Teruntuk Siapa pun yang Belum Mampu Membaca Kritik
Mengerdilkan kritik sama saja dengan merobohkan jembatan komunikasi –dan ketika jembatan itu runtuh, yang tersisa hanyalah monolog kekuasaan.

Mochamad Andi Nurfauzi
Ketua Bike to Work Bandung sambil menempuh pendidikan Studi Pembangunan ITB
19 September 2025
BandungBergerak.id – Di negeri ini, rasa-rasanya kritik selalu punya umur yang pendek. Begitu lahir, ia segera ditodongkan –baik secara harfiah– atau palu penghakiman: “Kritik itu gampang, coba kalo masuk ke dalam tata kelolanya, itu lebih sulit,” ada lagi, “jangan mengeluh terus, kasih solusi dong,” atau mungkin yang lebih kasar, “diam saja kalo tidak suka.” Pernyataan itu, kerap kali saya dapatkan, ada juga yang saya simak pada beberapa perbaruan akun sosial media kawan, terlebih pada kondisi hari ini.
Kritik, yang mestinya dirawat sebagai nadi demokrasi, justru kerap dipandang sebagai duri. Ia dianggap gangguan, bukan tanda vital. Padahal, tubuh mana yang bisa sehat bila rasa sakit dibiarkan sunyi? Sakit adalah alarm, begitu pula kritik: ia memberi tanda ada yang pincang dalam tata kelola.
Pada pernyataan awal: “jangan mengeluh terus, kasih solusi dong”. Sering kali orang mencampuradukkan kritik dengan keluhan. Padahal keduanya berbeda. Keluhan lahir dari rasa tidak puas yang sifatnya pribadi. Sementara kritik melangkah lebih jauh: ia mencoba menautkan persoalan pribadi dengan kepentingan publik, lalu menjadikannya masukan bagi perubahan tata kelola. Kritik bukan sekadar ungkapan rasa sakit hati, melainkan ajakan untuk memperbaiki. Karena itu, mengerdilkan kritik dengan menuduhnya sebagai keluhan hanyalah cara malas untuk menutup telinga.
Hari ini, kecenderungan itu semakin mengeras. Demokrasi dipajang sebagai etalase, tetapi ruang untuk menyuarakan keberatan justru makin sempit. Di media sosial, kritik mudah dilabeli sebagai ujaran kebencian. Di ruang birokrasi, kritik dibungkam dengan rapat-rapat formal yang hanya menerima laporan baik-baik saja. Di komunitas kecil sekalipun, suara berbeda kerap diusir secara halus dengan kalimat: “Kalau enggak bisa bantu, jangan ribut.”
Padahal, kritik bukan sekadar suara sumbang. Ia adalah infrastruktur dalam tata kelola. Sama seperti jalan yang memudahkan arus kendaraan, kritik membuka jalur bagi koreksi dan pembelajaran. Ia adalah umpan balik, bagian dari siklus yang membuat organisasi, lembaga, bahkan sebuah kota, bisa terus belajar dan beradaptasi. Mengerdilkan kritik sama saja dengan merobohkan jembatan komunikasi –dan ketika jembatan itu runtuh, yang tersisa hanyalah monolog kekuasaan.
Lebih jauh lagi, kritik sering kali ditodong dengan pertanyaan: “Lalu solusinya apa?” Seakan-akan kritik tidak sah jika tidak dibarengi jalan keluar instan. Padahal, menaruh beban solusi pada warga yang bersuara hanyalah jalan pintas yang abai pada esensi. Solusi adalah ranah tata kelola: domain pihak yang diberi mandat, wewenang, dan sumber daya untuk menata serta mengelola kehidupan publik. Tugas warga adalah menyuarakan, memberi tanda, dan mengingatkan. Bila kritik dipaksa sekaligus memikul beban solusi, maka negara sedang berkelit dari tanggung jawabnya sendiri.
