• Opini
  • Pengguna Sepeda dalam Kontestasi Ruang Perkotaan

Pengguna Sepeda dalam Kontestasi Ruang Perkotaan

Sepeda sekaligus menjadi pengingat bahwa kota ini dulu pernah lebih ramah, bahwa kecepatan bukan satu-satunya cara untuk sampai.

Mochamad Andi Nurfauzi

Ketua Bike to Work Bandung sambil menempuh pendidikan Studi Pembangunan ITB

Anak-anak bersepeda di jalan raya. (Foto: Mochamad Andi Nurfauzi)

17 Maret 2025


BandungBergerak.id – Pagi itu, bunyi klakson kendaraan bermotor sudah bersahutan di persimpangan Antapani, tepatnya di Jalan Purwakarta menuju Jalan Terusan Jakarta. Persimpangan tersebut selayaknya ruang perlintasan warga dengan segala tujuan dan urusannya; urusan antar mengantar anggota keluarga, pergi bekerja, bersekolah, mencari kopi atau sarapan, berbelanja ke pasar, atau hal-hal yang berada di luar urusan-urusan tersebut. Begitu pun saya bersama sepeda yang saya kendarai, turut berada dalam momen tersebut. Pagi itu menjadi penanda atas jalinan relasi berbagai pihak yang berkumpul pada satu momentum.

Saya berlanjut mengayuh melewati Jalan Riau, tujuan saya adalah salah satu kedai kopi yang kebetulan terletak di sekitar jalan tersebut, karena saya memiliki janji dengan seorang rekan dan timnya untuk mendiskusikan pekerjaan. Saat melewati Jalan R. E. Martadinata –atau yang kemudian dikenal dengan sebagai Jalan Riau– pemandangan pun dihiasi dengan mobil-mobil yang diparkir pada lajur sepeda. Sebagai pengguna sepeda yang sudah tentu memanfaatkan tanda tersebut, akhirnya mengalah untuk mengambil jalan yang sedikit ke kanan, membuat saya dan sepeda memiliki jarak yang dekat dengan kendaraan lain yang melintas.

Sebagai seorang yang menggunakan sepeda sebagai salah satu alat transportasi, kondisi-kondisi tersebut sering kali ditemui, seolah kegiatan bersepeda yang saya lakukan, mau tidak mau harus ikut dalam kontestasi pemanfaatan ruang bersama para pengguna jalan.

Di atas sepeda, saya akhirnya dapat merefleksikan bahwa kota tidak hanya kumpulan dari gedung dan jalan, melainkan serangkaian cerita yang terbaca dari sudut-sudutnya; gang sempit yang menyimpan kenangan, trotoar yang melahirkan percakapan, serta lampu merah yang lebih sering diabaikan daripada ditaati.

Baca Juga: Sepeda di Bandung, Anak Tiri Jalan Raya
Mampukah Mengurai Kemacetan Kota Bandung dengan Sepeda?
Sistem Transportasi di Indonesia Belum Saling Tersambung, Begitu juga di Bandung

Ekosistem Kota

Di kota ini, sepeda adalah sebuah perlawanan kecil. Ketika kendaraan bermotor menggeram di persimpangan, klakson bersahutan, dan asap membumbung dari knalpot yang tak pernah lelah, pesepeda tetap mengayuh. Bukan tidak tahu lelah, barangkali karena sudah terbiasa mengukur jarak dengan tenaga diri sendiri. Sepeda sekaligus menjadi pengingat bahwa kota ini dulu pernah lebih ramah, bahwa kecepatan bukan satu-satunya cara untuk sampai.

Namun, bersepeda juga berarti memasuki arena kontestasi yang tak terelakkan. Jalanan adalah ruang yang diperebutkan, bukan sekedar tempat lalu-lalang, tetapi juga ajang dominasi. Pengguna sepeda, pejalan kaki, pengendara motor, hingga mobil-mobil besar, semua bertarung dalam ruang yang sama –bukan sekedar soal siapa yang lebih berhak, tetapi siapa yang lebih berkuasa. Teringat pada pemikiran Foucault yang mengarah bahwa ruang bukan hanya wadah netral, melainkan konstruksi kekuasaan. Maka jalanan merupakan refleksi dari siapa yang memiliki kuasa di kota ini; mereka yang lebih cepat, lebih besar, dan mungkin saja lebih berisik.

Tetapi, kota bukan hanya tentang individu dan kendaraan yang bertarung dalam ruang fisik melalui perspektif relasi kuasa saja, melainkan, bahwa kota adalah jaringan aktor yang saling terhubung. Dengan meminjam pemikiran dari Latour, saya menjadi sadar, bahwa aktor yang dimaksud bukan hanya sekedar manusia, tetapi benda-benda, trotoar, tempat parkir, dan jalinan relasi yang pada akhirnya membuat realitas sosial tersebut.

