA SETARA: Merekayasa Budaya di Masyarakat dengan Sosiologi Keluarga dan Gender
SUARA SETARA: Kenapa Perempuan Harus Rapi?
SUARA SETARA: Idul Adha dan Momen Pengorbanan Siti Hajar yang Kerap Terlupakan

Patriarki, Dunia yang Tidak Berpihak pada Perempuan

Lagi-lagi, permasalahan yang dialami oleh perempuan bukan berasal dari permasalahan taktis, itu bukan karena perempuan yang lemah dan berpikir demikian. Bagaimana perempuan selalu dinomorduakan merupakan buah dari sistem patriarki yang sudah mendarah daging.

Dalam dunia yang patriarki, perempuan dipandang sebelah mata dan didominasi oleh peran laki-laki. Nilai yang diamini bagaimana seluruh penilaian tentang dunia didasarkan pada sudut pandang laki-laki. Hal tersebut ada sejak dulu, melahirkan suatu penilaian dan berimbas pada bagaimana sifat seseorang di masyarakat. Sifat perempuan yang sering diidentikan dengan rendah diri merupakan salah satu dampak dari sistem patriarki ini.

Perempuan diminta untuk memenuhi segala ekspektasi yang dilayangkan dan menjadi sempurna, sebagai syarat bagaimana seharusnya dicintai.

You Deserve to Be Loved as You are

Bagaimanapun anggapan di publik dan dengan standar yang dilayangkan, semua perempuan berhak dicintai dan mengaktualisasikan dirinya. Semua orang berhak dicintai tanpa syarat, tanpa perlu menjadi sempurna.  Seperti kutipan video Tiktok yang kulihat malam ini:

You need to stop believing you’re only worthy of being loved when you’re at your best. You’re still worthy of being loved even when you don’t love yourself. You are worthy of love exactly as you are. Don’t fool yourself into believing otherwise.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//