Baca Juga: Gagasan Koperasi dalam Konteks Pengelolaan Sampah Organik Skala Perkotaan
Pengguna Sepeda dalam Kontestasi Ruang Perkotaan
Kritik adalah Arsip dari Kenyataan Sehari-hari
Kritik tidak pernah jatuh dari langit. Ia lahir dari pengalaman yang ditubuhkan: dari antrean panjang di loket yang bertele-tele, dari jalan rusak yang dibiarkan bertahun-tahun, dari layanan publik yang sekadar slogan, dari kebijakan yang tak menyentuh yang paling lemah. Hari ini, kritik juga berangkat dari kontras yang telanjang di hadapan kita: gaji dan tunjangan anggota DPR yang terus melonjak di tengah jeritan rakyat soal biaya hidup, rumah dinas yang tetap disediakan meski sebagian besar mereka lebih memilih tinggal di hunian pribadi, atau pengelolaan anggaran negara yang sering lebih sibuk memberi ruang pada megaproyek prestisius ketimbang memastikan kebutuhan dasar terpenuhi. Kritik adalah hasil dari menyaksikan, mengalami, dan merasakan, lalu menjadikannya bahasa. Ia bukan sekadar “pendapat”, melainkan jejak empiris yang dikristalkan dalam kata-kata. Maka, setiap kritik adalah arsip dari kenyataan sehari-hari, sekaligus penanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam tata kelola.
Saya –dan tentunya kawan semua– pasti masih mengingatnya, saat suatu hari linimasa dipenuhi kabar kelam: seorang mahasiswa tewas dipukuli aparat ketika ikut aksi, seorang pengemudi ojek online dilindas mobil taktis saat aksi. Padahal mereka hanya menyuarakan keresahan penting perihal tata kelola yang berdampak terhadap kesehariannya. Kritik mereka lahir dari pengalaman sehari-hari: ongkos kuliah yang mahal, pesanan yang seret, jalanan yang tak ramah, harga bahan pokok naik, kesenjangan antara perwakilan rakyat dan rakyatnya. Namun di telinga pejabat publik hingga aparat, suara itu terdengar sebagai ancaman negara. Dari peristiwa itu kita belajar, betapa sering kritik lahir dari rasa peduli yang paling dasar –ingin bisa sekolah, ingin bisa bekerja, ingin pulang dengan selamat, ingin merasa aman dan esok hari masih bisa makan. Tetapi kepedulian itu kerap berubah menjadi stigma dan bahkan berujung kekerasan, hanya karena negara terlalu cepat tersinggung.
Kita ingin kota ini maju, tetapi alergi pada percakapan yang jujur. Kita mendambakan perubahan, tetapi menolak masukan yang bisa menjadi pintunya. Lalu kita bertanya-tanya, kenapa jalan yang kita lalui terasa penuh lubang.
Barangkali, yang salah bukan pada kritiknya, melainkan pada cara kita merawat telinga. Kita lebih senang mendengar pujian, meskipun kosong, daripada membuka ruang bagi teguran, meskipun pahit. Padahal kritik adalah salah satu bentuk cinta yang paling tulus. Ia lahir dari keberanian untuk peduli, bukan dari keinginan untuk merusak. Tetapi cinta yang jujur sering disambut dengan paranoia. Seolah-olah kritik adalah upaya kudeta, bukan percakapan. Seolah-olah yang mengkritik sedang berkhianat, bukan sedang mengingatkan.
Sejarah mengajarkan kita: bangsa yang menolak kritik akan mandek, bahkan hancur, oleh kebisuannya sendiri. Kota yang menutup telinga dari warganya akan penuh gedung tinggi tapi kosong makna. Dan di tengah semua itu, kritik yang dibungkam justru akan tetap hidup –ia hanya berganti tempat: dari forum rapat ke obrolan warung kopi, dari ruang publik ke bisik-bisik, dari draf artikel ke catatan harian. Kritik akan mencari jalannya sendiri.
Pada akhirnya, kritik adalah cara kita bercermin. Kadang wajah di cermin itu terlihat kusut, penuh noda, bahkan tak enak dipandang. Tapi menutup mata sama sekali tidak membuat wajah kita bersih. Pertanyaannya: sampai kapan kita bisa hidup tanpa berani menatap wajah kita sendiri?
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB