• Nusantara
  • Kemiskinan tidak Berbanding Lurus dengan Kemalasan

Kemiskinan tidak Berbanding Lurus dengan Kemalasan

Kemiskinan di Indonesia adalah kemiskinan struktural. Pandemi Covid-19 membuat angka kemiskinan ekstrem meningkat.

Pedagang keliling melintas di kawasan elit Braga , Bandung, Kamis (24/6/2021). PPKM dan kebijakan pencegahan Covid-19 membuat sektor ekonomi masyarakat terpukul. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana26 Oktober 2021


BandungBergerak.idSelama ini kemiskinan sering dikaitkan dengan kemalasan. Konon, jika kita malas bekerja, hidup akan jadi lebih sulit. Lantas bagaimana kemiskinan dan kemalasan saling berkaitan? Pakar sosiologi Universitas Airlangga (Unair), Bagong Suyanto, tidak setuju bahwa kemiskinan terkait dengan kemalasan.

Memang, menurutnya, dari kacamata ilmu sosiologi ada dua pandangan mengenai sebab kemiskinan. Pertama, kemiskinan dianggap bersumber dari hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik psikologis kultural individu. Contohnya malas atau tidak punya etos wirausaha.

Kedua, kemiskinan muncul dari faktor-faktor struktural. Seperti kurangnya kesempatan dan kompetisi yang terlalu ketat atau tidak memiliki modal usaha.

Namun Bagong Suyanto menegaskan, miskin dan malas tidak berhubungan. Terutama untuk kemiskinan yang terjadi karena faktor-faktor yang sifatnya struktural.

“Kita terbiasa menghakimi orang yang miskin sebagai orang yang malas atau tidak mau bekerja keras. Padahal, jika kita lihat pengemis di pinggir jalan, panas-panas, pakai pakaian badut menari-nari. Itu kan pekerjaan yang berat sebetulnya,” tutur Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair itu, mengutip laman resmi Unair, Selasa (26/10/2021).

Jika dibandingkan, kata Bagong Suyanto, pekerjaan di sektor informal bahkan lebih keras daripada pekerjaan kelas menengah. Namun karena ketidakmampuan pendidikan ditambah minimnya akses jaringan memaksa kaum miskin untuk bertahan.

Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia pada 2019 lalu mengungkap, anak-anak dari keluarga miskin, ketika dewasa akan tetap miskin. Hal itu, jelas Bagong, menunjukkan bahwa mata rantai kemiskinan memang sulit diputus.

“Karena keluarga miskin tidak memiliki modal ekonomi yang cukup dan tidak sekolah dengan baik, ujung-ujungnya dia kembali miskin. Peluang mereka untuk naik kelas tidak bisa ditembus karena tidak punya modal sosial dan ekonomi yang cukup,” papar Bagong Suyanto.

Dekan FISIP Unair itu juga menyampaikan bahwa selain faktor struktural yang tidak ramah, kebijakan pemerintah bersifat meritokrasi yang belum berpihak untuk melindungi si miskin.

Bentuk keberpihakan ini bisa berupa kebijakan pemerintah. Misalnya di bidang perdagangan, ada upaya melindungi pedagang kecil dari menjamurnya minimarket-minimarket.

“Kebijakan meritokrasi itu intinya orang miskin diberi bantuan, soal bagaimana mereka bertahan hidup menghadapi struktur yang kompetitif terserah pada semangatnya orang miskin,” imbuhnya.

Bagong menjelaskan, kemunculan istilah miskin sendiri berkaitan erat dengan stratifikasi (pengelompokkan anggota masyarakat secara vertikal) dan kesadaran kelas.

“Kemiskinan terjadi ketika orang sadar akan kelasnya. Dia di mana. Ini yang membuat isu kemiskinan dikaitkan dengan isu stratifikasi,” ungkapnya.

Baca Juga: Kecamatan Antapani: Antara Warga Menengah Atas dan Kemiskinan
Ratusan Ribu Warga Jabar Mengalami Kemiskinan Ekstrem
Kemiskinan di Bandung Meningkat Sejak Pandemi Covid-19

Kemiskinan Ekstrem di Jawa Barat

Di masa pandemi Covid-19, kemiskinan diperkirakan akan meningkat. Pandemi memberi hantaman besar pada sektor usaha dan aktivitas ekonomi masyarakat, termasuk di Jawa Barat. Setkab.go.id baru-baru ini merilis jumlah penduduk Jawa Barat yang masuk kategori kemiskinan ekstrem mencapai 460.327 jiwa dengan total jumlah rumah tangga miskin ekstrem sebanyak 107.560 rumah tangga.

Rinciannya, Kabupaten Cianjur dengan tingkat kemiskinan ekstrem 4 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 90.480 jiwa; Kabupaten Bandung dengan tingkat kemiskinan ekstrem 2,46 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 93.480 jiwa; Kabupaten Kuningan dengan tingkat kemiskinan ekstrem 6,36 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 69.090 jiwa;

Kabupaten Indramayu dengan tingkat kemiskinan ekstrem 6,15 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 106.690 jiwa; serta Kabupaten Karawang dengan tingkat kemiskinan ekstrem 4,51 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 106.780 jiwa.

Tugas pemerintah pun bertambah agar kemiskinan ekstrem tersebut tak berkepanjangan dan bisa segera ditangani. Selain itu, diperlukan kebijakan yang berpihak kepada rakyat miskin.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//