• Liputan Khusus
  • TERJERAT RENTENIR (3): Hidup Hariman dalam Cengkeraman 20 Layanan Pinjol

TERJERAT RENTENIR (3): Hidup Hariman dalam Cengkeraman 20 Layanan Pinjol

Berawal dari penghasilan yang lenyap karena pandemi, Hariman terjerat pinjaman ke 20 pihak, sebagian besar layanan pinjol. Menderita ancaman verbal dan fisik.

Ilustrasi. Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia, 15 April 2021. KTP adalah hak semua warga negara Indonesia yang wajib disediakan negara. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Bani Hakiki27 Desember 2021


BandungBergerak.id -  Hujan deras yang mengguyur Kota Bandung sore itu menjadi berkah sendiri buat Hariman (49). Ia tahu, hujan yang deras akan sedikit membebaskannya dari teror para penagih utang (debt collector) yang setiap hari menggedor pintu rumahnya. Sejak setahun lalu, hidup Hariman tak lagi tenang. Ia terus didatangi para penagih, bahkan pernah dipukuli.

Sore itu, ditemani kopi hitam dan sebatang rokok, Hariman menceritakan bagaimana pademi Covid-19 telah membuatnya terjerat pinjaman online (pinjol) hingga sebanyak 20 pihak. Kemudahan proses pinjaman dan pencairan yang tak bertele-tele membuatnya ketagihan mengajukan pinjaman. Setahun terakhir, hidupnya berpindah dari satu pinjol ke pinjol yang lain. Tak terasa, nominalnya membengkak hingga puluhan juta rupiah dan Hariman semakin tak berdaya untuk melunasi pinjaman-pinjaman itu.

Semua berawal pada Juli 2020 lalu. Hariman dihadapkan pada masalah keuangan karena penghasilannya anjlok selama pagebluk. Ia dipaksa berpikir lebih keras agar tetap bisa menafkahi keluarganya di kampung halaman.

“Biasanya, walaupun pas-pasan, saya kerja setiap hari dalam sebulan bisa ngasih buat keluarga. Keluarga saya tinggal di Panjalu dari tahun kemarin, soalnya di Bandung juga serba susah,” tuturnya saat ditemui Bandungbergerak.id di kediamannya di Sekeloa, Sabtu (23/10/2021) lalu. 

Hariman dan istrinya dikaruniai dua orang putri. Mereka tinggal bersama di Kota Bandung sejak tahun 2004 silam. Namun sejak setahun lalu, istri dan anak keduanya terpaksa pulang ke kampung halaman untuk meringankan beban pengeluaran Hariman. Sementara itu, anak pertama mereka sudah berumah tangga dan tinggal bersama suaminya.

Seperti mayoritas warga Sekeloa lainnya, Hariman adalah seorang pedagang pasar, spesialis pekerja lepas yang diupah sebesar 75 ribu rupiah per hari. Ia hampir tak pernah libur selama tiga tahun terakhir. Dunianya selalu dimulai sejak dini hari untuk menjemput berbagai sayuran segar di sekitar Subang.

Setiap pagi menjelang, ia pasti sudah bersiap di belakang lapaknya di sekitar Sekeloa selatan. Hasilnya harus disetor pada siang hari lewat ajudan seorang saudagar pemasok sayur utama.

“Saya mah tua juga tetap saja kayak budak leutik, bisa ngapung (kelelawar). Tapi bukan terbangnya, kehidupannya. Malam aktif, siang istirahat,” candanya setelah menyulut sebatang rokok.

Lalu pandemi datang. Berbagai kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat yang diterapkan pemerintah untuk menekan angka penyebaran Covid-19 berimbas pada pekerjaan sekaligus penghasilannya sebagai buruh lepas. Tak ada penghasilan membuat Hariman limbung dan akhirnya terjebak dalam mimpi buruk pinjaman online atau pinjol.

Baca Juga: Kemiskinan tidak Berbanding Lurus dengan Kemalasan
16 Koperasi di Bandung Raya Terindikasi Lakukan Praktik Rentenir

Karena Mudah dan Cepat

Di tengah kebingungannya untuk tetap mendapatkan penghasilan, Hariman berpikir untuk membuka usaha, yakni berjualan sembako. Asumsinya, selama warga dirumahkan dan aktivitasnya dibatasi, mereka butuh stok banyak untuk bahan makanan, dan pasti warung sembako akan dicari. Sayangnya, sisa uang yang ia miliki tak cukup untuk mewujudkan mimpi memiliki toko sembako.

