• Opini
  • Simfoni Brutalisme Pajak di Era Sentralisasi Fiskal Negara

Simfoni Brutalisme Pajak di Era Sentralisasi Fiskal Negara

Rakyat dipaksa membayar pajak lebih besar, kemudian disuguhi “hadiah” berupa program populis seolah-olah datang dari kemurahan hati negara.

Ahmad Rizki Alimudin

Komite Politik. Direktur Eksekutif SALAM Institute Periode 2022-2024. Instagram @alimudin_mz.

Ilustrasi. Kapitalisme membuat kelas pemodal berkuasa. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

19 September 2025


BandungBergerak.id – Pemerintahan yang kuat, konon katanya, lahir dari kepercayaan publik. Namun dalam praktik kekuasaan hari ini, kepercayaan tampaknya sudah tak lagi menjadi mata uang politik. Ia digantikan oleh pungutan, ancaman fiskal, dan retorika populisme berbumbu nasionalisme. Ketika pemerintah pusat memotong anggaran daerah secara sepihak demi membiayai proyek-proyek raksasa yang tidak ditentukan oleh rakyat, kita sedang menyaksikan kebangkitan model kekuasaan baru: birokrasi yang mengklaim demokrasi, tapi mempraktikkan sentralisasi otoriter dalam wujud yang paling elegan –yaitu melalui pajak.

Dalam hitungan bulan, pemotongan anggaran sebesar 25 persen ke daerah telah mengobrak-abrik tatanan fiskal lokal di Indonesia. Akibatnya, pemerintah daerah yang kehilangan akses terhadap dana operasional terpaksa menjadi algojo keuangan atas rakyatnya sendiri. Di Pati, pajak tanah melonjak hingga 250 persen. Di berbagai kota, muncul demonstrasi yang bukan hanya marah, tetapi muak –karena mereka tahu: ini bukan lagi soal uang. Ini soal siapa yang punya kuasa menentukan hidup.

Ironisnya, di tengah pembangkangan fiskal dari rakyat, para pejabat pusat justru menyusun narasi bahwa ini adalah bagian dari efisiensi, dari rasionalisasi, dari visi besar untuk bangsa. Tapi siapa yang ditanya ketika visi itu digagas? Apakah petani di lereng gunung? Apakah buruh pabrik di pinggiran kota? Apakah nelayan yang bahkan tak tahu cara mengakses Musrenbang daring? Demokrasi, dalam narasi ini, dikerdilkan menjadi sekadar pesta suara lima tahunan –sementara keputusan yang benar-benar menentukan hidup rakyat, justru diambil dalam ruang-ruang rapat eksklusif, tanpa ventilasi keadilan sosial.

Jika negara adalah orkestra, maka rakyat hari ini dipaksa mendengarkan simfoni yang tidak mereka pilih, dimainkan dengan alat musik yang mereka biayai sendiri, sambil disuruh diam dan bertepuk tangan. Maka, mari kita bertanya: apakah benar ini negara demokratis? Atau sekadar republik pajak yang menyamar sebagai negara hukum?

Baca Juga: Sawit dan Komitmen Palsu Penurunan Emisi
Karena Kita Warga Republik maka Kedaulatan di Tangan Rakyat
Negara Milik Segelintir

Kembali ke Masa Gelap dengan Bendera Baru

Apa yang disebut sebagai “rasionalisasi anggaran” hari ini sejatinya adalah aksi perampasan. Dengan dalih penyederhanaan dan efisiensi, pemerintah pusat menarik kendali fiskal dari tangan daerah –menghapus ruang bernapas terakhir bagi otonomi lokal. Dalam ekonomi politik, ini adalah bentuk pemusatan kuasa ekonomi yang dibungkus dalam jargon teknokratis. Tapi bagi rakyat di lapangan, itu artinya: tak ada lagi subsidi, tak ada lagi pelayanan dasar, dan sebagai gantinya –ada tagihan baru di depan pintu.

