• Kampus
  • Sistem Transportasi di Indonesia Belum Saling Tersambung, Begitu juga di Bandung

Sistem Transportasi di Indonesia Belum Saling Tersambung, Begitu juga di Bandung

Pemerintah bertugas menghubungkan antarmoda transportasi. Transportasi publik yang aman, nyaman, dan murah hak masyarakat.

Bus hanya melewati shelter kapsul Trans Metro Bandung (TMB) yang kumuh dan tak terawat. Pembangunan TMB ini menggunakan dana APBD Kota Bandung.

Penulis Iman Herdiana13 Februari 2024


BandungBergerak.idHampir seluruh kota besar di Indonesia telah memiliki beragam moda transportasi. Begitu juga di Bandung yang memiliki beberapa armada angkutan umum. Masalahnya, diperlukan integrasi atau saling menyambung antarmoda yang selama ini seakan berjalan sendiri-sendiri.

Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) Ibnu Syahri mengatakan, moda transportasi di kota-kota besar berpotensi diintegrasikan guna membentuk rantai perjalanan yang lebih efisien. Integrasi antarmoda ditujukan untuk menjamin perjalanan yang nyaman dan lancar (seamless).

Ibnu menjelaskan, integrasi antarmoda yang nyaman dan lancar diindikasikan dengan kemudahan masyarakat dalam melakukan perjalanan tanpa harus naik-turun atau berpindah moda transportasi dengan skenario yang rumit. Tidak hanya skenario moda, kelancaran rantai perjalanan juga diukur dari kemudahan pembayaran serta keamanan dan kenyamanan yang dirasakan masyarakat.

“Karena konektivitas yang jelek, selama ini tidak ada kepastian rantai waktu perjalanan sehingga orang hanya bisa berandai-andai. Sedangkan integrasi antarmoda akan semakin memastikan rantai waktu perjalanan kita,” ujar Ibnu, dikutip dari laman ITB, Selasa, 13 Februari 2024.

Ibnu berbicara dalam webinar bertema “Integrasi Transportasi Antarmoda”, Selasa 4 Juli 2023. Ibnu menggambarkan persoalan integrasi antarmoda melalui model yang disebut intermodality iceberg. Meskipun puncak persoalan yang terlihat di permukaan hanya terkait dengan kepuasan pengguna transportasi, namun nyatanya berbagai permasalahan yang lebih kompleks tersembunyi sebagai dasar gunung es yang tidak terlihat.

Permasalahan-permasalahan ini antara lain menyangkut kurangnya infrastruktur antarmoda, sistem tarif yang terfragmentasi, lemahnya koordinasi stakeholder, hingga ketidakpastian pembiayaan.

Integrasi antarmoda yang beragam membutuhkan skema pembiayaan yang kompleks serta dukungan regulasi yang memungkinkan target tersebut terlaksana. Maka dari itu langkah ini membutuhkan koordinasi serta kerja sama berbagai stakeholder yang sifatnya multilevel dan multisektor.

Aspek pembiayaan, regulasi, dan koordinasi ini nantinya dapat digunakan sebagai penentu motivasi awal dalam pembangunan kereta api Bandara Soekarno-Hatta serta sejauh mana proyek ini berhasil dijalankan sesuai studi kelayakan.

“Kalau kita bicara motif, asumsi kami bahwa sejauh mana motif ini menjadi agenda ke depan, apakah ini memang ada perencanaan yang disadari oleh para stakeholder, atau sementara ini tidak menjadi prioritas,” papar Ibnu.

Menurut Ibnu, dalam setiap sistem integrasi yang menghadirkan multistakeholder di dalamnya, termasuk dalam hal ini integrasi antarmoda transportasi, harus mengandung 3 konsepsi dasar yaitu koordinasi, konektivitas, dan efisiensi. Ketiga konsepsi inilah yang coba dihadirkan dalam layanan kereta api Bandara Soekarno-Hatta sebagai upaya integrasi antarmoda di kawasan sekitar bandara.

Kendati demikian, isu yang lebih kompleks seperti yang digambarkannya dalam model intermodality iceberg menjadi tantangan besar yang harus diantisipasi mulai dari sekarang.