Setelah melakukan perhitungan terperinci, Hariman mematok target modal yang dibutuhkan sekitar 8 juta rupiah. Uang yang ia punya sangat jauh dari cukup. Jangankan untuk memulai berdagang, makan sehari-hari saja sudah sulit.

“Waktu itu, saya kayak dijepit sama pilihan seadanya. Dari teman-teman, melihat di iklan, saya mulai cari tahu soal pinjol (pinjaman online). Saya pikir, lumayan nih kalau tembus, bisa dipakai modal jualan,” ujarnya.

Hariman lalu menunjukkan perusahaan aplikasi pinjol yang ia gunakan pertama kali. Terlihat dari kriterianya, aplikasi itu terdaftar secara resmi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Melalui gawai pribadinya. Cairlah suntikan dana untuk memulai usaha yang diidamkannya. Walaupun jumlahnya tidak sesuai harapan, ia mendapat pinjaman sebesar 6 juta rupiah dengan tenor atau cicilan pembayaran selama 5 bulan.

Rencananya, Hariman ingin membuka lapak berjualan sembako di depan rumahnya sendiri untuk mengirit modal. Namun, dana yang telah ia pinjam justru ludes sebesar 1,5 juta rupiah pada pekan pertamanya.

“Tadinya, kalau bisa mau sewa atau belilah gerobak kecil yang cukup buat dagang. Minggu pertama pinjam, sudah habis 1,5 jutaan (rupiah) untuk bayar kontrakan. Belum air, listrik. Ya, mau gimana lagi, tabungan juga kering,” kata pria kelahiran Tasikmalaya itu.

Artinya, sisa dana pinjaman Hariman hanya sekitar 4 juta rupiah. Karena satu dan lain hal, usaha bisnisnya terhambat, sementara sisa pinjamannya terus terkuras untuk biaya makan dan berbagai pengeluaran lain. Selang sebulan, masa tenggat pembayaran pertamanya pun tiba.

Sesuai surat perjanjian elektronik yang Hariman setujui, total pembayaran yang wajib dilunasi lebih dari 7 juta rupiah. Jumlah itu sudah termasuk bunga harian sekitar 0,03 persen, biaya admin, dan layanan. Maka setiap bulan ia harus membayar sekitar 1,5 juta rupiah. Sisa uang pinjaman Hariman pun habis dipakai melunasi cicilan bulan pertamanya.

Hariman panik, sadar tak mampu melunasi cicilan dan tak ada uang untuk melanjutkan hidup. Dari sini petaka hidupnya dimulai. Akses dana pinjol yang begitu mudah, cepat, dan praktis membuat Hariman terlena dan mencari aplikasi serupa lainnya. Maksudnya untuk menutupi pinjaman sebelumnya, biaya makan, dan sedikit berharap merealisasikan warung impiannya.

“Karena (pinjol) yang sebelumnya gampang cair, saya cari lagi yang lain. Saya pinjam lagi 6 juta (rupiah) tapi otomatis cuma bisa 3 juta (rupiah) dan cairnya cuma 2,8 jutaan (rupiah). Enggak ada pemberitahuan atau persetujuan dulu,” ujarnya berkisah.

Hariman pun mulai merasa was-was, takut tak sanggup membayar utang, mengingat posisinya yang pengangguran. Ketakutan itu pun terjadi, uang pinjaman dari aplikasi keduanya ludes untuk membayar uang tagihan pinjaman pertamanya. Dalam keadaan bingung, Hariman mencoba mencari pinjaman lain untuk menutupi utangnya yang mulai menumpuk.

Hariman mencari pinjaman ke sana sini. Mulai dari pinjaman dari kerabat, jasa pinjam konvensional, dan beberapa aplikasi pinjol lainnya. Cara ini ia lakukan berulang kali hingga akhirnya terjerat utang kepada lebih dari 20 pihak.

Berujung Teror Verbal dan Fisik

Jeratan utang yang dihadapi Hariman terus membesar dan membahayakan dirinya sendiri. Teror diawali dengan beberapa aplikasi pinjol yang terus menagih utang melalui nomor pribadinya dengan sejumlah nomor tidak dikenal. Selain telepon atau SMS dan Whatsapp, beberapa orang langsung mendatangi kontrakannya.