Proyek makan gratis dan alokasi belanja militer diposisikan sebagai prioritas nasional. Tapi siapa yang menyusun daftar prioritas itu? Ketika anggaran pusat dijadikan fondasi untuk memuluskan program yang tak terukur manfaatnya bagi rakyat bawah, maka kita sedang berbicara tentang redistribusi ke atas –bukan redistribusi ke bawah. Sebuah bentuk “Robin Hood terbalik”, mencuri dari yang miskin untuk membiayai ilusi negara kuat.

Pemotongan transfer ke daerah sebesar 25 persen bukanlah sekadar data fiskal, melainkan penanda perubahan besar dalam relasi kuasa antara pusat dan daerah. Data Kementerian Keuangan 2024 menunjukkan bahwa alokasi dana transfer ke daerah turun dari 857 triliun rupiah menjadi 642 triliun rupiah. Penurunan yang sangat signifikan ini langsung menciptakan guncangan fiskal di banyak wilayah, terutama karena sebagian besar belanja pemerintah daerah bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dengan berkurangnya aliran dana tersebut, banyak daerah dipaksa menunda bahkan membatalkan program pelayanan dasar, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur publik.

Transformasi ini tidak dapat dilepaskan dari konteks hadirnya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) tahun 2022 yang secara normatif dimaksudkan untuk menyederhanakan hubungan fiskal, namun dalam praktiknya justru mempersempit ruang gerak daerah. UU tersebut menempatkan pemerintah pusat sebagai aktor dominan yang menentukan struktur penerimaan maupun belanja daerah. Dengan demikian, otonomi fiskal daerah hanya tersisa dalam ranah administratif, sementara keputusan substansial tetap berada di tangan pusat. Secara politik, hal ini merefleksikan logika sentralisasi gaya Orde Baru yang dibalut jargon teknokratis bernama “efisiensi” dan “rasionalisasi anggaran.”

Ironinya, daerah yang justru menjadi kontributor besar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pun tidak lepas dari dampak pemangkasan ini. Jawa Barat, misalnya, yang menyumbang sekitar 13 persen PDB nasional, mengalami keterlambatan pencairan DAK sektor pendidikan pada tahun 2023. Keterlambatan ini berimbas pada ribuan sekolah yang harus memangkas program literasi dan numerasi. Sementara itu, daerah kepulauan seperti Nias Barat mengalami penundaan pembangunan 17 Puskesmas akibat terganjal keterlambatan transfer pusat. Efeknya nyata: angka stunting di daerah tersebut meningkat hingga 30,4 persen, jauh di atas rata-rata nasional yang berada pada 21,5 persen. Dengan demikian, sentralisasi fiskal tidak hanya menghasilkan ketimpangan struktural, tetapi juga memperburuk disparitas layanan dasar di tingkat lokal.

Dalam konteks politik praktis, pemotongan anggaran tersebut membuat kepala daerah kehilangan ruang negosiasi dengan masyarakat. Mereka tidak lagi mampu mengakomodasi aspirasi hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), sebab tanpa dukungan dari transfer pusat, hampir semua usulan akan berakhir di meja birokrasi. Maka tidak mengherankan jika kepala daerah kini lebih sering terlihat di kementerian-kementerian Jakarta untuk melobi anggaran ketimbang duduk berdialog dengan warganya sendiri. Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi lokal direduksi menjadi sekadar etalase elektoral tanpa kapasitas fiskal yang memadai.

Secara lebih mendasar, pemusatan fiskal ini menyingkap pola legitimasi baru yang sedang dibangun oleh pemerintah pusat. Kontrol atas aliran dana tidak hanya dimaknai sebagai instrumen teknis, tetapi juga sebagai mekanisme politik untuk memastikan loyalitas daerah. Dengan memegang kendali penuh atas distribusi anggaran, pusat dapat menentukan siapa yang diberi ruang untuk berkembang dan siapa yang dibiarkan stagnan. Di titik inilah, relasi antara pusat dan daerah berubah dari kerja sama menuju subordinasi, di mana otonomi hanyalah mitos administratif.

