• Opini
  • Mengarahkan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Demokrasi Lokal

Mengarahkan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Demokrasi Lokal

Aktivisme yudisial Mahkamah Konstitusi dalam sengketa pilkada telah menjadi terobosan penting untuk menegakkan demokrasi substantif di level daerah.

Nazhif Ali Murtadho

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya

Ilustrasi. Pemilu merupakan ajang demokrasi untuk menentukan pemimpin. (ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

17 September 2025


BandungBergerak.id – Sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung pada 2005, demokrasi lokal di Indonesia mengalami transformasi signifikan. Melalui pemilihan ini, kedaulatan rakyat tidak hanya diwujudkan di tingkat pusat, namun juga pada level provinsi, kabupaten, dan kota. Namun, di balik semangat partisipasi rakyat, proses pilkada kerap diwarnai masalah serius: politik uang, penyalahgunaan birokrasi, hingga pelanggaran administratif. Ketika mekanisme pengawasan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) belum optimal, Mahkamah Konstitusi (MK) kerap menjadi satu-satunya lembaga yang mampu mengurai simpul pelanggaran demi menegakkan nilai-nilai demokrasi.

Pada tahap awal perancangannya, kewenangan MK dalam sengketa pilkada dibatasi hanya pada perhitungan suara –sesuai Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016. Secara tekstual, MK hanya berhak memeriksa dan memutus sengketa perolehan suara final, bukan menangani pelanggaran proses sebelum maupun selama pemungutan suara. Akan tetapi, sejumlah putusan MK, terutama sejak Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, menunjukkan kemauan politik lembaga ini untuk memperluas jangkauan yurisdiksinya demi melindungi hak konstitusional pemilih dan calon kepala daerah.

Baca Juga: Apakah Pilkada Kita Terjebak dalam Populisme dan Bagaimana Keluar dari Jebakan tersebut?
149.132 Kata untuk Bandung dan Jawa Barat, Membaca Pemetaan Pilkada dari Akun Instagram para Calon Pemimpin Daerah
Pilkada Tidak Langsung via DPRD, Maslahat atau Mudarat?

MK sebagai Penjaga Konstitusi dan Demokrasi

Konstitusi mengamanatkan penyelenggaraan pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 22E UUD 1945). Ketika pelanggaran serius terbukti berpengaruh pada hasil pemilihan –misalnya money politics, mobilisasi aparatur sipil negara, atau manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT)– MK mengambil langkah aktivis untuk memerintahkan pemungutan suara ulang atau bahkan mendiskualifikasi calon. Contoh konkret terlihat dalam pilkada 2020, ketika MK menerima 22 dari 151 permohonan sengketa dan memerintahkan 17 daerah menggelar pemungutan suara ulang, serta menolak tiga calon kepala daerah yang didapati melanggar syarat administratif mendasar seperti status warga negara dan riwayat pidana (Boven Digoel, Yalimo, Sabu Raijua). Pilkada serentak 2024 lalu, Putusan MK Nomor 313/PHP.BUP-XXIII/2025, MK mendiskualifikasi seluruh pasangan calon bupati Barito Utara karena terbukti melakukan politik uang secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).

Beberapa kasus diskualifikasi calon kepala daerah oleh MK dalam Pilkada Serentak 2024. Kasus-kasus ini terjadi di Boven Digoel (Petrus Ricolombus Omba), Pasaman (Anggit Kurniawan Nasution), Tasikmalaya (Ade Sugianto), Papua (Yermias Bisai), dan Palopo (Trisal Tahir dan Akhmad Syarifuddin). Alasan diskualifikasi bervariasi, mulai dari ketidakjujuran mengenai status mantan narapidana, pelanggaran masa jabatan, hingga dugaan penggunaan ijazah palsu dan ketidakabsahan dokumen administrasi.

Ini menandai putusan penting karena MK tidak lagi hanya berfungsi sebagai “Mahkamah Kalkulator” yang berfokus pada selisih suara, tetapi juga menegakkan integritas demokrasi. Langkah-langkah tersebut menegaskan posisi MK tidak semata-mata sebagai arbiter angka, melainkan sebagai garda terakhir penjaga hak konstitusional yang lebih substansial. Dalam putusannya, MK berargumen bahwa penegakan keadilan substansial –yang menitikberatkan pada moralitas, kemanusiaan, dan kesetaraan– tidak boleh terkekang oleh batasan prosedural yang kaku. Prinsip ini selaras dengan pandangan keadilan konstitusional global, di mana lembaga yudikatif berfungsi mengisi kekosongan jika lembaga teknis gagal menuntaskan sengketa secara adil.