“Setelah lima tahun berjalan, orang mulai mengeluh karena rendahnya ridership dari kereta bandara ini. Orang lebih memilih DAMRI atau taksi untuk ke bandara dari wilayah hinterland. Padahal di sekitar bandara ada 5 atau 6 moda yang potensinya besar sekali untuk diintegrasikan,” ujarnya.

Baca Juga: Klaim Smart City Kota Bandung tak Membekas pada Transportasi Publik
Korban Jiwa Berjatuhan Akibat Lemahnya Sistem Transportasi Publik di Kota Bandung
Pemprov Jabar akan Membangun Transportasi Publik BRT Bandung Raya pada 2024, Warga Membutuhkan Implementasi

Tugas Pemerintah Membanung Kontektivitas

Faktor terbentuknya ruang-ruang wisata (turistifikasi) juga berpengaruh pada sistem transportasi. Heru Purboyo Hidayat Putro, guru besar dari Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB mengatakan, fenomena turistifikasi yang banyak terjadi di masa sekarang.

Turistifikasi merupakan proses transformasi suatu tempat menjadi ruang wisata serta dampak yang terkait dengan hal tersebut. Dalam hal ini, pariwisata berperan sebagai agen katalis globalisasi dalam ruang lokal yang membantu transformasi di wilayah tuan rumah dalam berbagai aspek.

Fenomena turistifikasi dapat dipahami sebagai dampak dari semakin mudahnya akses transportasi dan komunikasi dalam hubungan sosial masyarakat. Selain itu, proses ini berkaitan erat dengan proses sejarah dan relasi kekuasaan dari tingkat global hingga lokal.

“Antusiasme yang semakin tinggi membuat demand wisata melonjak. Indikasinya adalah saat acara tertentu seperti libur panjang, maka kemacetan akan ditemui pada lokasi-lokasi turistik,” ujarnya

Heru menjelaskan ruang wilayah dan kota dalam perspektif transportasi, terutama infrastruktur transportasi darat. Sebaran dan konfigurasi jaringan transportasi darat yang ada hingga saat ini merupakan warisan dari masa kolonial. Setelah kolonialisasi berakhir, jaringan transportasi yang masih tersisa menimbulkan kesenjangan antar wilayah.

Kondisi kesenjangan juga dipengaruhi pola penggunaan lahan pada masa lalu. Sebagai dampak dari adanya perkebunan skala besar pada masa kolonial, wilayah di bagian Selatan Pulau Jawa hingga kini masih memiliki konsentrasi kawasan lindung dan perkebunan yang jauh lebih luas daripada wilayah di bagian utara.

Di sisi lain, bagian utara Pulau Jawa yang dilintasi Jalan Daendels (Pantura) sebagai akses utama transportasi darat kini semakin terurbanisasi. Ia menyampaikan tentang ekonomi empat sektor. Sektor jasa yang merupakan sektor tersier dalam ekonomi tiga sektor diuraikan menjadi sektor urbanisasi dan sektor pengendalian. Penguraian sektor jasa merupakan respons dari perkembangan kedua sektor lain yang semakin mengalami kemajuan dan modernisasi, yaitu sektor ekstraktif (primer) dan manufaktur (sekunder).

Contohnya di dalam sektor ekstraktif kini ada agropolitan dan kota tambang sedangkan di sektor manufaktur ada kawasan industri. Perkembangan ini mendorong perluasan kawasan perkotaan atau urbanisasi yang masif sehingga perlu dikendalikan agar dampak negatifnya dapat diminimalkan.

“Perluasan tersebut terkait dengan sektor kontrol atau pengendalian, yang dalam hal ini berupa modal, informasi, dan atau ilmu pengetahuan teknologi,” tuturnya.

Ia menyimpulkan bahwa kesenjangan yang ada saat ini membutuhkan campur tangan negara. Pembangunan jalan berbayar yang semakin marak harus diimbangi dengan mempertahankan kinerja jalan nasional. Selain itu, pemerintah perlu membantu pendanaan daerah dalam meningkatkan aksesisibilitas tempat wisata melalui modernisasi jaringan jalan, perbaikan, pelebaran, dan penambahan panjang jalan.

“Pihak swasta tidak akan tertarik dengan sektor publik yang bersifat sosial. Tugas pemerintahlah terkait dengan faktor aksesibilitas dan konektivitas wilayah,” ujarnya.  

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan soal Transportasi Publik dalam tautan berikut ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//