Lebih jauh, tindakan ini sesungguhnya menghadirkan bentuk pemusatan kuasa ekonomi yang mencerminkan logika redistribution upward. Sumber daya yang seharusnya menopang kebutuhan rakyat di daerah dialihkan untuk mendanai proyek-proyek besar yang sering kali tidak memiliki relevansi langsung dengan keseharian masyarakat. Prioritas anggaran pun diarahkan ke program makan gratis dan belanja pertahanan yang diposisikan sebagai agenda nasional, sementara subsidi pendidikan dan kesehatan lokal terpaksa dikorbankan. Maka wajar bila kebijakan ini tampak sebagai “Robin Hood terbalik”: mencuri dari yang miskin untuk menopang legitimasi pembangunan negara kuat.

Dengan demikian, kita sesungguhnya sedang menyaksikan reinkarnasi masa gelap sentralisme ala Orde Baru, meski dengan bendera baru bernama efisiensi fiskal. Bedanya, jika dahulu kontrol dilakukan melalui militer dan birokrasi represif, kini ia dijalankan melalui mekanisme anggaran dan jargon teknokratis. Namun substansinya sama: menyingkirkan partisipasi rakyat dari ruang-ruang pengambilan keputusan, sekaligus menundukkan daerah di bawah hegemoni pusat.

Ketika Rakyat Membayar Harga dari Kekacauan Elite

Pemerintah daerah kini bukan lagi pelayan rakyat, tapi administrator kemarahan pusat. Dalam situasi ketergantungan fiskal akut, mereka dipaksa menciptakan Pendapatan Asli Daerah secara instan –dan instrumen tercepat adalah pajak. Pajak tanah, pajak bangunan, pajak usaha mikro –semuanya melonjak tanpa dikawal oleh logika keadilan sosial.

Brutalisme pajak bukan sekadar kebijakan fiskal yang keliru. Ia adalah bentuk kekerasan simbolik yang mengikis rasa keadilan. Ketika rakyat miskin dipajaki untuk menambal lubang keuangan negara akibat kesalahan elite, maka negara sedang mempraktikkan ekonomi sadisme: memberi makan ego pembangunan dengan darah dan keringat rakyat terbawah.

Pemotongan transfer dari pusat memaksa pemerintah daerah mencari jalan pintas untuk menutup lubang fiskal, dan cara tercepat yang ditempuh adalah menaikkan pajak. Namun yang lahir dari praktik ini bukanlah pajak dalam arti instrumen pemerataan, melainkan pajak sebagai bentuk kekerasan finansial terhadap rakyat. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, misalnya, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) melonjak hingga 250 persen pada tahun 2024. Kenaikan ini menimbulkan gejolak karena mayoritas warga adalah petani kecil yang penghasilannya stagnan, sementara beban fiskal meningkat tajam. Demonstrasi pecah di berbagai titik, bukan sekadar menolak kenaikan pajak, melainkan mempertanyakan logika keadilan dalam negara yang mengaku demokratis.

Fenomena serupa tidak berhenti di Pati. Kota-kota satelit seperti Depok, Bekasi, dan Tangerang juga menaikkan berbagai pungutan, mulai dari pajak reklame hingga pajak parkir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa 63 persen pelaku UMKM di wilayah perkotaan mengalami penurunan laba bersih akibat kombinasi antara kenaikan pajak dan retribusi daerah yang semakin agresif. Padahal, UMKM adalah tulang punggung perekonomian Indonesia, menyumbang sekitar 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto dan menyerap lebih dari 117 juta tenaga kerja. Dengan demikian, kebijakan fiskal yang regresif tidak hanya menggerus daya beli, tetapi juga mengancam keberlanjutan usaha kecil dan menengah.

Ironi semakin jelas ketika kita melihat adanya ketimpangan perlakuan fiskal antara rakyat kecil dan korporasi besar. Sementara petani dan pedagang pasar dipaksa menanggung kenaikan pajak, data Kementerian Keuangan 2023 mencatat bahwa setidaknya 20 perusahaan tambang besar menerima insentif fiskal berupa tax allowance dengan total nilai mencapai 10 triliun rupiah. Artinya, beban fiskal dipindahkan ke bahu masyarakat bawah, sementara perusahaan besar justru dimanjakan dengan keringanan pajak demi alasan investasi. Situasi ini memperlihatkan praktik redistribusi fiskal yang timpang: rakyat dipajaki untuk menutup defisit negara, sementara elite bisnis menikmati privilese fiskal yang dilegalkan oleh regulasi.

