Klaim Smart City Kota Bandung tak Membekas pada Transportasi Publik
Transportasi publik sebenarnya menjadi kebutuhan mendasar bagi kota yang kerap dilanda kemacetan Kota Bandung.
Penulis Iman Herdiana22 Juli 2023
BandungBergerak.id - Kota Bandung digadang-gadang sebagai smart city karena penerapan teknologi digital di sejumlah infrastruktur kotanya, mulai ratusan CCTV yang banyak tersebar di berbagai sudut, mesin-mesin parkir elektronik, beragam aplikasi bagi birokrasi dan warga, dan seterusnya. Hanya saja klaim smart city belum menyentuh transportasi publik yang sebenarnya menjadi kebutuhan mendasar bagi kota yang kerap dilanda kemacetan ini.
Kebutuhan moda transportasi massal yang cerdas di Kota Bandung dirasakan Kathaya Destyna, mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional Unpar, Bandung. Ia mengaku lebih nyaman menggunakan transportasi online seperti ojek atau taksi online. Menurutnya angkutan umum yang ada saat ini tidak lagi bisa memfasilitasi kebutuhan transportasinya.
”Efisiensi waktu sih. Kalau naik angkot nunggu ngetemnya lama, nunggu angkotnya lewat lama. Kalau macet juga susah. Kalau naik ojek online karena lebih efisien, ga kejebak macet,” kata Kathaya, saat dihubungi, Jumat (21/7/2023).
Mahasiswi angkatan 2020 ini awalnya mengaku sering naik angkutan umum terutama angkot. Namun kini tempat yang menjadi tujuannya tidak dilalui oleh angkot. Kalaupun dilalui, ia harus naik beberapa jurusan.
”Dulu sih sering. Sekarang jarang banget karena tujuan udah gada lagi sekarang. Maksudnya tujuannya udah beda kan. Jadi angkotnya tuh ga da yang ke tujuan aku,” kata perempuan yang tinggal di kawasan Dago ini.
Penurunan Jumlah Pengguna Angkutan Umum Bandung
Secara umum, angkutan umum di Bandung masih dikelola secara tradisional. Hal ini menjadi faktor terjadinya pengurangan pengguna jasa transportasi publik.
Penelitian Maulida Wahyu Fadhilah dan Sholihati Amalia mencatat penurunan jumlah penumpang juga terjadi pada transpormasi massal jenis bus, yaitu Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (DAMRI) Kota Bandung. Kedua peneliti dari Politeknik Negeri Bandung ini mencatat penurunan jumlah penumpang DAMRI Bandung antara 2018-2020.
Pada 2018 total penumpang bus kota DAMRI Bandung tercatat 9.449.509 orang, lalu menurun menjadi 8.873.996 orang pada 2019, dan menyusut hampir tinggal setengahnya menjadi 4.058.587 orang pada 2020. Peneliti menduga kuat bahwa orang-orang lebih memilih kendaraan pribadi daripada bus.
“Mungkin benar bahwa alasan orang-orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi karena transportasi umum tidak selalu memenuhi kebutuhan penggunanya yang dapat mengakibatkan mereka beralih menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi umum lainnya sehingga terjadi penurunan jumlah penumpang,” tulis Maulida Wahyu Fadhilah dan Sholihati Amalia, diakses dari Jurnal Riset Bisnis dan Investasi Vol. 7, No. 3, Desember 2022, Jumat (21/7/2023).
Penelitian ini dilakukan pada masa pandemi tiga tahun lalu. Namun pada masa tersebut, mobilitas warga tetap terjadi. Para peneliti menemukan berbagai keluhan dari penumpang bus kota DAMRI Bandung, di antaranya: waktu menunggu kedatangan bus cukup lama; kapasitas angkut penumpang yang berlebih; fasilitas di dalam bus seperti kursi, AC, handgrip ditemukan tidak berfungsi dengan baik; halte menunggu yang tidak terawatt; adanya pengamen atau pedagang yang berjualan di dalam bus; dan lain-lain.
“Masih ditemukannya keluhan penumpang karena adanya pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan mereka menjadi salah satu pendukung penurunan jumlah penumpang bus kota DAMRI,” demikian kata para peneliti.
Penelitian ini dilatarbelakangi Kota Bandung sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2020 memiliki penduduk sejumlah 2.444.160 jiwa. Setiap tahunnya penduduk Kota Bandung mengalami peningkatan 0,21 persen (BPS, Februari 2021). Jumlah penduduk yang banyak membuat tingginya penggunaan transportasi sebagai penunjang mobilitas dalam kegiatan sehari-hari, maka dari itu kemacetan pun sering terjadi.