Hariman mulai tak tenang dan risih. Seringkali ia memilih dan terpaksa menghindar dari lingkungan sosial. Hariman terus berlari dari sejumlah tagihan utang yang sudah melewati masa tenggatnya. 

Berbagai ancaman sudah jadi makanan sehari-hari Hariman, yang dibaca dan didengar dari ratusan pesan singkat serta telepon. Isi pesannya beragam, mulai dari ancaman pencemaran nama baik, penyebaran hoaks, jeratan hukum, dan yang paling ringan adalah nada bentakan dari sejumlah rentenir terkait.

Rumah sewa yang dihuni Hariman juga terus disambangi oleh para penagih utang, mulai dari yang berpenampilan resmi sampai yang berbadan kekar dan berpakaian preman. Salah satu saksinya adalah Purba (53), Ketua RT yang sempat melerai keributan yang hampir terjadi di kediaman Hariman.

“Waktu itu ada 4-5 orang yang datang ngegedor-gedor pintu. Pas saya keluar rumah, melihat ada apa, yang saya lihat dia (Hariman) diseret keluar, dipaksa. Saya langsung samperin, soalnya sedang ditempelengin,” tutur Purba ketika dikunjungi di rumahnya, Kamis (28/10/2021).

Menurut Purba, kejadian hampir serupa tidak hanya sekali terjadi di rumah Hariman. Sampai saat ini, ia mengaku masih sering mendengar keluhan dan permintaan tolong dari Hariman soal teror yang terus berdatangan di rumahnya. Beberapa kali, Hariman sempat izin menyembunyikan dirinya di rumah Purba setiap mengetahui akan ada rentenir atau penagih yang datang.

Sementara itu, Hariman mengaku mentalnya mulai terganggu akibat teror rentenir yang terus membayangi hidup kesehariannya. Rasa stres dan depresi menderanya dalam setiap kondisi. Bahkan, ia mengaku bahwa jantungnya selalu berdebar setiap mendengar dering suara telepon atau pesan singkat. Kondisi gawainya selalu dalam keadaan mode senyap atau silent.

Jerat Perjudian

Karena jengah dengan teror yang menghujaninya, Hariman memilih jalan pintas dan mempertaruhkan peruntungannya dengan berjudi. Taruhannya beragam mulai dari traktir makan sampai yang paling sering, yaitu uang tunai.

Ada berbagai jenis judi yang dilakoni Hariman, antara lain togel online dan konvensional, bermain kartu remi dan gaple, catur, serta judi slot online. Alih alih mendapatkan keuntungan, Hariman justru lebih sering mengalami kerugian besar. Lebih celaka lagi karena uang yang ia gunakan untuk berjudi juga didapat dari pinjaman. Menurutnya, ia telah mengalami kerugian sekitar lebih dari 10 juta rupiah untuk berjudi.

“Saya enggak tahu harus gimana supaya bisa cepat bayar semua utangnya. Nyari kerjaan susah. Gajinya juga enggak akan nutup. Bingung panik, enggak tahu arah, terpaksa weh nyobain judi,” ujarnya.

Petaka Hariman belum selesai dan masih terus berlanjut. Namun tidak ada jalan lain bagi Hariman selain menghadapi keadaan dan berdoa agar segera mendapat jalan untuk menyelesaikan sejumlah permasalahannya. Hariman sempat menyembunyikan permasalahan yang dihadapinya itu dari keluarganya. Seiring berjalannya waktu, ia menuruti nasihat Purba. Lalu pikirannya mulai terbuka dan berusaha mencari jalan keluarnya.

Saat ini, Hariman sudah kembali bekerja sebagai penjual sayuran dan terus menabung untuk membayar utangnya yang semakin membengkak.

“Sejujurnya saya sudah lelah ngadepinnya, setiap saat merasa tertekan. Hampir kepikiran udahlah (mengakhiri hidup), tapi istri terus nasihatin dan yakin masalah ini bisa beres,” kata Hariman.

Sebagian besar pinjaman Hariman telah terbayarkan dari hasil tabungan Hariman serta bantuan dana dari kerabat, bantuan istri di kampung halaman, dan juga dari suami putri pertamanya. Total hutang Hariman mencapai 76 juta rupiah dari sekitar 20 pihak peminjam uang berbagai jenis. Dan ia harus melunasi itu semua.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//