Dalam konteks tersebut, pajak tidak lagi bekerja sebagai kontrak sosial antara negara dan rakyat. Ia berubah menjadi mekanisme survival birokrasi lokal yang dipaksa tunduk pada instruksi pusat. Dalam Laporan Realisasi APBD 2024 di Jawa Tengah, misalnya, 60 persen daerah mencatat defisit akibat menurunnya transfer pusat, sehingga target Pendapatan Asli Daerah dinaikkan secara drastis. Karena tidak ada instrumen ekonomi baru yang bisa segera dimobilisasi, pemerintah daerah memilih memeras pajak dari basis yang sudah ada. Di titik ini, pajak diperlakukan bukan sebagai instrumen pembangunan, tetapi sebagai alat pemelihara kekuasaan.

Kondisi ini semakin memperburuk ketimpangan sosial. Dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, beban terbesar akan ditanggung oleh kelas menengah bawah. Hal ini karena struktur konsumsi mereka lebih banyak terserap pada barang kebutuhan pokok, yang sebagian besar masuk dalam kategori barang kena pajak. Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 55 persen terhadap PDB nasional. Dengan demikian, setiap kebijakan fiskal yang regresif secara langsung menggerus fondasi utama perekonomian Indonesia: daya beli masyarakat.

Maka tidak berlebihan jika brutalitas pajak dapat dipahami sebagai bentuk kekerasan simbolik. Negara menggunakan perangkat hukum dan birokrasi untuk merampas hak ekonomi warganya, tetapi membungkusnya dengan retorika efisiensi dan pembangunan. Dalam kerangka teori Pierre Bourdieu, pajak yang seharusnya menjadi instrumen keadilan justru berubah menjadi mekanisme dominasi simbolik: rakyat dipaksa menginternalisasi beban, sementara aktor dominan menikmati hasilnya. Dengan kata lain, kebijakan fiskal yang brutal ini tidak sekadar masalah teknis, melainkan strategi politik yang mengikis legitimasi demokrasi.

Pada akhirnya, apa yang kita saksikan adalah metamorfosis fiskalisme menjadi wajah baru otoritarianisme. Jika pada masa lalu represi dilakukan melalui senjata dan sensor, kini ia dijalankan lewat angka-angka dalam lembaran APBD dan peraturan perpajakan. Demokrasi tetap ada secara prosedural, tetapi substansinya direnggut. Rakyat masih ikut pemilu, tetapi sesudahnya mereka hanya menjadi objek pemajakan, tanpa ruang tawar terhadap cara negara mengelola uang yang diambil dari kantong mereka. Brutalisme pajak, dengan demikian, adalah simbol dari bagaimana krisis legitimasi elite diterjemahkan menjadi krisis keseharian rakyat.

Demokrasi Tanpa Kuasa

Otonomi daerah sejak awal reformasi dianggap sebagai salah satu capaian terpenting demokrasi Indonesia. Ia menjadi ruang yang memungkinkan masyarakat menyampaikan aspirasi lebih dekat kepada pengambil kebijakan lokal, sekaligus menjadi mekanisme desentralisasi yang mengurangi dominasi pusat. Namun realitas hari ini menunjukkan bahwa ruang itu semakin menyempit. Dengan berkurangnya transfer fiskal dan menguatnya intervensi pusat, kepala daerah kehilangan kapasitas untuk mengimplementasikan kebijakan yang berakar pada kebutuhan masyarakat. Demokrasi lokal akhirnya direduksi menjadi ritual elektoral lima tahunan, sementara keputusan substantif mengenai alokasi anggaran tetap berada dalam genggaman birokrasi pusat.

Data Ombudsman Republik Indonesia tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 70 persen aduan masyarakat terkait pelayanan publik di daerah berakar pada persoalan keterbatasan anggaran. Fakta ini membuktikan bahwa meskipun partisipasi warga melalui forum Musrenbang masih berlangsung, mayoritas usulan tersebut hanya berhenti sebagai catatan tanpa tindak lanjut. Hal ini terjadi karena anggaran daerah terkunci pada prioritas yang telah ditetapkan pusat. Dengan demikian, warga merasa suara mereka tidak berdaya mengubah kebijakan, bahkan di tingkat lokal sekalipun. Demokrasi yang mestinya melahirkan rasa kepemilikan berubah menjadi praktik prosedural tanpa substansi.

Fenomena ini menciptakan paradoks politik yang dikenal dalam teori sebagai decoupling, yaitu pemisahan antara legitimasi politik yang diperoleh melalui pemilu dengan kapasitas fiskal untuk mewujudkan janji-janji tersebut. Bupati dan wali kota memang dipilih langsung oleh rakyat, tetapi mereka tidak lagi memiliki kewenangan penuh untuk menentukan arah pembangunan. Keputusan-keputusan besar tetap digerakkan oleh pemerintah pusat melalui instrumen anggaran. Akibatnya, pemilu daerah hanya berfungsi sebagai ritual simbolik, sementara substansi demokrasi terkikis oleh logika sentralisasi fiskal.

Contoh paling nyata dapat dilihat di Papua. Meskipun ada desakan kuat dari masyarakat lokal agar anggaran diprioritaskan untuk layanan kesehatan, terutama dalam menekan angka kematian ibu melahirkan, pemerintah daerah terpaksa mematuhi arahan pusat yang menitikberatkan pada proyek jalan lintas strategis. Akibatnya, Papua tetap mencatat angka kematian ibu melahirkan tertinggi di Indonesia pada 2023, yaitu 305 per 100.000 kelahiran, jauh di atas rata-rata nasional. Situasi ini memperlihatkan bagaimana aspirasi lokal terpinggirkan oleh agenda pusat, sehingga demokrasi substantif kehilangan ruang untuk berkembang.

Dalam kerangka yang lebih luas, kondisi tersebut dapat disebut sebagai bentuk kolonialisme internal. Jika kolonialisme klasik ditandai dengan dominasi bangsa asing atas tanah jajahan, maka kolonialisme internal ditandai dengan dominasi pusat atas daerah-daerahnya sendiri. Pusat memutuskan arah pembangunan dari jauh, sementara konsekuensi sosial, ekonomi, dan ekologis dirasakan langsung oleh masyarakat lokal. Hubungan ini menciptakan struktur hierarkis di mana rakyat tidak lagi dipandang sebagai subjek berdaulat, melainkan sebagai objek kebijakan yang harus menanggung dampak tanpa diberi ruang tawar.

Untuk menutupi retaknya legitimasi, negara kemudian hadir dengan program-program populis seperti makan gratis, bantuan sosial, dan subsidi sementara. Namun ironinya, program tersebut dibiayai dari pajak yang sebelumnya diperas dari masyarakat. Rakyat dipaksa membayar lebih, kemudian disuguhi “hadiah” berupa program populis seolah-olah datang dari kemurahan hati negara. Mekanisme ini tidak hanya bersifat manipulatif, tetapi juga menegaskan bahwa demokrasi telah direduksi menjadi sekadar pertunjukan distribusi simbolik, sementara esensi keadilan fiskal dan partisipasi substantif diabaikan.

Dengan demikian, demokrasi hari ini menghadapi paradoks mendasar. Rakyat masih membayar pajak, tetapi tidak berdaulat atas penggunaannya. Mereka masih memilih pemimpin daerah, tetapi tidak dapat mendikte arah kebijakan yang seharusnya lahir dari kebutuhan mereka sendiri. Demokrasi, dalam bentuk ini, hanya menyisakan rakyat sebagai penonton di dalam negara yang mereka biayai. Mereka dipaksa menyaksikan drama kebijakan yang ditulis elite pusat, dimainkan oleh birokrat, dan dibiayai dengan keringat mereka sendiri. Jika demokrasi adalah tentang kedaulatan rakyat, maka apa yang tersisa kini hanyalah ilusi yang semakin sulit dipertahankan.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//