Pada bulan Oktober tahun 2019, Asian Development Bank (ADB) merilis laporan kemacetan dari 45 negara di Asia dan hasilnya Kota Bandung menempati urutan ke-14 sebagai kota termacet di antara negara-negara tersebut.
“Kemacetan yang terjadi di Kota Bandung salah satunya diakibatkan oleh masyarakatnya yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan menggunakan transportasi umum,” tulisnya.
Bahkan penduduk yang memakai transportasi umum hanya 20 persen, sedangkan sisanya sebanyak 80 persen adalah penduduk yang memakai kendaraan pribadi. Kemudian diketahui dari data BPS Kota Bandung bahwa total kendaraan umum yaitu sebanyak 12.514, sedangkan total kendaran bermotor milik pribadi ialah sebanyak 1.538.788 unit (BPS, Februari 2021).
Para penulis meyakini bahwa mengatasi kemacetan Kota Bandung harus dengan transportasi umum. Ketika masyarakat memakai transportasi umum, penggunaan atas kendaraan pribadi pun dapat ditekan sehingga kemacetan dapat berkurang.
Baca Juga: Manajemen Pengelolaan Air Bersih Kota Bandung masih Lemah
Memang Sudah Seharusnya ASN Pemkot Bandung Netral dalam Pemilu 2024
Upacara Seren Taun Kampung Adat Cireundeu, yang Berkhidmat Menjaga Tradisi
Transportasi Publik Terintegrasi
Transportasi publik amat dibutuhkan di kota-keta besar di Indonesia, tak terkecuali di Bandung. Bukan hanya keberadaan moda-moda transportasi saja, melainkan di antara mereka perlu saling terhubung atau terintegrasi dan membentuk rantai perjalanan yang lebih efisien bagi masyarakat.
Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) Ibnu Syahri mengatakan, integrasi antarmoda ditujukan untuk menjamin perjalanan yang nyaman dan lancar, atau ia menyebutnya dengan istilah ”integrasi antarmoda yang seamless”.
Ibnu menjelaskan, integrasi antarmoda yang seamless diindikasikan dengan kemudahan masyarakat dalam melakukan perjalanan tanpa harus naik-turun atau berpindah moda transportasi dengan skenario yang rumit. Tidak hanya skenario moda, kelancaran rantai perjalanan juga diukur dari kemudahan pembayaran serta keamanan dan kenyamanan yang dirasakan masyarakat.
“Karena konektivitas yang jelek, selama ini tidak ada kepastian rantai waktu perjalanan sehingga orang hanya bisa berandai-andai. Sedangkan integrasi antarmoda akan semakin memastikan rantai waktu perjalanan kita,” ujar Ibnu, dikutip dari laman ITB.
Ibnu menggambarkan persoalan integrasi antarmoda melalui model yang disebut intermodality iceberg. Meskipun puncak persoalan yang terlihat di permukaan hanya terkait dengan kepuasan pengguna transportasi, namun nyatanya berbagai permasalahan yang lebih kompleks tersembunyi sebagai dasar gunung es yang tidak terlihat. Permasalahan-permasalahan ini antara lain menyangkut kurangnya infrastruktur antarmoda, sistem tarif yang terfragmentasi, lemahnya koordinasi stakeholder, hingga ketidakpastian pembiayaan.
Integrasi antarmoda yang beragam membutuhkan skema pembiayaan yang kompleks serta dukungan regulasi yang memungkinkan target tersebut terlaksana. Maka dari itu langkah ini membutuhkan koordinasi serta kerja sama berbagai stakeholder yang sifatnya multilevel dan multisektor. Aspek pembiayaan, regulasi, dan koordinasi ini nantinya dapat digunakan sebagai penentu motivasi awal dalam pembangunan kereta api Bandara Soekarno-Hatta serta sejauh mana proyek ini berhasil dijalankan sesuai studi kelayakan.
“Kalau kita bicara motif, asumsi kami bahwa sejauh mana motif ini menjadi agenda ke depan, apakah ini memang ada perencanaan yang disadari oleh para stakeholder, atau sementara ini tidak menjadi prioritas,” kata Ibnu.
Menurut Ibnu, dalam setiap sistem integrasi yang menghadirkan multistakeholder di dalamnya, termasuk dalam hal ini integrasi antarmoda transportasi, harus mengandung 3 konsepsi dasar yaitu koordinasi, konektivitas, dan efisiensi.
*Artikel ini mendapatkan sokongan data dari reporter BandungBergergak.id Alysa Reyhan Maharani