Sepeda, trotoar, marka jalan, lampu merah, bahkan lubang-lubang di aspal adalah bagian dari jaringan tersebut. Dalam hal ini, kontestasi akhirnya bukan hanya berbicara perihal siapa yang berhak dan berkuasa, tetapi bagaimana aktor-aktor itu berinteraksi, menciptakan hubungan yang terus berubah. Seorang pengguna sepeda yang melaju di antara mobil dan motor bukan hanya sedang menavigasi jalanan, tetapi juga sedang bernegosiasi dengan berbagai elemen kota yang turut membentuk pengalaman bersepeda.

Latour mengajak kita untuk melihat bahwa kota bukan hanya kumpulan manusia yang bergerak di antara jalanan, melainkan sebuah ekosistem yang dibentuk oleh jaringan sosial dan material yang terus berinteraksi. Jika sepeda menjadi minoritas di jalanan, itu bukan sekedar akibat dari keputusan individu untuk tidak bersepeda, tetapi juga hasil dari sistem yang membentuk preferensi dan kebiasaan masyarakat. Infrastruktur jalan yang lebih ramah bagi kendaraan bermotor, kebijakan transportasi yang tidak banyak memberikan insentif bagi pesepeda, hingga persepsi sosial terhadap kecepatan dan efisiensi, semua itu merupakan bagian dari jaringan yang menentukan bagaimana kota ini bergerak.

Dalam perspektif ini, bersepeda bukan hanya tindakan individual, tetapi juga sebuah upaya untuk membentuk ulang jaringan sosial kota. Seorang pesepeda yang berani mengambil jalurnya sendiri di tengah kendaraan bermotor tidak hanya sedang bergerak dari satu titik ke titik lain, tetapi juga sedang mengusulkan cara baru untuk memahami ruang perkotaan. Ia sedang membangun realitas baru di mana kecepatan bukan satu-satunya ukuran efisiensi, dan di mana keberadaan pesepeda di jalanan bukanlah sesuatu yang asing.

Jalur sepeda yang belum ada pada beberapa jalan. (Foto: Mochamad Andi Nurfauzi)
Jalur sepeda yang belum ada pada beberapa jalan. (Foto: Mochamad Andi Nurfauzi)

Yang Dibutuhkan Sepeda

Di atas sepeda, kota terasa lebih jujur. Saya dapat melihat orang tergesa-gesa mengendarai motor, pengamen yang bernyanyi di perempatan, hingga pedagang asongan yang sibuk menawarkan dagangan di tengah kemacetan. Tidak ada Batasan antara pesepeda dan kota; kita bukan penumpang di dalam kotak besi yang melaju tanpa menoleh, kita adalah bagian dari lanskap itu sendiri.

Namun, kota ini belum sepenuhnya menerima sepeda. Jalurnya sering tiba-tiba hilang, trotoarnya berubah jadi parkiran atau tukang jualan cuanki, serta pengendara motor yang melaju di bahu jalan seolah batas antara kendaraan dan pejalan kaki hanya mitos belaka. Kontestasi ini juga mengingatkan saya pada gagasan Bourdieu tentang habitus dan kapital simbolik. Sepeda, dalam banyak konteks urban, belum memliki kapital yang cukup untuk diakui sebagai moda transportasi utama. Ia masih kalah dengan kendaraan bermotor yang lebih dominan, lebih “dianggap” sebagai simbol status dan kemajuan.

Tetapi, jika kita mengikuti Latour lebih jauh, solusi untuk hal ini bukan sekadar kampanye kesadaran atau regulasi dari atas, tetapi upaya untuk membangun ulang jaringan sosial dan material yang lebih inklusif bagi sepeda. Ini berarti membangun infrastruktur yang lebih ramah, menciptakan kebijakan yang memberi insentif bagi pesepeda, dan menantang persepsi sosial yang menganggap sepeda sebagai kendaraan kelas dua. Dengan kata lain, perubahan tidak hanya terjadi di tingkat individu, tetapi di seluruh jaringan yang membentuk realitas kota.

Tapi sepeda tak butuh pengakuan. Ia hanya perlu ruang. Bukan hanya jalur khusus yang dicat biru dan segera pudar, tapi ruang dalam kesadaran kota bahwa tidak semua orang ingin –atau mampu– berjalan tergesa. Kota yang baik adalah kota yang memberi pilihan, bukan yang memaksakan satu cara di atas yang lain. Kota yang baik adalah kota yang membiarkan pesepeda melaju tanpa rasa takut, yang tidak membuat mereka merasa seperti penyusup di jalan raya.

Maka, bersepeda bukan sekadar berpindah tempat. Ia adalah cara untuk merebut kembali kota yang terlalu lama didominasi kebisingan mesin dan kepentingan kecepatan. Sepeda adalah tentang keberanian untuk melambat, tentang menolak ikut berlari hanya karena semua orang melakukannya. Di atas sepeda, kota bukan hanya tempat tinggal –ia menjadi ruang yang bisa diakrabi, dipahami, dan akhirnya, dicintai.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain mengenai isu perkotaan di tautan berikut

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//