• Opini
  • Rakyat Berhak Mencabut Mandatnya

Rakyat Berhak Mencabut Mandatnya

Konsep negara sebenarnya sederhana. Negara hadir karena ada masyarakat. Orang yang mengurus negara bertugas mengurusi kepentingan orang banyak.

Cecep Burdansyah

Penulis fiksi dan nonfiksi, pemenang Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019

Dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

18 September 2025


BandungBergerak.id – Kebiasaan joget Prabowo dan beberapa anggota DPR membuat masyarakat kecewa. Bahkan ucapan-ucapan anggota DPR seperti yang dikemukakan Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Dedy Sitorus, Eko Patrio, Nafa Urbach teramat menyakitkan. Pada akhirnya memicu demo yang meluas di Jakarta dan berbagai daerah. Di beberapa daerah, gedung DPRD dibakar. Rumah Ahmad Sahroni, Uya Kuya dan Eko Patrio digeruduk massa dan dijarah.

Demo sebagai ungkapan kekecewaan itu akhirnya menelan korban nyawa. Driver ojek online (ojol), Affan Kurniawan meninggal dilindas kendaraan taktis aparat Brimob. Korban rakyat kecil ini mengingatkan kita pada demo di Tunisia. Rakyat Tunisia kecewa dengan maraknya korupsi dan harga pangan yang naik. Setelah Mohamed Bouazizi, seorang pedagang buah dan sayur melakukan bakar diri pada 17 Desember 2010, pemerintahan Ben Ali terguling. Revolusi Arab Spring kian meluas ke negara Timur Tengah dan menjungkalkan beberapa kepala negara.

Apakah Prabowo dan anggota DPR menyadari demo di tanah air bermula dari kebijakan pemerintah dan DPR serta perilaku anggotanya yang menghina rakyat? Saya meragukannya. Selain karena tidak cukup cerdas, Prabowo sepertinya dikelilingi oleh orang-orang yang asal bapak senang. Menteri dan wakil menteri serta staf ahlinya seabrek, tapi mereka hanyalah para penjilat kekuasaan.

Sementara anggota DPR tidak punya kredibilitas, miskin integritas, tuna kompetensi dan celakanya, miskin empati dan kepekaan. Ketidakcerdasan dan ketololannya dipertontonkan secara telanjang lewat joget-joget dan ucapan-ucapannya. Para selebritas hanya mengandalkan popularitas, sedangkan politikus lainnya mengandalkan modal uang.

Baca Juga: Abnormalitas di Saparua-Ciliwung
Study Tour dan Logika Drama Sang Gubernur
Keputusan Pelarangan Study Tour di Jawa Barat Bisa Dicabut

Daulat Negara versus Daulat Sipil

Konsep negara sebenarnya sederhana. Negara hadir karena ada masyarakat. Mustahil ada negara jika tidak ada masyarakat. Lalu untuk apa kehadiran negara?  Untuk mengatur urusan umum yang jadi kepentingan masyarakat, karena masyarakat tidak mungkin mengurus semua kepentingannya secara individual. Orang yang mengurus negara mempunyai tugas mengurusi kepentingan orang banyak.

Awalnya sederhana. Karena banyak dan rumitnya persoalan urusan umum, kehadiran negara di suatu masyarakat jadi tidak sederhana lagi. Apalagi di masyarakat yang anggotanya banyak dan negaranya sangat luas, seperti Indonesia, Cina, Amerika Serikat, India. Sementara negara kecil dan penduduknya sedikit, seperti Singapura, problematikanya lebih mudah tertangani.

Para pemikir kemudian merumuskan konsep tentang negara. Thomas Hobbes (1558-1679) merumuskan negara hadir untuk menertibkan anggota masyarakat. Negara hadir untuk menciptakan rasa takut agar anggota masyarakat tidak saling membunuh dalam memperebutkan kepentingan. Dalam konsep Hobbes, agar negara kuat maka kepala negara harus orang bertangan besi.

Tapi pemikir lain seperti John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755) dan Jean-Jacques Rouseau (1712-1778) menolak gagasan Hobbes. Ketiga pemikir tersebut lebih setuju pada keseimbangan antara negara dan masyarakat. Ketiganya mencegah terjadinya kekuatan negara yang adikuasa karena risikonya bakal terjadi kesewang-wenangan. Ketiganya menawarkan adanya pembatasan kewenangan negara, yaitu dengan adanya hukum.

Kalau John Locke menawarkan kebebasan individu, terutama dalam hak kepemilikan, Montesquieu menawarkan trias politica yang masing-masing mempunya kewenangan untuk saling mengontrol, dan ROUSEAU menawarkan kontrak sosial, yaitu kesepakatan antara negara dan masyarakatnya.  

Tukar gagasan mengenai konsep negara berkembang sebelum ketiga pemikir tadi muncul. Misalnya Plato, negara harus diurus oleh orang terpilih yaitu yang terpelajar dan cerdas. Plato menghendaki negara diurus oleh para filsuf. Aristoteles menentangnya, ia setuju orang yang punya pengalamanlah yang mengelola negara.

Di era Romawi, Cicero sudah memunculkan istilah ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Istilah tersebut menginspirasi hampir kebanyakan filsuf, sehingga lebih setuju adanya hukum sebagai pembatasan kewenangan negara daripada menyetujui gagasan Hobbes yang menghendaki negara untuk menciptakan rasa takut.

Berdasarkan pengalaman sejarah sosial, negara sebagai jelmaan rasa takut lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Daulat sipil lebih banyak dipilih oleh beberapa negara karena menjamin hak dan kewajiban warga negara secara seimbang dan proporsional. Beberapa negara otoriter, seperti kata Karl Popper hanya menciptakan masyarakat tertutup yang mengagungkan tribalisme, di mana kelompok dan pemimpinnya dipuja-puji sementara akal sehat sebagai instrumen untuk kebebasan pendapat dibungkam.

Kehilangan Legitimasi

Negara kita secara konstitusional memilih jalan demokrasi berdasarkan hukum. Bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Pasal ini mencegah terjadinya supremasi negara dan timbulnya anarkistis. Kalau tidak ada frase “dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,” dikhawatirkan terjadi penyimpangan daulat rakyat menjadi tindakan anarkistis atau kesewenang-wenangan rakyat.

Menurut Parakitri T. Simbolon dalam bukunya Menjadi Indonesia, pengalaman Indonesia selalu terjadi persaingan antara dominasi negara dan dominasi masyarakat. Dominasi negara selalu menjadi jawaban, mulai dari dekret Presiden Soekarno, keotoriteran Soeharto, dan di era reformasi meskipun daulat sipil sedikit diberi angin. Tiga pemerintahan akhirnya berakhir dengan pencabutan mandat rakyat. Soekarno berakhir tragis, Soeharto terjungkal pada 1998, begitu pula Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dicabut paksa oleh MPR.

Pada era dua periode pemerintahan Jokowi dan sepuluh bulan pemerintahan Prabowo, daulat negara kembali mendominasi. Jokowi pintar memainkan emosi masyarakat sehingga ia menjelma jadi manusia paling berkuasa, tapi sebagian masyarakat tidak merasakannya sehingga pengkultusan padanya kuat sekali. Ia pandai membungkam legislatif dan menjadikan aparat yudikatif bak pionnya.  Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga gawang konstitusi dijebol untuk memuluskan anaknya jadi wakil presiden. Yudikatif dan legislatif dibuat benar-benar tidak berdaya.

Prabowo, meskipun datang dari latar belakang militer, sangat naif dan seperti ingin memperlihatkan kekuatan orasi, meniru gaya Soekarno. Orang yang tangki pemikiran kosong, lumrah saja kalau keluaran kata-katanya pun hampa, alias hanya omon-omon. Seperti itulah kenaifan Prabowo. Tindakannya menjauh dari ucapan-ucapannya. Misalnya ia pidato berapi-api menyatakan koruptor akan disikat, kenyataannya ia memberikan bintang jasa pada Burhanudin Abdullah dan juga si plagiarisme disertasi Bahlil Lahadialia. UU Perampasan Aset tidak kunjung disahkan. UU KPK yang dilumpuhkan oleh Jokowi, tidak kembali diperkuat.

Dalam menanggapi demo 28 Agustus yang mematikan, Prabowo tidak sadar kalau demo tersebut bermula dari kebijakannya, yaitu efisiensi. Anggaran untuk kebijakan publik dihemat, pajak dicari-cari menggunakan tangan operatornya Sri Mulyani, sehingga muncullah istilah shadow economy. Pemotongan dana transfer ke daerah bakal berdampak ke rakyat di daerah. Bupati dan wali kota orientasinya akan sama dengan Sri Mulyani, mencari cara meningkatkan target pajak.

Di sisi lain, kesejahteraan anggota DPR dinaikkan. Kenaikan tunjangan perumahan membuat para anggota DPR gembira dan menanggapi dengan berjoget ria. Masyarakat yang mengkritik kenaikan tunjangan tersebut dianggap tolol sedunia oleh anggota DPR Ahmad Sahroni.

Anggota DPR lainnya Dedy Sitorus menyatakan, membandingkan gaji anggota DPR dengan rakyat jelata sebagai sesat pikir. Uya Kuya, Nafa Urbach dan Eko Patrio seperti “ngalelewe” rakyat yang mengkritik kenaikan tunjangan tersebut. Prabowo dan semua anggota DPR, termasuk ketua umum partai, sudah kehilangan kepekaan. Wajar kalau rakyat ngamuk. Rentetan kebijakan dan ucapan menyakitkan rakyat itu membuat eksekutif dan legislatif sudah kehilangan legitimasinya.

Pernyataan Sahroni bahwa DPR tidak bisa dibubarkan menunjukkan ia tak paham sejarah. Demo 1998 itu adalah sejarah bagaimana rakyat meminta lagi mandatnya ke Soeharto, sehingga ia terguling dan sekaligus DPR hasil 1997 pun bubar.

Jika mereka mau menelusuri akar pemikiran demokrasi, rakyat berhak mencabut mandatnya ketika pemerintah dan parlemen kehilangan kepercayaan akibat tidak kompeten dan menyakiti rakyat. Artinya, meskipun konstitusi mengunci DPR tidak bisa dibubarkan oleh lembaga mana pun, kunci itu bisa dijebol oleh rakyat seperti pengalaman 1998.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//