Meskipun membawa manfaat bagi kualitas demokrasi, praktik aktivisme yudisial MK menimbulkan dua kerisauan utama. Pertama, muncul pertanyaan tentang kepastian hukum dan konsistensi putusan. Dalam sejumlah kasus—seperti sengketa di provinsi Kalimantan Selatan—MK menolak gugatan terkait money politics meski bukti terpenuhi, dengan alasan bahwa penyelidikan awal adalah domain Bawaslu dan KPU. Sementara di kasus lain, pelanggaran serupa justru berbuah pemungutan suara ulang. Inkonsistensi semacam ini mengundang kritik bahwa aktivisme MK terkadang bersifat arbitrer, bergantung pada interpretasi majelis hakim per kasus.

Kedua, perlu dipertimbangkan lini pemisah antara wewenang MK dan lembaga penyelenggara pemilu. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menegaskan pilkada sebagai bagian dari sistem demokrasi konstitusional, namun UU Nomor 1 Tahun 2015 dan UU Nomor 8 Tahun 2012 meletakkan mekanisme pengawasannya pada KPU, Bawaslu, dan DKPP. Ketika MK mengambil alih sebagian fungsi penegakan hukum pemilu, muncul potensi tumpang tindih kewenangan yang justru melemahkan posisi lembaga teknis.

Mewujudkan Keseimbangan antara Prosedur dan Substansi

Untuk memaksimalkan peran MK tanpa meruntuhkan fondasi kelembagaan lain, langkah pembaruan perlu diarahkan pada tiga hal. Pertama, memperjelas ketentuan hukum yang mengatur yurisdiksi MK dalam sengketa pilkada, misalnya dengan menambah klausul yang memungkinkan MK menangani pelanggaran substantif terbatas yang tidak terselesaikan oleh lembaga pengawas. Kedua, meningkatkan sinergi antara MK, KPU, Bawaslu, dan DKPP melalui protokol penyelesaian sengketa terpadu, agar bukti pelanggaran proses tidak terputus antar-institusi. Ketiga, mengembangkan pedoman standar—berdasarkan best practices internasional—bagi majelis hakim MK dalam menerapkan aktivisme yudisial, sehingga putusan menjadi lebih konsisten dan dapat diprediksi.

Upaya ini tidak menambah beban MK, melainkan memperjelas ruang geraknya. Dengan demikian, ketika KPU atau Bawaslu gagal menuntaskan pelanggaran serius, MK dapat melangkah tanpa dianggap melampaui wewenang konstitusional. Sebaliknya, peran lembaga teknis dipertegas agar tidak menepikan kewenangan penegakan hukum pemilu yang sah, sehingga forum sengketa menjadi lebih terstruktur dan terukur.

Pilkada yang berkualitas tidak berakhir pada penetapan pemenang. Proses yang adil dan transparan juga menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan lokal. MK sebagai lembaga yudikatif terbesar di ujung rantai demokrasi mesti mendorong budaya hukum yang menghargai partisipasi publik dan etika pemilu. Jika putusan MK dipandang adil, kemungkinan intimidasi, politik uang, dan politisasi birokrasi dapat ditekan, karena semua pihak tahu akan ada pengawasan konstitusional yang efektif.

Di sisi lain, edukasi politik harus diperluas agar pemilih memahami mekanisme sengketa dan lembaga pengawasannya. Masyarakat perlu mendapatkan informasi jelas tentang tugas KPU, Bawaslu, DKPP, dan MK, sehingga tidak bergantung sepenuhnya pada mahkamah untuk menyelesaikan masalah pemilu. Kombinasi peran lembaga teknis yang kuat dan MK yang responsif merupakan fondasi demokrasi lokal yang sehat.

Aktivisme yudisial Mahkamah Konstitusi dalam sengketa pilkada telah menjadi terobosan penting untuk menegakkan demokrasi substantif di level daerah. Dengan memerintahkan pemungutan suara ulang atau mendiskualifikasi calon yang terbukti melanggar, MK menyelamatkan integritas proses pemilihan dan hak konstitusional rakyat. Namun, tanpa kejelasan batas kewenangan dan pedoman konsistensi putusan, praktik ini berisiko menimbulkan ketidakpastian hukum dan mereduksi kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemilu.

Maka dari itu, revisi regulasi pilkada harus memasukkan mekanisme kolaborasi sengketa terpadu dan ketentuan aktivasi yurisdiksi MK secara terukur. Pedoman internal MK untuk aktivisme yudisial perlu distandarisasi berdasarkan prinsip-prinsip good governance dan judicial activism yang bertanggung jawab. Pada akhirnya, sinergi antar-institusi dan budaya demokrasi yang kuat di akar rumput akan menjadikan pilkada bukan hanya ajang kompetisi politik, tetapi juga sarana membangun pemerintahan lokal yang lebih akuntabel, transparan, dan inklusif.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//