• Kampus
  • Kebebasan Pers dan Keselamatan Jurnalis Jadi Sorotan di Seminar MindTalk 2025

Kebebasan Pers dan Keselamatan Jurnalis Jadi Sorotan di Seminar MindTalk 2025

Kebebasan pers dan keselamatan jurnalis selalu menemukan hambatan di segala rezim. Meski demikian, pers tetap sebagai kontrol terhadap kekuasaan.

Seminar MindTalk mengangkat tema tentang jurnalistik di Gedung PPG UIN SGD Bandung, 11 September 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

Penulis Insan Radhiyan Nurrahim, 16 September 2025


BandungBergerak – Kebebasan pers di Indonesia, realita atau retorika? Pertanyaan ini mencuat dalam seminar MindTalk yang mengangkat tema tentang jurnalistik. Bertempat di Gedung PPG UIN SGD, acara ini mempertemukan mahasiswa, pegiat media, hingga jurnalis lapangan untuk membedah tantangan yang dihadapi pers Indonesia saat ini.

Reni Susanti, redaktur kompas.com, mengingatkan bahwa perjalanan panjang pers nasional tidak bisa dilepaskan dari sejarah perlawanan dan represi. Pada masa kolonial, pers menjadi alat perjuangan, seperti yang ditunjukkan oleh Medan Prijaji. Namun di masa Orde Lama dan Orde Baru, kebebasan itu ditekan melalui pembredelan dan kontrol ketat terhadap media.

Pers tidak hanya bertugas menyampaikan informasi, tetapi juga mengawasi kekuasaan, menjaga akuntabilitas, serta menjadi penghubung antara pemerintah, masyarakat, dan kelompok sipil.

“Pers bebas adalah syarat mutlak demokrasi yang sehat,” tegas Reni, salah satu narasumber MindTalk, 11 September 2025.

Reni menekankan bahwa kebebasan pers sudah dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun kebebasan tersebut tidak absolut.

Ada batasan yang perlu dipahami, seperti larangan menyebarkan fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian. Meski begitu, Reni mengingatkan bahwa pers harus tetap berpihak pada kepentingan publik dan menyuarakan suara yang kerap terpinggirkan.

Tantangan Pers Indonesia

Meski era Reformasi 1998 sempat melahirkan kebebasan pers yang lebih luas, kondisi terkini justru menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan lembaga internasional, peringkat kebebasan pers Indonesia berada di titik terendah dalam 15 tahun terakhir.

Faktor utama yang memperburuk situasi adalah kekerasan terhadap jurnalis, kriminalisasi dengan menggunakan UU ITE, serta tekanan politik dan ekonomi.

Reni mencontohkan beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, mulai dari kriminalisasi wartawan akibat liputan investigasi, pelarangan liputan aksi demonstrasi, hingga kekerasan fisik yang berujung pada kematian.

Ia juga menyinggung kondisi global, di mana jurnalis di Palestina, Turki, dan Filipina masih menghadapi ancaman serius berupa penjara, pembunuhan, atau penutupan media. Demokrasi bisa mundur ke arah otoritarian, sementara praktik korupsi dan pelanggaran HAM semakin sulit terbongkar.

“Ketika pers tidak bebas, maka yang hilang bukan hanya suara jurnalis, tetapi juga hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar,” jelasnya.

Baca Juga: Indeks Kebebasan Pers Indonesia Merosot di Era Kecerdasan Buatan, Jurnalis Menghadapi Kekerasan Fisik, Digital, dan Finansial
Memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia dengan Stand Up Comedy

Keselamatan Jurnalis: Aspek yang Terlupakan

Elgana, jurnalis Kompas.com yang menjadi narasumber lainnya, menyoroti pentingnya ruang aman bagi jurnalis. Ia mengungkapkan bahwa perlindungan terhadap jurnalis masih jauh dari memadai. Sepanjang 2024, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Bentuknya beragam, mulai dari kekerasan fisik, intimidasi, pelarangan liputan, hingga serangan digital.

Kasus paling serius bahkan menelan korban jiwa, sementara beberapa kasus lain berbentuk ancaman, gugatan hukum, hingga kekerasan berbasis gender. Data Earth Journalists Network (EJN) 2023 menambahkan bahwa jurnalis lingkungan paling rentan terhadap kekerasan, dengan 56 persen insiden terjadi setelah berita dipublikasikan.

Menurut Elgana, risiko yang dihadapi jurnalis tidak hanya sebatas kekerasan fisik. Ancaman digital, kriminalisasi, hingga gugatan hukum bisa menjerat kapan saja. Karena itu, ia menekankan pentingnya manajemen risiko dalam setiap liputan, termasuk memahami topik, memetakan risiko, menyusun lini masa liputan, hingga menyiapkan strategi perlindungan bagi narasumber dan keluarga jurnalis.

“Keselamatan jurnalis harus dipandang secara holistik. Bukan hanya melindungi mereka di lapangan, tapi juga menjaga keamanan digital, naskah berita, narasumber, bahkan keluarga,” jelas Elgana.

Diskusi tidak berhenti pada masalah. Kedua narasumber juga menawarkan solusi. Mereka menekankan pentingnya peran mahasiswa dan publik dalam menjaga kebebasan pers. Mahasiswa, katanya, harus menjadi konsumen berita yang kritis, mendukung karya jurnalistik independen, dan berani menyuarakan opini dengan etis.

Sementara publik dapat memperkuat ekosistem media dengan melaporkan kekerasan terhadap jurnalis, mendorong regulasi yang melindungi pers, serta mendukung media independen yang tidak tunduk pada kepentingan politik.

Elgana menambahkan bahwa solidaritas antarmedia dan adaptasi terhadap teknologi baru juga menjadi kunci. Dengan begitu, jurnalis bisa lebih siap menghadapi ancaman, baik di ruang fisik maupun digital.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//